10 Hari Menyebalkan!

"Ya, ya, aku tahu sekarang. Tapi Amira, kau harus tahu bahwa kita ini hanya calon suami pura - pura lalu kenapa aku harus mengikuti aturan mu, hum? Jangan bilang kalau kau mengharapkan bahwa hubungan kita ini bukan lagi pura - pura tapi .... nyata." Sembari mengerling genit.

Ah, sial. Dia ini selalu saja menyebalkan! Umpat Amira.

|Makan Siang Bersama!|

***

Hari ini Amira benar - benar dibuat sangat kesal dengan sikap Louis yang terus saja mengusik ketenangannya hingga tanpa sadar membanting bolpoit nya ke lantai. Yoza yang baru saja memasuki ruangan dibuat tersentak akan sikap putri kesayangan, terlebih bermanjakan wajah Amira yang menatapnya dengan tatapan nyalang.

"Sayang, ada apa? Jangan menatap Papa-mu dengan tatapan seperti itu. Papa ini bukan musuh kamu, Amira sayang." Nada suara Yoza terdengar lembut dan menenangkan, bersamaan dengan itu mendekati sang putri lalu mengusap puncak kepalanya dengan penuh rasa sayang.

Sorot mata sang ayah menyilau penuh tanda tanya besar. "Ada apa?" Tanyanya.

Seharusnya jawaban dari sang putri tercinta lah yang terdengar olehnya. Namun, sayang sekali tidak. Karena sang putri balik melemparinya dengan pertanyaan bernada sinis. Yoza tersentak dan lebih tersentak lagi ketika wajah Amira mengeras berpadukan bibir mengetat.

"Apa yang terjadi, sayang? Siapa yang membuat mu sekesal ini?"

"Louis." Singkat padat jelas, itulah jawaban yang keluar dari bibir Amira.

Yoza mengernyit. "Ada apa dengan, Louis? Kalian bertengkar?"

Amira mendesah lelah sebagai pertanda bahwa dia sedang dalam puncak emosi. "Tidak, Papa. Kami tidak bertengkar." Nada suaranya terdengar sedikit meninggi dan penuh penekanan pada setiap kata.

"Kalau kalian tidak bertengkar kenapa Amira kesal?" Berpadukan kedua mata menyipit hingga keningnya berkerut.

"Semua ini gara - gara, Papa dan Opa Tanzel!" Bentak Amira tanpa sadar.

Yoza pun semakin dibuat tak mengerti. Memangnya apa yang aku dan Opa Tanzel lakukan sampai Putri-ku semarah ini? Tanyanya dalam hati.

Seolah mengerti dengan yang dipikirkan oleh sang ayah, iris hitam menyilau tajam. "Seharusnya Papa dan Opa bersikap biasa - biasa saja. Jangan memberi celah pada Louis dan bersikap baik padanya. Dengar ya Pa, gara - gara sikap baik keluarga kita ke dia. Si Louis jadi besar kepala. Dia berani datang ke kantor. Membuat kehebohan besar dan lebih parahnya lagi ... " Amira sengaja menjeda ucapannya. Dia coba mengatur emosinya hingga dadanya naik turun.

"Dan apa, Amira?" Desak Yoza dengan tak sabaran.

"Dia ... si Louis itu dengan lancangnya berani memperkenalkan diri sebagai calon suami, Amira. Amira, malu Pa. Terlebih kepada semua karyawan."

Pernyataan putri kesayangannya ini telah mengirimkan Yoza pada senyum geli hingga berubah menjadi tawa membahana. Disuguhi sikap sang ayah yang menurut Amira sangat menyebalkan semakin menenggelamkannya pada rasa kesal. "Apanya yang lucu, Pa?"

"Aduh, sayang. Kau ini sangat lucu sekali. Wajar lah sayang kalau Louis datang ke kantor dan memperkenalkan diri sebagai calon suami Amira. Kan memang Louis calon suami Amira dan sebentar lagi kalian juga akan menikah. Jadi, apa yang harus di tutup - tutupi. Justru bagus kalau semua karyawan tahu. Biar para lelaki yang hanya mengincar warisan Tanzel menjauh."

Ingin rasanya mendebat perkataan sang ayah, menjelaskan bahwa dia dan Louis tidak ada hubungan spesial. Namun, tertangguhkan ketika ingatannya berpusat pada rencana besar yang telah dia susun rapi bersama Louis. Oh My God, aku hampir saja kelepasan. Untung Papa tidak curiga. Batin Amira sembari menjitak kepalanya sendiri.

Yoza tersenyum berpadukan tatapan hangat sembari merangkum pipi putrinya dengan penuh rasa sayang. "Dengar sayang, Louis itu pria yang sangat baik. Dia kelihatan tulus sayang sama kamu."

Amira tersenyum masam.

"Dan kenapa tiba - tiba kamu jadi bersikap aneh. Papa curiga ada yang kamu sembunyikan."

"Tidak ada, Pa. Amira, tidak menyembunyikan apapun dari, Papa.'

"Yakin?"

"Yakin, Pa."

"Amira, tidak sedang berbohong kan?" Tanyanya sembari menelisik wajah putrinya coba menemukan kejujuran disana.

Menyadari akan tatapan sang ayah, Amira langsung memainkan perannya dengan sangat baik hingga sang ayah tidak curiga.

"Oh, iya Pa. Sebentar lagi kan Amira ada meeting."

"Terus?"

"Apa ga apa - apa kalau Amira tinggal?"

"Tentu saja tidak sayang. Ya sudah kamu bersiap - siap biar Papa yang handle pekerjaan kamu disini."

"Baik, Pa. Terima kasih Papa sayang. Papa memang Papa terbest di Dunia." Sembari mencium pipi ayahnya.

"Hm, Putri Papa ini memang paling jago dalam hal rayu merayu." Sembari mengacak kasar puncak kepala Amira. "Oh iya sayang. Selesai meeting langsung pulang saja ke rumah ya karena setelah mengecek semua pekerjaan kamu Papa langsung ke acara, Om Farez."

"Memangnya ada acara apa, Pa?"

"Tidak ada, hanya saja Om Farez minta Papa supaya ke rumahnya."

"Oh, gitu. Kalau ga salah Om Farez itu teman Papa semasa kuliah dulu kan?"

Yoza mengangguk sembari mengecek beberapa laporan.

Disuguhi wajah ayahnya yang tampak fokus memeriksa laporan, Amira pun tidak berniat untuk mengganggunya. Dia pun memutuskan untuk berangkat ke lokasi meeting setelah berpamitan dengan sang ayah.

"Hati - hati, sayang."

"Iya, Pa." Jawab Amira dengan melenggang keluar ruangan meninggalkan sang ayah yang masih saja menatapnya nanar hingga punggung ramping putrinya hilang dari pandangan.

Baik Amira maupun Yoza saling ternggelam ke dalam aktifitas masing - masing hingga malam menjemput. Amira memutuskan kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda akibat hilang konsentrasi dengan kedatangan Louis ke kantornya tadi siang.

"Jalan, Pak!" Perintahnya pada Mirza, selaku supir pribadinya.

"Ke rumah, Non?"

"Tidak, Pak Mirza. Antarkan saya ke kantor."

"Tapi, Non tadi Tuan Yoza berpesan supaya selesai meeting langsung mengantarkan Non Amira pulang."

Amira menggeram. "Dengar ya, Pak Mirza. Kalau saya perintahkan Bapak untuk mengantarkan saya ke kantor ya ke kantor!" Nada suaranya setengah meninggi hingga tidak ada pilihan lain bagi Mirza selain patuh pada perintah Nona nya.

Saat ini mobil yang Mirza kendarai melaju dengan kecepatan tinggi namun, harus tertangguhkan akibat jalanan yang sudah mulai macet. "Tambah kecepatannya, Pak!"

"Maaf, Non. Didepan macet dan sepertinya ada kecelakaan."

Penjelasan Mirza membuat Amira beranjak dari layar laptop lalu melihat ke sekeliling. "Ada jalur lain ga, Pak?"

"Ada, Non tapi lebih jauh."

"Ya sudah pakai jalur itu saja!"

"Baik, Non."

Atas perintah langsung dari Nona nya dia langsung memutar balik arah. kembali dilajukannya mobil dengan kecepatan tinggi hingga tak berselang lama sudah sampai pada gedung menjulang tinggi bertuliskan Tanzel Group.

"Silahkan, Non!"

"Terima kasih, pak." Ucapnya sembari melenggang ke lift yang akan membawanya pada lantai dimana ruangannya berada. Tanpa Amira sadari ada sepasang mata yang terus saja mengawasinya dari kejauhan.

"Amira ... Amira ... " lirihnya berpadukan tatapan yang masih saja mengunci hingga tubuh ramping tertelan diantara pintu lift yang membawa Amira naik pada ruangan kebesarannya.

...

Next chapter💕

avataravatar
Next chapter