30 Tiga Puluh Sembilan

Siang itu Abdi menyelesaikan beberapa tugasnya dengan baik, dia mengistirahatkan badannya sebentar. Sebelum berangkat ke tempat kerja tadi pagi adiknya yang bernama Ayu datang dari Barabai, katanya ada kegiatan dan seminar kampus dan dia lebih memilih singgah di rumah Abdi ketimbang harus istirahat di rumah neneknya yang terkenal galak itu. Abdi duduk pada sandaran kursi dan dia menikmati sebotol air mineral karena ini istirahat setelah latihan jadi dia agak lebih santai, dia memanfaatkan waktu untuk sedikit istirahan. tak lama setelah itu ada sebuah telpon masuk berdering cukup kencang. Ini sudah kesekian kalinya dia mengabaikan panggilan telpon itu tapi kali ini sudah tidak bisa lagi. terlihat di layar Hp bertuliskan nama adiknya. Abdi berpikir sejenak " ada apa dengan adiknya ini hingga menelponnya beberapa kali" Abdi menekan tombol hijau tanda dia menerima panggilan itu.

"mas.. cepat kerumah sakit ya! " ada rasa kaget luar biasa yang membuat pompa jantungmya lebih cepat, siapa yang sakit? ibunya, benaknya terus membuat tanda tanya besar bahkan lawan bicaranya itu hampir terdengar seperti orang yang baru saja menangis.

"ada apa? " tanya Abdi setelah dia menetralkan perasaannya sendiri " ibu sakit? " lanjuta Abdi lagi.

"bukan mas... tapi.. " suara di sebrang sana seperti tidak fokus sama sekali kdang Abdi mendengar suara tangisan yang di tahan oleh lawan bicaranya.

"tapi apa, kamu jangan buat mas ngak tenag dek. ada apa? bicara yang jelas, siapa yang sakit" Abdi tidak begitu sabar dia juga sangat lelah hari ini dan mendapatkan telpon dari adiknya yang membuat dia pusing sendiri.

"mba Mega... mba Mega mas"

"iya... Mega kenapa? " tanya Abdi semakin tidak sabar karena ini berhubungan dengan istri yang di sayanginya itu.

"mba Mega masuk rumah sakait" rasa kaget itu makin menyiksa dan degup jantungnya seakan makin lebih cepat, pikirannya kacau jika harus menghadapi keburukan yang ada jika menyangkut istrinya itu.

"kok bisa, bukannya dia bersama kamu tadi pagi untuk menghadiri seminar" Abdi masih memastikan bahwa kabar buruk itu bukan istrinya.

"dia jatuh dari tangga mas, cepatlah ke sini! aku takut"

"baiklah, tunggu mas ke sana! "

Abdi bersiap untuk pergi tak lupa dia juga izin untuk meninggalkan tempat latihan karena ini keadaan yang darurat dan untungnya atasannya mengizinkan dia untuk menemui istrinya. Dia sengaja meminta Ray untuk mengantarnya kerumah sakit, sesuai alamat yang telah di berikan adiknya itu. Rasa gelisah tertangkap jelas di mata sahabatnya dan sekaligus rekannya itu bahkan kadang Abdi menghembuskan nafas berat.

Mobil itu melajut melesat lebih cepat karena Abdi sudah tidak bisa berfikir apapun jika berhubungan dengan istrinya. " Mega adalah jiwanya, Mega adalah bagian dari hatinya yang tidak boleh terjadi apa-apa.

"kita Berdo'a saja semoga istrimu tidak apa-apa " ujar Rayan yang sudah tidak mampu lagi untuk tidak ikut mengeluarkan kata-katanya, bagi dia Abdi adalah teman terbaiknnya dan sangat jarang di landa kecemasan yang hampir menguras sisi cerdas otaknya.

"semoga saja Ray, dia perempuan kuat... dan pasti akan baik-baik saja" Abdi berkomentar lemah.

***

Di koridor rumah sakit Abdi dan Rayan berjalan cepat untuk menyusul tempat ruang inab Mega karena menurut informasi dari perawat tadi istrinya sudah dalam tahap aman. Abdi bahkan tidak tau bagian apa yang aman di maksud perawat itu yang ada dalam benaknya sekarang adalah istrinya itu utuh seperti tadi pagi dia tinggalkan. Abdi membuka ruang rawat inab itu dan yang pertama kali dia lihat adalah sosok perempuan yang terbaring lemah di atas ranjang dan mata itu bahkan tertutup rapat. Abdi mendekat dia berdiri di sisi ranjang rumah sakit itu, dia memandang istrinya kemudian memandang adik perempuannya.

"kenapa ini? " tanya Abdi masih tidak habis pikir dengan semua ini, tadi pagi istrinya itu bahkan tidak menunjukan gelagat apapun selain permintaan dia yang aneh-aneh.

"maaf.. mas"

"bicara yang jelas! " Abdi meninggikan suaranya tapi adiknya itu justru menangis.

"apa kamu akan diam seperti itu terus? bagaimana ini bisa terjadi? bukankah dia bersama mu" lelaki itu memberondong adiknya dengan banyak pertanyaan dan Ayu bahkan tak bisa mengatakan apapun dia hanya bisa menangis sesegukan karena takut, takut menceritakan yang sebenarnya.

"cepat bicara! kamu punya mulutkan" Abdi mendesak adiknya lagi dari kebungkamannya.

"tadi saat ku tinggal di ruangan seminar, mba Mega baik-baik saja tapi saat aku kembali dia menghilang, kata teman-temanku dia di bawa oleh seseorang dan Aku tidak tau siapa itu, sampai seminar usai mba Mega belum juga kembali dan aku makin gelisah. Aku sudah mencoba untuk menelpon tapi telponnya tidak pernah di angkat, hingga Naira temanku mengabarkan bahwa perempuan yang bersamaku tadi di temukan bersimbah darah di dekat tangga evakwasi"

Abdi tidak habis pikir dia bahkan tidak mampu berkomentar apapun, sekarang istrinya bahkan belum sadar sama sekali, tidak ada lagi senyuman di wajah pucat istrinya itu.

"aku sudah bilang untuk menjaga dia jika kamu ingin mengajaknya kemanapun"

"maafkan aku mas!" gadis itu makin ketakutan dan tidak berani memandang wajah kakanya sendiri.

"terus apa kata dokter? " tanya Abdi lagi memastikan bahwa tidak ada yang patah dari salah satu anggota tubuh istrinya itu.

"dokter bilang, mba Mega hamil... " Ayu berjeda sejenak untuk menguatkan hatinya untuk melanjutkan apa yang tadi di sampaikan oleh dokter. "tapi akibat jatuh tadi dia keguguran" Bagaikan di sambar petir di siang bolong untuk Abdi tadi dia mendengar istrinya hamil itu sudah menjadi kabar baik untuknya tapi dalam persekian detik hal itu berubah menjadi kabar buruk, sangat buruk bahkan di ruangan itu Rayan tidak bisa berkomentar apapun karena Abdi begitu suram dan tidak bersahabat, auranya terlihat seperti ingin marah tapi dia menahan sekuat yang dia bisa agar emosi itu tidak meletop-letop.

"Innalillah.. " hanya itu kata yang kaluar dari mulut Abdi bahkan lelaki itu terus saja beristiqfar agar dia bisa sabar yang dia pikirkan sekarang adalah istrinya, istrinya akan baik-baik saja jika mendengar berita ini. ini seolah -olah menjadi berita baik pada awalnya tapi buruk akhirnya.

"apa ada lagi selain itu?" tanya Abdi sambil menelisik seluruh tubuh istrinya.

"kakinya terkilir" kata itu yang keluar dari mulut adiknya tapi bertepatan dengan kata-kata itu mata Abdi berfokus pada kaki istrinya dan benar saja kaki itu juga terluka.

***

"sudah ku bilang jangan lakukan itu, kalau terjadi apapun dengan Mega kita bisa berurusan dengan polisi" Dhea berteriak tidak henti-hentinya karena kebodohan Tania yang mendorong Mega di tangga evakwasi tadi. Dhea bahkan saat ini sangat ketakutan hal ini pasti akan terdengar oleh telinga Faris.

"kamu takut? " Tania terwa sumbang dia melepas kerudungnya asal dan melempar itu sembarangan, dia seakan muak untuk bersembunyi dalam kerudung ini untuk menyamarkan sifatnya.

"kamu tidak perlu takut, kita Berdo'a saja semoga perempuan itu tidak selamat" Tania tertawa penuh kemenangan dia sekan puas, tidak mendapatkan Abdi setidaknya orang lainpun tidak ada yang memiliknya. Selama ini Tania terus saja mengikuti kemanapun Mega pergi baik itu dia bersama Abdi atau sendirian, dia selalu mengikuti Mega seperti seorang penguntit yang tidak ingin jauh dari mangsanya.

"kamu gila" Dhea berteriak pada perempuan itu, dia juga membenci Mega tapi tidak ada terlintas dalam fikirannya untuk membunuh perempuan itu.

"aku memang gila, gila karena takdir tidak adil bagiku. " Tania seperti orang gila yang baru saja memperoleh kemenangannya. Dhea pergi dari ruangan itu karena dia tidak tahan dengan kelakukan perempuan itu.

"ingat Dhea... jika kamu buka mulut, Faris tidak akan selamat" Tania seperti orang yang tidak di kenal, Dhea bahkan merinding ketakutan melihat sosok Tania yang berubah-ubah. "kenapa dengan petempuan ini, dia selalu berubah-ubah bahkan aku tidak bisa mengenali sifatnya "Dhea Pergi tanpa kata.

***

Dhea gelisah di dalam kamarnya, rasa takut seperti menjalar dalam tubuhnya. Pertemuan dia dan Mega di gedung itu masih membekas dalam ingatan, bahkan Mega dengan suka rela mengikuti mereka tanpa ada rasa curiga sedikitpun Mega tertipu oleh kepolosan Tania bahkan perempuan itu kabarnya terlibat sebuah pembunuhan di masa lalu tapi dia selamat karena kuranganya bukti hingga pengadilan menjatuhi dia bebas karena bukti itu tidak cukup dan alibi perempuan itu juga sangat tepat.

Dhea mengenal Tania 1 tahun lalu setelah penikahannya gagal. dia tidak begitu mengetahui siapa Tania dan perempuan itu juga tidak pernah menceritakan masa lalunya selain hubungan manisnya dulu dengan Abdi yang harus berujung hilangnnya dia karena hamil di luar nikah dengan orang lain. rasa penasaran inilah yang membuat Dhea terus saja mencari informasi tentang Tania tapi masih belum menemukan sesuatu yang mengganjal. Bahkan Dhea juga tidak tau bagaimana Tania bisa hamil dengan pengusaha itu dan satu tahun lalu pengusaha itu mati menggenaskan.

Dhea berusaha untuk menghubungi Faris lewat kartu nama yang di berikannya dulu, tapi tak ada satupun panggilannya di jawab oleh Faris, " kemana laki-laki itu" gumam Dhea di kesunyiannya. Dhea mencoba lagi untuk menelpon Faris tapi hasilnya masih sama, sudah hampir satu minggu Faris tak pernah muncul lagi di depannya.

"Faris... dimana kamu? " Dhea masih saja mencoba untuk menghubungi no Hp itu tapi nihil. Dia putus asa dan melempar hp itu ke atas kasur dan dia merebahkan tubuhnya yang mulai lelah.Dhea belum bisa memejamkan matanya pikirannya menerawang, ada rasa takut di hatinya ketika melihat Mega tadi bersimbah darah dan perempuan itu bahkan sempat meminta tolong padanya tapi dengan hati batunya Dhea malah mengikuti Tania meninggalkan Mega. Bahkan dia sangat tau Mega sedang berjuan menahan sakit terutama di bagian perutnya dan darah merembas melalui rok panjang yang di kenakan Mega, Dhea melihat itu.Dulu dia memang sering membuli Mega tapi tidak pernah sekalipun melukai fisik Mega apalagi sampai membuat perempuan itu berdarah.

Seakan menerawang kejadian tadi adalah obat tidur untuk Dhea yang kelelahan, lelah dengan semua takdir yang kacau seperti ini. perlahan matanya terpejam, nafasnya teratur dia terbuai kedalam mimpi tapi tiba-tiba mimpi itu berubah mencekam Mega datang kedalam mimpi Dhea dan menyebut perempuan itu sebagai pembunuh.

"kamu pembunuh Dhea" Mimpi itu terasa nyata rupanya dia ketiduran, keringat membanjiri kening dan tubunya bahkan nafasnya begitu memburu, kata pembunuh masih tersiang jelas di telinganya " apakah Mega meninggal" satu kata itu yang membuat hatinya cemas, takut apakah yang dia lakukan ini sudah benar tapi tidak ada rasa kepuasan di dalam diri Dhea dia malah iba. Dulu melihat Mega hancur adalah mimpinya tapi sekarang melihat kenyataan yang ada Dhea malah takut, dia takut terlalu jauh tenggelam dalam dirinya dan melupakan sisi kemanusiaannya.

***

avataravatar
Next chapter