20 Beri Mahar Dulu

"Khawatir? Benarkah? Aku mengkhawatirkan dia?" Fatin berkata dalam hati.

"Tidak! Aku tidak khawatir. Aku hanya ... aku hanya khawatir kalau dia kenapa-napa siapa yang akan membayar rumah sakit ibuku? Ya, hanya itu." Toni tersenyum.

Fatin pergi dari ruang operasi itu. Dia malu ketahuan mengkhawatirkan Griffin. Dia tidak mau nanti Griffin tambah ge-er kalau tahu dia mengkhatirkannya. Lelaki itu 'kan super nyebelin. Dia tengsin kalau nanti ketahuan akhirnya luluh. Sedangkan Toni tetap saja jaga di ruang operasi itu. Ruang operasi dengan ruang ICCU tempat ibunya Fatin di rawat tidak begitu jauh. Jadi Toni masih bisa mengawasi Fatin.

Matahari sudah masuk sepernggalan. Fatin merasa sangat lapar, tapi bagaimana? Dia tidak mau meninggalkan ibunya. Dia terlihat gelisah. Toni mendekatinya. "Ada apa, Nona. Katakan saja. aku bertugas membantu nona di sini ketika tuan sakit."

"Itu, anu. Aku lapar." Fatin menggaruk-garuk kepalanya karena merasa sangat malu.

"Oh, baiklah. Nona mau sarapan apa?" tanya Toni. Lelaki itu menscrol-scrol gawainya.

"Hmmm, sepertinya nasi uduk enak, Mas." Toni menoleh ke arah Fatin kemudian mengklik satu menu untuk pesan secara on line saja. Sebab, nona yang satu itu kadang susah di tebak. Kalau Griffin siuman kemudian menanyakan dirinya tidak ada di tempat, bisa ngamuk bos nya tersebut.

"Sudah, Nona. Tinggal tunggu pesanan datang." Toni kembali ke tempat duduknya.

Sementara itu, di Floris terjadi kecanggungan antara Rasya dan Dinda. Mereka saling diam karena pertengkaran kemarin. Keadaan canggung seperti ini membuat keduanya saling kehilangan. Keadaan itu sungguh tidak mengenakkan. Dinda merangkai bunga dengan diam, tidak seperti biasanya dia selalu paling cerewet.

"Din, mengapa kamu diam? Kamu masih marah, ya?" Rasya membuka pembicaraan karena dia mulai tidak nyaman dengan didiamkan seperti itu. Dinda hanya menoleh saja, dengan wajah masamnya.

"Rasya," panggil kakek Bagyo.

"Iya, Kakek." Rasya bangkit kemudian mendekat ke arah kakek Bagyo.

"Hari ini Fatin tidak berangkat. Ibunya sakit. Kamu menggantikan langganan Fatin, ya?" Rasya mengerutkan keningnya. Fatin tidak cerita apapun dan tidak menelponnya? Biasanya dia menelpon jika ada apa-apa. Tapi kali ini dia tangani sendiri.

"Sakit apa, Kakek?" tanya Rasya.

"Belum tahu, kita tidak boleh menjenguk. Rumah sakit tidak memperbolehkan kunjungan." Rasya mengangguk kemudian beranjak kembali ke ruang tengah.

"Din, kamu tahu kalau ibunya Fatin sakit?" tanya Rasya pada Fatin.

"Tidak, dia tidak ada menelpon aku." Sedang dibicarakan, bunyi telepon Dinda berdering. Ternyata itu adalah Fatin. Dinda buru-buru menganggkatnya.

"Fatin, ibu kenapa? Kok tidak menghubungi kita?" tanya Dinda.

"Load speaker, Din. Biar aku dengar juga." Dinda memencet tanda speaker pada gawainya sehingga suara Fatin mengeras.

"Maaf, gue nggak sempat. Aku tahu-tahu aja sudah di rumah sakit. Bang Griffin yang membawa ibu ke rumah sakit." Dinda dan Rasya saling pandang.

"Kok bisa, memang kamu kemana?" tanya Dinda.

"Aku tidak ke mana-mana. Jadi, ceritanya aku diantar pulang. Aku ketiduran di mobil. Tahu-tahu sudah di rumahs akit. Aku bingung 'kan saat terjaga. Ternyata, ada asisten Bang Griffin dan dia mengatakan kalau ibu sakit dan di rawat." Fatin menceritakan kronologisnya.

"Tunggu-tunggu, kamu bisa tidak kerasa? Berarti kamu masuk rumah sakit bagaimana?" tanya Dinda. Sedangkan Rasya hanya diam saja. Dia menjaga perasaan Dinda.

"Hehehe, aku di bopong sama Bang Griffin." Di seberang sana Fatin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Weh kemajuan. Kenapa tidak jadian saja, sih?" tukas Dinda.

"Ngawur kamu. Dia milik orang. Sembarangan saja. Ya sudah, kalian yang akur, ya? Aku tutup dulu. Assalamualaikum." Fatin menutup sambungannya.

Mata Rasya dan Dinda saling ketemu. Keduanya salah tingkah, ketika mau berbalik dan jidad mereka berbenturan.

"Ternyata, aku lebih kehilangan Dinda. Ternyata dia cantik. Kenapa hatiku deg-degan dekat dengan dia?" Rasya bertanya dalam hatinya. Dia berjalan ke belakang untuk menenangkan hatinya. Dia memandang jalanan yang hiruk pikuk. Seeprti hatinya saat ini. penuh dengan gejolak asmara.

"Mungkinkah sebenarnya aku jatuh cinta padanya? Mungkinkah dengan Fatin aku hanya merasa kagum karena pribadinya? Aku bingung." Batin Rasya masih bergejolak. Lelaki itu memejamkan matanya. Dia berbalik kembali ke dalam untuk kembali merangkai bunga. Banyak tugas yang harus dia selesaikan. Untuk menghindari pesanan membludak, kakek Bayo menutup Floris setelah tengah hari dan mereka istirahat.

Dinda mengambil makanannya yang biasa sudah di pesan kakek Bagyo. Mereka berdua tidak sengaja bersentuhan tangan dan mau mengambil box yang sama. Dinda mencoba menarik tangannya, tapi Rasya malah menggenggamnya.

"Jangan diamkan saya seperti ini. Aku merasa kehilanganmu, Din." Rasya menatap mata Dinda lekat-lekat. Kakek Bagyo yang akan masuk ke dalam tidak jadi. Dia hanya termangu di depan pintu melihat anak muda yang mungkin saling jatuh cinta.

"Sya, aku tidak mendiamkanmu. Aku mencoba menerima takdirku, bahwa hatimu sudah tertutup rapat untukku. Aku sudah berfikir semalaman, bahwa aku akan melupakanmu." Dinda berusaha menarik tangannya, tapi pegangan Rasya terlalu kencang.

"Kamu yakin?" Dinda mengangguk. Rasya memejamkan matanya, masih menggenggam tangan Dinda.

"Kamu yakin tidak mau memberi hatiku kesempatan? Kamu yakin mau merelakan cinta kita menguap?" Dinda mengangkat wajahnya dan melihat sorot mata Rasya. Dia tidak percaya akan apa yang dikatakan oleh Rasya.

"Maksud kamu kita apa?" Dinda menatap tajam mata bening itu. Demikian juga dengan Rasya. Dia menatap sendu Dinda yang semakin terlihat cantik.

"Aku tidak tahu, aku merasa kehilanganmu. Saat dekat denganmu, aku merasa sangat nyaman. Beda jika sama Fatin. Aku memang merasa harus melindunginya, karena dari kecil kita barengan." Dinda malu-malu menundukkan kepalanya. Dia merasa bahagia, karena ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Air mata haru luluh dari dalam mata indahnya. Rasya menampung air mata itu di telapak tangannya.

"Kok menangis? Apa aku salah bicara?" Rasya khawatir jika Dinda marah lagi.

Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian mengangkat wajahnya. "Aku terharu. Tapi, ini bukan mimpi 'kan? Kamu tidak berbohong, Sya?" Dinda meyakinkan. Dia kembali menatap bola mata yang bening itu.

"Tidak, aku tidak bohong. Lagi pula, Fatin tidak mencintaiku. Dia mencintai Griffin. Aku bisa membacanya. Walau dia lebih dewasa dari dirinya, tapi demikian Fatin. Dia mencari sosok ayah dari dalam diri Griffin. Itu yang aku lihat." Rasya memegang kedua tangan Dinda.

"Aku bahagia." Perkataan Dinda yang singkat membuat Rasya menarik tubuh wanita tersebut ke dalam pelukannya.

Kakek Bagyo merasa harus mencegah dan memberi tahu mereka, bahwa boleh pacaran, tapi dilarang berbuat lebih jauh. "Tunggu anak muda."

Rasya melepaskan pelukannya. Dia sedikit kikuk karena ketahuan kakek Bagyo telah memeluk Dinda. "Kalau kau ingin memeluknya, beri mahar dulu sama orang tuanya. Jangan asal peluk."

Pipi Dinda merona. Kata-kata kakek membuatnya tersipu malu. "Boleh, jika Dinda sudah siap melahirkan anak-anakku." Dinda makin tersipu malu. Oleh karena itu dia memilih pergi dari hadapan mereka berdua.

avataravatar
Next chapter