1 Awal Cerita

"Minggu depan ke rumahnya, ditemenin bang Ghofur, bawa cincin,"

Dibiarkannya kalimat itu meluncur dari bibirnya, tanpa memikirkan sehancur apa perasaanku saat itu. Aku menangis sejadinya, memohon untuk menyudahi perbincangan yang menyakitkan ini.

"Maafin aku." Ucapnya.

Masih teringat jelas saat itu, saat seseorang yang sudah kutetapkan menjadi satu-satunya pria di hidupku, memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami yang sangat singkat ini, hubungan yang kurang dari dua bulan saja, karena ia ingin melamar mantan kekasihnya, sebelum dia menjadikanku pelariannya. Memang bodoh, seorang aku yang dari dulu tidak pernah bergantung pada seorang pria, bisa dibuat hancur sedemikian rupa.

Dua bulan saja? Sehancur itu kah untukku?

Ya, sehancur itu. Bagiku, dia satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanku dari apa yang kuanggap neraka dunia. Sebelum kehadirannya, aku tersiksa oleh keluarga ku sendiri. Dari kecil kekerasan fisik ku rasakan, belum lagi mental yang terganggu akibat makian dari keluargaku. Sejak memasuki usia 20-an, pada saat itu juga aku memulai karirku. Aku berhasil bekerja di salah satu perusahaan besar, dimana akhirnya aku bertemu dengan dia. Dia .. Fikar.

Dia membuat hari-hariku menyenangkan, tiada hari yang paling kutunggu kecuali di saat hari bertemu dia. Aku lebih sering menghabiskan waktu bersamanya, dia membuatku lupa akan rasa panas yang selalu kurasakan selama aku ada di rumah, dia .. penyelamatku.

Pertemuan pertamaku dengannya adalah saat aku sedang mengambil kopi di pantry kantor, saat sedang berbincang dengan salah seorang teman, tiba-tiba lelaki itu menyapa dari meja makan. Aku menoleh, tidak ada yang spesial, aku hanya tersenyum, dan melanjutkan pembicaraanku dengan temanku. Ketika aku kembali ke meja, selang beberapa menit saja aku membuka akun sosial mediaku, ada satu permintaan pertemanan baru, ketika ku lihat, nama asing yang tidak pernah kukenal. Bahkan terlalu aneh untuk di sebut nama, tidak ada foto yang dilampirkan. Ah, akun iseng kali. Pikirku, lalu menutup kembali akunku.

Saat selesai makan siang, salah seorang teman kantorku tiba-tiba mendatangiku, "eh, dapet salam tuh dari si Fikar," Aku menautkan alis, mencoba mengingat nama tersebut, tapi aku tidak berhasil, "Fikar .. ? Siapa tuh?" Tanyaku akhirnya.

"Loh, ga kenal emang?" Tanya temanku bingung, aku hanya menggeleng cepat. "Itu loh, IT departemen sebelah, coba aja lu liat, masih ada tuh orangnya di pantry."

Merasa tidak perlu, aku hanya menolak suruhannya, karena aku merasa tidak kenal. Akhirnya temanku beranjak dari mejaku. Aku kembali berpikir, mencoba mengingat, siapa gerangan orang tersebut?

Ting.

Gawaiku berbunyi, tanda notifikasi masuk, ketika ku lihat, ada permintaan pesan dari seseorang, akun itu lagi! Yang bahkan tidak bisa kubaca karena terlalu aneh untuk sebuah nama.

"Halo. Kok sombong sih? Disalamin ga bales?"

Deg, oh, ternyata ini toh, si Fikar itu yang mengirimiku pesan, kenapa namanya aneh begini? Pikirku.

"Fikar?" Tanyaku akhirnya.

":)"

Balasannya singkat, namun cukup jelas. Tanpa berpikir lagi, aku hanya membalasnya dengan basa-basi.

"Kok aneh sih nama akunnya?"

"Iya .. Cuma iseng bikin .. Jarang on sosmed soalnya."

"Ooh.."

"Emm .. minta kontak pribadinya dong, kalo boleh .. hehe."

Kuketik cepat kontakku, kukirim dan langsung kututup kembali gawaiku, melanjutkan pekerjaanku yang tertunda sedikit.

Jam pulang kantor, aku yang sedang berdiam di depan lift tiba-tiba dihampiri seorang laki-laki, "mau pulang ya?"

Dalam pikiranku, pasti ini yang bernama Fikar.

Aku mengangguk kemudian menjawab, "iya."

"Mau dianterin ga? Rumahnya dimana?"

"Hah? Gapapa kok, rumah gue jauh, di Selatan. Biasa naik Tj kok."

"Beneran, gue anter ya?"

"Gak, gausah, gue bisa pulang sendiri. Makasih ya." Ucapku sambil berlalu saat pintu lift terbuka. Tanpa melihat wajahnya lagi, aku menekan cepat tombol lift tersebut.

Saat sedang menunggu bus Tj datang, gawaiku bergetar, pesan masuk dari nomor yang tidak kukenal.

"Kapan-kapan gue anterin pulang ya. Ga boleh nolak."

Dih maksa, pikirku, benar dia rupanya. Tetapi, di satu sisi, aku merasa senang, ada seseorang yang mempedulikanku. Bukannya aku tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh orang lain, tapi saat itu aku merasakan hal yang berbeda dari dirinya. Tanpa kusadari, aku senyum-senyum sendiri. Kuketik cepat balasanku, kutekan enter. Pas sekali bus Tj sudah datang.

"Hmm, iya kapan-kapan deh. Jawabku pada pesannya."

-------

"Sumpah! Kamu jahat banget!!! Aku bikin apa sama kamu sampe kamu giniin aku?! Kamu mau matiin aku pelan-pelan? Bunuh aku aja langsung! Atau gak usah repot-repot, aku lagi di pinggir jalan, tinggal nunggu truk lewat dan aku lompat!"

Aku menangis di pinggir jalan sambil mengirim pesan itu pada Fikar. Saat itu aku sedang menunggu taksi, aku hendak pergi ke acara teman di salah satu kafe di Jakarta Selatan. Tapi mood ku seketika semakin hancur saat aku lihat foto profil di kontaknya diganti dengan foto mantannya, sakit sekali rasanya. Ku pikir dengan aku pergi ke acara temanku, bisa memperbaiki moodku, tapi malah ada kejadian ini.

Ya, malam tadi Fikar meminta untuk mengakhiri hubungan. Dia bilang dia ingin memperbaiki diri, dia ingin merenungi segala kesalahannya, terutama kesalahan dia terhadap mantan kekasihnya, Luna.

Kenapa dengan mantannya?

Dua hari lalu aku iseng membuka sosial media milik Luna, karena aku mendengar omongan-omongan tidak mengenakkan dari Fikar, dia bilang teman-teman Luna membicarakanku. Bahkan Luna sendiri pernah bicara denganku lewat telepon saat aku sedang jalan bersama Fikar, "Ini Sasha? Tau lagi jalan sama siapa???" Tanyanya dengan nada yang tidak menyenangkan yang membuatku bingung. Tanpa menjawab, aku langsung memberikan gawai tersebut ke Fikar, enggan mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Harusnya saat itu aku langsung mengerti situasinya, ada yang tidak beres disini.

Di sosial media milik Luna, aku melihat salah satu unggahan baru, screenshot chat dengan caption tanggal kemarin. Isinya ternyata percakapan Fikar dengan Luna. Disana Fikar meminta maaf kepada Luna, menyatakan bahwa Fikar sangat menyayangi Luna. Membaca itu, aku pun kaget, aku langsung menghampiri Fikar di meja kerjanya dan menanyakan maksudnya. Fikar hanya menunduk dan meminta maaf.

Oh, ternyata dia cuma jadiin gue pelariannya. Segala ucapannya mengenai Luna yang katanya udah gak sayang dia, dan dia yang udah gak punya perasaan terhadap Luna, kayanya cuma omong kosong aja.

Ya, mikir dong Sha! Wajar aja Fikar ga bisa lupain Luna, Luna itu cantik, profesinya tenaga kesehatan pula. Lo apa? Cuma pegawai rendahan aja banyak ngarep! Dari awal emang ga mungkin ada cowo kaya Fikar yang mau sama lo Sha! Berulang kali batinku mengatakan itu. Sesekali tersenyum getir, menahan tangis, termenung sendiri.

Call me anything you want, tetapi hal seperti ini baru bagiku. Aku tidak pernah terlibat dalam hubungan yang sedemikian rumit. Aku tidak pernah didekati lelaki yang ternyata masih punya hubungan dengan pacar sebelumnya, tapi malah berdalih bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Saat belum putus dengan Luna, Fikar pernah bilang, sikap Luna sudah beda terhadapnya, tidak membalas pesan, tidak menjawab telpon, lalu Fikar pun bilang padaku melalui pesan, kayanya gue bakal putus sama dia. Sambil menyelipkan emoji menangis. Aku hanya menjawab, jangan, hubungan kalian udh mau setahun loh, sayang kalo diudahin, coba diperbaiki aja.

Ya, aku tahu hubungan mereka sudah selama apa,  karena Fikar selalu cerita. Aku yang memang pada dasarnya memiliki banyak teman lelaki pun menanggapi santai curahan hatinya. Karena tidak hanya Fikar yang curhat, banyak teman lelaki yang curhat padaku, dan semuanya berteman baik denganku. Jadi kupikir sama saja dengan yang lain.

Sekali lagi, hal seperti ini baru bagiku. Aku tidak pernah mengalami hubungan percintaan yang serius, semua hanya cinta monyet saja, jadi saat Fikar datang padaku dan berkeluh kesah mengenai hubungannya dengan Luna, aku hanya menganggap hubungan mereka tidak serius, melihat usia mereka masih terbilang muda. Tapi sekalipun begitu, aku tetap berusaha memberi masukan yang baik untuk Fikar.

Yah, tetap saja. Di mata wanita pertama, wanita yang datang belakangan itu brengsek. Terbukti, dari ucapan-ucapan Luna dan teman-temannya mengenai ku. Bahkan saat Fikar-ternyata-mengakhiri hubungan dengan Luna, Luna sampai datang ke rumah Fikar dan bercerita panjang lebar sambil berderai airmata mengenai hubungan mereka, juga mengenai diriku, ke orang tua Fikar, juga adik perempuan Fikar yang masih kuliah. Lagi, aku wanita jahatnya disini, setelah itu ibunya sempat memberi tahu Fikar bahwa dia tidak merestui aku. Padahal, aku bahkan belum pernah bertemu keluarganya.

Aku masih ingat saat Fikar meminjam gawaiku untuk menghubungi adiknya itu. Tidak kusangka kontakku disimpannya. Lalu dia menyindirku di statusnya, "saya tidak mudah menerima kakak ipar." Yang ditanggapi Fikar enteng, "yah, maksudnya kamu, kakaknya kan cuma aku." Aku hanya melongo melihat responnya yang seperti itu. Belum lagi saat aku memposting foto berdua Fikar di statusku, dia membalas, "ih, ga cocok, muka kakak tua, kaya ibu lagi foto sama anaknya." Aku hanya membalasnya dengan ucapan terimakasih meskipun dada ini rasanya membara, tapi yang pasti sejak dia terus-menerus mem-bully fisikku, aku sakit hati.

Dia mengataiku gendut, tua, wanita jahat, bahkan dia mengataiku pelacur.

Ya, sampai detik ini aku tidak lupa kata-kata jahat yang dia tuju padaku.

-----------

"Maafin aku, maafin aku," Fikar memelukku erat saat dia melihatku menangis sejadinya. Ternyata setelah malam tadi memutuskan untuk mencampakkanku, siang tadi dia bergegas mendatangi rumah Luna, meminta maaf kepada kedua orangtuanya dan meminta Luna untuk menerimanya kembali.

"Bang Ghofur udah mau anterin aku ke rumah Luna minggu depan. Kata dia lebih cepet lebih baik. Maafin aku." Ucapnya lagi, diselingi tangisku, yang tidak kusangka, aku melihat dia meneteskan air mata juga, namun sayangnya air mata itu bukan untukku.

Sakit, sakit, hatiku sedemikian sakit. Aku tidak pernah menerima perlakuan seperti ini bahkan dari siapapun juga. Tentu berbeda dengan apa yang kurasakan dari keluarga ku, karena sedari dini aku tidak pernah berharap banyak pada mereka. Sedangkan Fikar? Aku sudah menggantungkan harapanku padanya, aku memutuskan untuk bersandar padanya, aku sudah bersumpah untuk selalu bersamanya. Namun ternyata memang benar yang selalu dikatakan orang-orang, Jangan menggantungkan harapanmu pada manusia.

"Sumpah, Fikar, kamu jahat banget. Sumpah." Isakku.

~ To Be Continued ~

avataravatar