14 Kesialan Louis

Hari sudah semakin larut sehingga Amira mempunyai kesempatan untuk mengusir Louis supaya meninggalkan kediaman Opa nya akan tetapi keberuntungan sedang tidak berpihak padanya akibat keputusan Tanzel yang membuatnya tenggelam di antara rasa muak. Sekeras apapun Amira menolak Tanzel tetap bersikeras supaya malam ini Louis kembali menginap di kediamannya.

"Tapi Opa, keputusan Opa ini sudah menyalahi kode etik. Amira dan Louis ini belum menikah jadi tidak sepantasnya tinggal dalam satu atap."

"Yang dikatakan oleh Amira ini sangat tepat sekali." Yoza menambahkan.

"Aku tidak meminta pendapat mu Yoza jadi lebih baik kamu diam!" Nada suaranya terdengar lirih akan tetapi penuh ketajaman sehingga Yoza langsung terdiam begitu juga dengan Amira. Tidak ada satu orang pun yang berani membantah apabila seorang Tanzel sudah berkehendak.

Yang bisa Amira dan Yoza lakukan hanya saling melempar pandang dengan wajah mengetat, sementara Louis malah kegirangan. Didalam hatinya bersorak gembira karena malam ini bisa berlama - lama dengan Amira terlebih Tanzel menyarankan supaya malam ini mereka berempat melaksanakan sholat tahajud bersama.

Bukan tanpa alasan Tanzel bersikap seperti itu. Dia ingin mengenal Louis lebih jauh lagi terlebih dengan ilmu agamanya. Dia ingin memastikan kembali bahwa Louis memang lelaki yang pantas untuk mendampingi cucu tercinta menuju Jannah-Nya.

"Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap saya, Tuan Tanzel."

"Sama - sama, Louis. Tidak perlu berterima kasih. Sebentar lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga ini jadi tidak perlu merasa sungkan. Anggap saja bahwa keluarga ini sebagai keluarga kamu sendiri."

"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Tuan Tanzel." Berpadukan senyum bahagia, akan tetapi tidak dengan Amira. Dia masih saja memberengut kesal. Wajahnya yang cantik ditekuk. Dan hal itu semakin menarik minat Louis untuk menselancarkan godaan.

Fix, Amira sangat geram hingga tanpa mengurangi rasa hormat dia pun langsung beranjak dari duduknya meninggalkan semua orang yang masih saja menatap nanar kepergiannya. Satu hal yang tak pernah bisa Amira percayai bahwa Opa nya yang terkenal sangat mendominasi bisa dengan mudah luluh dibawah pesona lelaki genit bernama Louis Leigh Osbert.

"Maafkan atas sikap cucu saya, Louis."

"Tidak perlu meminta maaf, Tuan Tanzel. Sungguh saya sedih mendengarnya." Yang ditanggapi dengan senyum hangat.

Mereka pun kembali larut ke dalam perbincangan yang mengarah ke hal yang lebih serius yaitu pernikahan. Tanpa dapat dihindari raut tak nyaman langsung menyelimuti wajah tampan Louis. Guna menghindari perbincangan yang terus menerus menyudutkannya. Dia pun beralasan untuk ke kamar mandi.

"Silahkan, Louis. Sudah tahu kan letak kamar mandinya dimana? Kalau belum biar saya panggilkan, Inem."

Louis tersenyum. "Tidak perlu, Tuan Tanzel. Saya bisa mencari sendiri."

"Kalau begitu silahkan."

"Terima kasih." Beriringan dengan langkah kaki menjauh dari sana. Jujur saja Louis tidak tahu dimana letak kamar mandinya akan tetapi dia tidak mau jika sampai Inem yang mengantarkannya. Pembantu satu itu hanya membuatnya sakit kepala dengan segala kehebohannya.

Ekor matanya menelisik ke seluruh ruangan. Langkah kakinya semakin menjauh dan dia tidak tahu dimana dia berada sekarang ini yang jelas yang terlihat adalah deretan kamar yang jumlahnya lebih dari tujuh kamar.

Ini rumah apa hotel? Disana kamar. Di sebelah sini juga kamar. Tadi didekat ruang santai juga ada beberapa kamar. Batin Louis dengan tetap memperhatikan sekeliling.

Ingin rasanya menuju kamar tamu yang dia tempati semalam akan tetapi dia tidak tahu dimana letak kamar tamunya berada. Satu hal yang dia ingat bahwa kamar tamu yang dia tempati semalam berada tak jauh dari taman. Akan tetapi dimana letak tamannya pun dia juga tidak tahu.

Saat ini dia tengah tenggelam ke dalam dilema. Bagaimana kalau aku memanggil Inem saja?

Ah, jangan. Pembantu satu itu hanya membuatku sakit kepala. Tapi, kalau tidak memanggilnya, bagaimana kalau aku semakin tersesat didalam rumah ini? Pikirnya. Akhirnya diputuskan untuk tetap melangkahkan kaki yang penting bisa terbebas dari Tanzel dan juga si Inem.

Namun, Dewi Fortuna sedang tidak berpihak padanya sehingga dia pun dipertemukan dengan si ratu heboh. Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafasnya ketika suara Inem yang cempreng mengagetkannya.

"Eits, tunggu, tunggu! Sampean iki ape nandi to? Cobo ngomong kene kambek Inem tujuan sampean iki ampe nandi. Sampean iki kayak bingung ngono lo. Hayo, pasti lagi nyasar to? Hayo ngaku!."

Louis menggeram hingga langsung menjitak kepala Inem, bersamaan dengan itu melebarkan langkah meninggalkan Inem yang masih saja menatap nanar kepergiannya. Akan tetapi bukan Inem namanya jika membiarkan orang asing berkeliaran didalam kediaman Tanzel yang super besar ini. Inem tidak mau jika orang itu tersesat dan akan menimbulkan kericuhan di malam hari karena yang disalah - salahkan pasti Inem juga kan.

"Eh, tunggu Tuan Louis. Walah iso - iso nyasar bocah iki mengko." Berlarian mengejarnya. "Tunggu! Tunggu!'

Menghempas kasar tangan Inem yang dengan lancang menyentuhnya. "Ada apa sih, Inem?"

"Nek Inem bilang tunggu ki yo tunggu to, Tuan Louis. Inem kan khawatir nek sampean iki nyasar. Soale kan rumah Tuan besar iki guede banget. Inem jamin sampean iki pasti kesasar, iyo to?"

Louis mendesah lelah. "Inem, please pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan dicampur dengan bahasa ... " jeda sejenak. Louis tampak berfikir sebelum kembali berucap. "Bahasa apa itu namanya? Yang biasa kamu pakai ini."

"Boso jowo."

"Nah itu."

"Coba ngomong."

"Ngomong apa, Inem?"

"Ya iku ngomong boso jowo."

"Hah, kamu ini ngacau. Udah sana! Kamu ini ngapain sih ngikutin saya terus?"

"Yo wes nek ga mau diikutin. Tapi jawab disek Tuan Louis ini mau kemana to?"

Bingung harus menjawab apa karena dia memang tidak ada tujuan. Akhirnya dia menyebutkan yang terlintas didalam pikirannya saat ini. "Em, saya mau menemui Amira."

"Memangnya situ tahu dimana letak kamarnya, Non Amira?" Sembari senyum - senyum ga jelas.

"Ya jelas saya tahu lah, Inem. Amira itu kan calon istri saya ya masak saya ga tahu dimana letak kamarnya."

"Tapi Tuan. Non Amira sedang tidak ada dikamarnya. Non Amira ada ditaman belakang. Wajahnya ditekuk tuh. Kayaknya lagi ngambek."

"Kalau gitu antarkan saya bertemu dengan Amira!"

"Ogah." Sembari mengulum senyum manja.

Louis menggeram. "INEM!"

"Iyo, iyo tak anter. Ayo!" Mengalungkan tangannya diantara lengan kekar yang langsung dihempas dengan kasar.

"Ya udah kalau gitu Inem ngambek. Ga mau Inem nganterin situ ketemu sama, Non Amira."

"INEM!" Dengan suara tinggi.

"Inem ngambek. Pokoknya ga mau nganterin ya ga mau."

Louis menggeram kesal. "Kalau gitu mau saya laporin sama Tuan Tanzel, hah?"

Seketika Inem tersentak kemudian mengantarkan Louis menemui calon istrinya. Halah, ga seru blas calon suami ne Non Amira iki. Durung - durung wes ngancem. Kesal Inem.

...

Next chapteršŸ’•

avataravatar
Next chapter