7 Kehadiran Louis!

Sinar pagi mengintip malu - malu dari balik tirai kamar menyapa hangat Amira. "Selamat pagi Amira sayang. Ayo bangun dan sambutlah aku."

Namun, sang empu tidak mengindahkan. Dia malah semakin bergelung ke dalam pelukan hangat Arnold hingga alarm berbunyi menunjukkan pukul enam pagi.

Iris hitam terbuka bermanjakan sinar pagi yang sudah tersenyum rekah begitu juga dengan bibir ranum yang mengukir senyuman khas seolah berkata. "Selamat pagi Dunia." Beriringan dengan otot - otot yang mulai diregangkan.

Mimpi semalam benar - benar indah hingga Amira bangun kesiangan. Ekor matanya melirik malas ke arah jarum jam. Masih terlalu pagi untuk bersiap ke kantor tapi itu harus segera dia lakukan sebelum rasa malas menggerogoti, menenggelamkannya kembali diantara rasa nyaman yang menyeretnya pada penundaan aktifitas.

"Selamat pagi, Non Amira. Tumben turune pules tenan. Biasane kan habis sholat subuh wes ora turu maneh."

Amira menolehkan wajahnya berpadukan kernyitan dikening. "Duh, Inem. Telinga saya sakit kalau bahasa campur - campur gitu. Kalau mau ngomong jawa ya pakai bahasa jawa semua lah. Indonesia ya Indonesia semua. Gimana sih kamu ini."

"Halah, kayak si Non iki ngerti bahasa jawa ae."

"Ya ngertilah. Saya kan asli jawa."

"Jawa ngendi?"

"Jawa timur. Udah ah sana buruan buka tuh tirai jendela."

"Lah, Non mau kemana?"

"Mandi, mau ikut!" Bentak Amira.

Cantik - cantik galak. Tak sumpahin adoh jodoh mu! Sembari melangkahkan kaki keluar kamar setelah menyelesaikan semua tugas - tugasnya.

Pagi ini Amira terlihat sangat cantik. Dress warna kuning bermotif berpadukan blazer dan hill tinggi menjadi perpaduan sempurna membalut tubuh ramping seorang putri Tanzel ke dalam kecantikan yang hakiki. Rambut panjang yang diikat ke atas semakin menambah kecantikannya berkali - kali lipat, mendominasi bahwa Amira seorang wanita karir yang sukses dan berkelas.

"Wadaw, ayu tenan, Non Amira. Suwe ga lihat pakai baju kantoran ngono kok pangling yo. Eits, emang kapan Non Amira nganggo klambi kantoran? Kan agek iki. Walah kok nglindur ngene seh aku iki." Sembari menjitak kepalanya sendiri.

"Lihat apa sih, Nem." Tanya Dewi namun tidak juga mendapati jawaban. Penasaran dengan yang dilihat oleh Inem, dia juga ikutan menajamkan tatapannya. Seketika bermanjakan kaki jenjang yang sedang menuruni tangga menuju ruang makan.

"Selamat pagi, Opa."

"Selamat pagi, sayang."

"Papa, mana?" Tanpa menjawab tatapannya menajam pada Yoza yang sedang berjalan beriringan dengan Louis. Seketika Amira tersentak. "Ngapain kamu pagi - pagi udah disini? Saya kan ga nyuruh kamu buat datang kesini." Nada suaranya meningggi berpadukan tatapan menajam beriringan dengan wajah mengetat.

"Oh, Amira sayang! Jaga bicara kamu! Dia itu calon Suami-mu, dan rumah ini selalu terbuka untuk Louis kapan pun dia ingin berkunjung."

"Tapi Opa ... "

"KELUARGA TANZEL TIDAK PERNAH MENGAJARI MU BERSIKAP KURANG AJAR PADA TAMU TERUTAMA PADA CALON SUAMI - MU SENDIRI!" Suara bariton Tanzel terdengar mengerikan berirama geraman diiringi penekanan pada setiap kata. Bukannya takut bibir ranum malah maju beberapa senti ke depan. Rasa kesal pada Louis semakin memupuk disuguhi kerlingan mata dan juga senyum genit.

Ingin langsung meluapkan kemarahan namun tertangguhkan. Dewi dalam hatinya berbisik lembut. "Ayo Amira lanjutkan sandiwara mu, jangan sampai Opa-mu curiga. Tersenyumlah, dan sambut calon Suami menyebalkan itu."

Ya, itu memang benar, untuk itulah sikap Amira berubah manis. "Oh, iya sayang. Kamu kan ga suka masakan Indonesia. Jadi, gimana kalau kita berangkat sekarang dan mampir ke restaurant pavorit kamu." Berpadukan tatapan penuh arti namun sial, karena Louis tidak mengerti. Lelaki itu justru dengan polosnya ingin mencoba berbagai masakan Indonesia.

"Saya harus membiasakan diri dengan masakan Indonesia. Supaya nanti saat kita menikah lidah saya sudah ga asing lagi." Beriringan dengan kerlingan mata.

Fix, Amira muak. Sangat muak, hingga rasanya ingin sekali melayangkan pukulan.

***

TANZEL GROUP.

Bali, Indonesia.

11.45 WITA.

Meeting kali ini memakan waktu sangat lama karena terjadi permasalahan penting di perusahaan yang diakibatkan oleh bagian arsitek yang telah melakukan pelanggaran.

"Kirimkan Ibu Nasya untuk menggantikan Bapak Arwiyan selama kasusnya dalam penyidikan. Dan untuk sementara waktu Bapak Arwiyan dirumahkan dengan pengawasan ketat dari perusahaan. Pak Nail, tolong atur semua persiapan!"

"Mohon maaf Ibu kalau saya lancang. Tanpa mengurangi rasa hornat bagaimana kalau Pak Arwiyan langsung kita serahkan ke pihak yang berwajib."

Sorot mata Amira menajam berpadukan wajah mengetat. "Saya tidak mau ada campur tangan hukum dalam hal ini. Dan ingat kasus ini tidak boleh sampai tercium oleh media. Saya tidak mau nama Tanzel Group tercoreng. Dan satu lagi proyek ini tidak boleh berhenti, harus tetap jalan seperti biasa. Mengerti?!" Yang dijawab serempak oleh para petinggi.

Tanpa mengatakan satu katapun ekor matanya menggeliat penuh perintah tak terbantahkan bahwa mereka semua harus meninggalkan ruangan meeting, sekarang juga!

Kini, tinggal Amira seorang diri didalam ruangan yang super besar didominasi oleh warna putih sebagai pertanda bahwa pemiliknya seorang wanita cantik yang super feminim.

Berkali - kali Amira terlihat memijat keningnya. Ya, ayahnya memang benar bahwa seharusnya dia memiliki pendamping supaya bisa membantu dalam mengelola Tanzel Group. Namun, sekali lagi Amira meyakinkan diri sendiri bahwa dia mampu mengelolanya sendirian tanpa campur tangan lelaki.

Selain pada alasan klasik, dia juga tidak percaya begitu saja pada lelaki yang nantinya akan menjadi suaminya. Di jaman sekarang ini sangat jarang lelaki tulus terlebih bila berkaitan dengan yang namanya harta. Diatas harta, cinta itu hanya kamuflase belaka. Setidaknya itulah yang tertanam dalam benak seorang putri Tanzel. Si pemilik wajah cantik, mata bulat, tatapan dingin, berpadukan bibir yang selalu membentuk garis lurus membuat sederet kumbang takut untuk mendekat.

Tapi jangan salah. Demi warisan Tanzel mereka semua masih saja melekat bagai lalat. Tidak peduli lagi pada sambutan dingin, sedingin gurun es.

"Apa terjadi sesuatu?" Suara yang datang secara tiba - tiba telah menyentak kesadaran Amira dari lamunannya sejenak. Wajah cantik langsung menoleh ke arah sumber suara. "Papa ... " nada suaranya terdengar malas begitu juga tatapannya yang menyirat rasa lelah.

Langkah kaki Yoza semakin mendekat beriringan dengan usapan pada puncak kepala sebelum memilih duduk disebelah putri tercinta. "Papa dengar dari Nail, proyek kamu bermasalah."

Amira tersentak namun dengan cepat bisa menguasai keadaan. "Sedikit." Sembari memainkan jemarinya sebagai pertanda bahwa masalah kecil ini akan mudah diatasi hanya dengan menjentikkan jari.

"Yakin?"

"Iya, Papa. Oh, iya ada apa Papa datang ke kantor? Tumben sekali."

"Membantu Putri Papa bekerja."

Amira tersenyum. " Lebih baik Papa pulang, istirahat. Biar Amira yang bekerja. Urusan kantor serahkan saja sama Amira, Pa. Okay?" Berpadukan kerlingan genit.

Melihat sikap putrinya yang berubah sedikit genit telah memancing Yoza menselancarkan godaan. "Sepertinya virus Louis sudah merasuki mu, sayang."

Amira mengernyit. "Maksud, Papa?"

"Tuh, lihat. Putri Es sudah bisa mengerling genit."

Amira berkacak pinggang. "Papa ... " berirama geraman. Bersamaan dengan itu langkah kaki menjauh meninggalkan ruangan putrinya.

...

Next chapter💕

avataravatar
Next chapter