24 Benarkah Amira Cemburu?

Tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, dia pun melayangkan pertanyaan. "Ada apa, Nem?"

"Itu, Non. Si Tuan Besar wes nunggu Non Amira di ruang makan. Tuan Besar pesan, Non Amira diminta cepetan turun."

"Nem, Inem. Pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar! Jangan di campur dengan bahasa jawa kayak gitu dunk. Pusing nih yang dengerin." Bentak Amira dengan suara meninggi.

"Yo maaf, Non."

"Maaf, maaf. Terus saja minta maaf. Opa, pesan apalagi?"

"Yo, pesane itu aja, Non. Pokok'e Non Amira di minta buruan ke ruang makan."

"Sampaikan saja bahwa saya lagi mandi dan suruh Opa untuk makan lebih dulu."

"Tapi Non ... "

"Apalagi, Nem?" Geram Amira berpadukan dengan tatapan menajam. Seharusnya Inem takut akan tetapi Inem malah tersenyum nyengir tanpa dosa. "Maaf lho Non tapi Inem harus sampaikan piye ke, Tuan Besar?"

Muak, geram, itulah dua kata yang menggambarkan perasaan Amira saat ini hingga dia pun membentak pembantunya yang sangat menyebalkan ini. "Sampaikan ke Tuan Besar untuk makan lebih dulu karena Non Amira sedang mandi. Oh iya, sampaikan juga bahwa Non Amira makan malam di kamar."

"Hih, bohong dosa loh."

Amira mendongakkan wajahnya berpadukan dengan tatapan menajam seolah berkata, apa maksud mu, Nem?

"Lah, kan Non Amira memang bohong to. Lha iku, Inem suruh bilang ke Tuan Besar kalau Non lagi mandi. Lha wong Non ae santai - santai sambil maen hp kok."

"Inem, kamu tu di sini saya bayar mahal untuk bekerja bukan untuk membantah perintah saya, paham?!"

"Sek, sek Non. Sabar disek. Gini lho yo. Pertama, Inem ora biso bohong. Kedua, Inem ora terbiasa bohong. Nah, sing ke telu. Inem, ora mau nek di suruh bohong. Biar pun jelek gini yo Non tapi, Inem ini sangat mendukung kejujuran. Panutan Inem ki siji Non yoiku kejujuran iku harga mati! Ngono lho, Non Amira. Opo maneh bohong sama orang tua iku dosa besar. Ogah ah, Inem ora sanggup nanggung dosane."

Kurang ajar ini si, Inem. Pembantu ga tahu diri. Dari dulu selalu saja melawan. Dasar pembantu menyebalkan!" Kesal Amira.

Sementara Inem masih saja bicara panjang lebar tentang arti kejujuran hingga Amira pun di buat geram karenanya.

"KELUAR!" Bentak Amira hingga suara bentakannya menggema. Seketika Inem pun dibuat ketakutan disuguhi wajah Nona nya mengeras berpadukan dengan bibir yang membentuk garis lurus. Tanpa berfikir panjang dia pun langsung beringsut mundur kemudian berlari meninggalkan kamar Nona nya. Meninggalkan Amira yang masih di selimuti dengan Amarah.

Saat ini tinggal Amira seorang diri di dalam kamarnya. Dia pun kembali berjalan mondar mandir dengan menopang dagu coba mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang menghimpitnya saat ini.

Kembali dibacanya pesan dari Louis dan hal itu semakin menenggelamkannya ke dalam rasa muak. Sebenarnya Amira bisa saja menghubungi Louis tapi, dia terlalu gengsi untuk melakukan itu semua. Gengsi Amira terlalu tinggi untuk meminta bantuan pada calon suami pura - puranya itu.

Sekalipun dalam posisi terdesak. Amira pasti akan memecahkan masalahnya ini sendiri. Sekalipun sandiwaranya bersama Louis terbongkar dia sudah siap untuk menghadapinya. Dia sudah siap menerima amukan dari ayahnya dan juga dari Tanzel.

Tapi, bagaimana dengan kesehatan Opa-mu, Amira? Bisik Dewi di dalam hatinya.

Seketika Amira tersentak. Satu kenyataan ini pun telah menyentak kesadarannya. Satu hal yang dia pikirkan jika Opa nya sampai tahu akan hal ini pasti akan langsung jatuh sakit, pasti penyakitnya akan kambuh, dan kemungkinan terburuknya adalah ...

Tidak. Amira tidak sanggup membayangkan akan hal itu. Amira tidak sanggup jika harus kehilangan Opa. Amira tidak mau jika kebohongannya ini akan berakhir dengan tragis.

Diacaknya rambutnya berulang kali bersamaan dengan itu langsung meraih ponselnya. Tidak ada pilihan lain selain memastikan pada Louis bahwa kepulangan lelaki itu ke Amerika hanya bersifat sementara.

Akhirnya dengan membuang segala ego, dia pun menghubungi Louis namun, sial. Nomor Louis sudah tidak aktif.

Satu hal yang Amira pikirkan bahwa Louis sengaja meninggalkannya. Ya, calon suami pura - puranya itu pasti sengaja meninggalkannya. Seharusnya Amira bisa berfikir positive bahwa saat ini Louis sedang dalam perjalanan sehingga harus mematikan ponselnya. Namun, Amira tidak berfikir sampai ke sana sehingga tanpa dia sadari dia pun telah berkirim pesan.

||•

Hai ...

Kenapa kau pergi gitu aja tanpa menemuiku lebih dulu, hah? Dengar ya, aku marah sama kamu, Louis. Sangat marah dan tidak mau memaafkan mu. KAMU JAHAT !!

||•

Singkat padat jelas, itulah pesan yang Amira kirimkan. Baginya pesan itu terlihat biasa saja namun, bagi Louis memiliki makna berbeda. Satu hal yang Louis tangkap dari pesan Amira ini bahwa Amira telah memiliki perasaan yang sama dengannya. Bahwa Amira telah merasa kehilangan dengan kepergiannya.

Seketika senyum dibibir Louis pun mengembang hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Amira ... Amira ... sorry ya kalau buat kamu sedih. Kamu pasti berfikir ya bahwa kepergian ku ini karena aku marah dengan ucapan mu." Ucapnya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian sembari menunggu waktu transit selesai.

Disandarkannya kepalanya pada sandaran kursi dengan mata terpejam. Dan bersamaan dengan itu bayang Amira datang menghampiri. Meskipun sekuat tenaga coba menepis akan tetapi bayang Amira semakin terlihat nyata.

Kini, iris birunya kembali terbuka. Pikirannya pun dipenuhi dengan Amira dan Amira. Tidak mau membuat wanita yang sangat dia cinta merasa khawatir, dia pun langsung berkirim pesan.

||•

Amira sayang ...

Maaf ya kalau aku ga menemui kamu lebih dulu karena waktunya sangat terbatas. Kamu jaga diri baik - baik ya selama aku pergi.

Miss you more💖🌹😘🌹💖

- Calon suami pura - pura mu: Louis Leigh Osbert -

||•

Amira pun merasa sedikit lega ketika mendapati pesan dari Louis. Dan dengan segera membaca pesan tersebut. Seharusnya Amira merasa tenang akan tetapi pesan dari Louis tak memberinya cukup ketenangan sehingga langsung memutuskan untuk menghubunginya. Refleks hal itu pun membuat bibir kokoh terus menyungging senyum bahagia sebelum mengangkat panggilan dari calon istri pura - puranya tersebut.

"Iya, Amira sayang."

"Ih, panggil sayang - sayang, Najis tahu."

Louis pun mendengus kesal. Mulai lagi deh galaknya. Dasar Mak Lampir.

"Yang barusan kirim pesan tadi kamu kan, Amira?" Tanya Louis.

"Ya, iyalah aku. Memangnya kamu pikir siapa, hah?"

"Sudah dunk jangan marah - marah terus, aku kan hanya memastikan saja."

Benar - benar calon istri aneh. Batin Louis mendapati sikap Amira yang mudah sekali berubah. Beberapa menit yang lalu masih baik - baik saja. Nah, sekarang emosinya meledak - ledak.

"Kenapa kamu balik ke Cambridge? Katakan apa alasan mu meninggalkan Indonesia!" Dan juga meninggalkan ku. Lanjut Amira di dalam hati.

Sebelum menjawabnya Louis pun mengulum senyum. "Tentu saja menemui seseorang, Amira."

"Siapa?" Sinis Amira.

🍁🍁🍁

Next chapter ...

avataravatar
Next chapter