32 Frankfurt, Germany ( 2 )

Aku berganti pakaian dan memoles wajahku, pikiranku masih sibuk menolak kenyataan yang ada. Mungkin bagi orang lain ini adalah sebuah rejeki nomplok ala kisah cinderella dimana keberuntungan akan berpihak pada perempuan yang dicintai oleh pangeran kaya raya nan tampan, namun aku sedikit sukar mengambil sudut pandang dari sebelah itu, mengangkap kemakmuran adalah kebahagiaan.

Aku lebih memilih bahwa ini hanyalah sebuah mimpi yang akan segera berakhir, walau kutahu persis, mereka yang sepenuhnya terperangkap dalam mimpi tidak akan mengalami indahnya rasa nyata, melainkan ekstasi. Aku berharap ini hanya mimpi, bukan kenyataan, Aku lebih memilih Valter sebagai orang biasa, dibanding kan Valter dengan atribut kebangsawanan.

Aku mengamati raut wajah dan detil make up yang kupoles, mengamati pakaian ku sebelum aku beranjak keluar menuju ruang keluarga untuk bertemu orang tua Valter. Sekali lagi aku menghirup napas dalam dalam, dan mengajak wanita di dalam cermin berbicara, " Sebagus apapun kau memolesnya, kamu hanyalah monyet yang diberi pakaian layaknya princess, namun kamu tetaplah monyet, tidak akan berubah menjadi princess. " ucapku kepada diriku sendiri di dalam cermin.

Ini sebuah luapan betapa terpuruknya rasa percaya diriku ketika mengetahui latar belakang Valter.

-

Aku melangkah masuk mengikuti Valter dari belakang, ke ruangan dengan desain neo-classical, di dalamnya ada dekorasi dekorasi emas, sofa berwarna senada, dengan karya seni lukisan berjejer rapi dinding bagian atas ruangan juga beberapa ukiran di langit langit.

" Ini Ayahku ", kata Valter, " Ayah, ini Jade, kekasihku. "

Aku menjulurkan tangan melintasi meja kecil dan menjabat tangan Ayah Valter dengan sopan.

" Senang berjumpa dengan Anda, Pak, " Kataku kaku. "Saya sudah mendengar sedikit cerita mengenai bapak dari Valter." Sambil berdiri tegak, menatap mata Ayah Valter dan berusaha se rileks mungkin.

Lelaki tua bernama Odolf itu berusia sekitar 60 tahun itu tersenyum kecil disertai angukan kaku, entah apa artinya itu, Matanya memancarkan seseorang yang cerdas dan teliti, kumis tertata rapi, nampak gurat gurat keriput kecil di wajahnya yang tidak mampu menutupi sisi ketampanan di masa muda.

" Dan ini, Ibuku . " lanjut Valter sambil tangan mengarah terbuka menunjuk seorang ibu yang duduk rapi di sofa bagian pojok.

Aku berjalan mendekat, menjabat tangan Ibu Valter sambil menatap mata nya penuh hormat. Wanita itu bernama Maloree, berwajah aristokrat, nampak anggun dibalut busana berwarna putih, tubuhnya tinggi dan ramping terlihat jelas bahwa wanita ini begitu memperhatikan penampilanya, rambutnya memutih nampak berkilau menambah kesan matang di dirinya, matanya memandangku hangat namun tidak tersenyum seolah mempunyai garis khayal yang membatasi orang baru untuk masuk dalam kehidupan mereka.

" Selamat datang di rumah kami, Jade. " sahutnya sambil memperhatikan diriku. Aku merasakan tatapan matanya yang menelusuri setiap inci gerakan tubuhku.

" Terima Kasih. Senang berjumpa dengan Anda." sapaku sambil tersenyum.

" Kuharap engkau bisa menikmati masa liburanmu dengan Valter di Frankfurt. " tambahnya lagi.

Segalanya berjalan smooth tanpa banyak drama, orang Germany memang terkenal tidak banyak basa basi, dan bersikap cenderung dingin terhadap orang baru dan sangat formal. Ini bukan berarti bahwa mereka sombong, arogan atau membencimu, mereka menghargai orang dengan cara mereka, mereka adalah orang orang yang menurutku lebih tulus memperlakukan orang lain, tidak dangkal dan berpura pura manis, mereka sangat menghargai hak privasi orang lain.

-

Aku memandang hamparan taman di belakang rumah Valter dari balkon kamar, di sisi kiri penuh dengan bunga bermekaran, ada pagar yang tertutup tanaman dengan bunga bunga kecil merambat diatasnya, pada sisi bagian tengah terdapat hamparan rumput luas yang di gunakan sebagai lapangan golf 18 hole, dengan struktur tanah sedikit berbukit, pepohonan rimbun tertata rapi dan bunker berukuran besar kecil untuk membuat area lapangan semakin menantang.

Tempat ini begitu besar, masing masing ruangan memiliki arsitektur yang berbeda beda, ada perpustakaan, ruangan teater, ruang musik, ruangan denga bar besar dimana hampir separuh dinding penuh dengan wine dan bir, juga ruang khusus yang penuh dengan koleksi barang antik.

Aku melonjak kaget, oleh gerakan tangan yang memelukku dari belakang, aroma parfum Valter perlahan membiusku, jantungku terasa berhenti berdetak untuk beberapa detik, dan tiba tiba berdetak kencang di detik berikutnya. Aku membalas pelukannya dengan menaruh tangan ku diatas tangan Valter yang memelukku dari belakang. Valter menciumi rambutku dan mengecupku dari belakang, sejenak aku berdiri mematung, badanku merinding oleh kecupannya, secepatnya kubalikkan badanku, memposisikan tubuhku berada tepat di hadapan Valter.

Aku mengamati wajah Valter lekat lekat, dia begitu tampan, mata biru yang berkilau dengan tatapan teduh, Valter mendekatkan wajahnya ke wajahku, hingga jarak kami begitu dekat, ini adalah salah satu moment yang biasa ku sebut masa masa kritis, perasaan dimana tubuh terasa ringan, seolah terhipnotis di titik kenyamanan diambang batas dan seperti tidak berdaya pasrah dalam dekapan hangatnya.

Aku membalas ciuman hangat Valter, sejenak aku terbawa dengan suasana dan keadaan, namun berhasil mengambil alih kontrol di menit berikutnya. aku melepaskan diri dari kutub magnet terkuat itu, dan mengalihkan topik dengan membuka pembicaraan.

" Kupikir kamu punya kamar pribadi di Kastil besar ini, tapi sepertinya kamu lebih banyak berkeliaran di ruangan kamarku. " sahutku meledek.

" hmm.. itu sudah tidak berlaku lagi, karena aku memutuskan berbagi kamar denganmu. " ucapnya sambil berbalik mengajakku masuk ke dalam ruangan.

" Apa ? Bagaimana jika orang tuamu tahu kita berbagi ranjang." sahutku membelalak.

Valter mendudukkan ku dipangkuannya,

" Jade, orang tuaku sudah mengetahui bahwa kita tinggal bersama di Munich." sambil memain mainkan rambutku.

" oh ." gumamku.

Hari ini sepertinya aku merasa Valter sedikit kurang terkontrol, beberapa kali dia dia terus menempel tidak jauh dariku, dia menciumku meskipun sedang berada di ruang terbuka di area rumah, apa karena suasana rumah dan liburan yang membuatnya sedikit rileks sehingga menuntut lebih banyak waktu untuk bermesraan ?

" Bolehkah aku bertanya sesuatu ? " sahutku manja.

" Tentu saja. Kau tidak perlu bertanya, setiap kali ingin menanyakan sesuatu. "

" Jika kuperhatikan, akhir akhir ini kamu tampak lebih bergairah Valter. " ucapku masih duduk dipangkuan Valter. " Apa pemicunya ? "

" Hmmm... hubungan yang lebih kuat, kepercayaan, rasa cinta, mendorongku ingin selalu berada dekat. " ucapnya.

" Kamu ingin sesuatu yang lebih dari itu ? " tanyaku lagi.

Valter memeluk erat pinggangku dan membenamkan wajahnya di rambut panjangku.

" Aku ingin sekali, tapi aku bersedia menunggu hingga kamu siap. " bisiknya lembut.

Phonecell ku berdering... beep...beep...

pembicaraan telp

" Hello." sahutku

" Jade, apakah kau di Frankfurt ? " sahut Mia diseberang sana.

" Iya, aku tiba kemarin. hari ini aku berencana mengunjungimu. " sahutku lagi.

" Kau sudah bertemu orang tua Valter ? apa pendapatmu ? " tanya Mia.

" Mereka cukup baik, Kenapa kau tidak pernah menceritakan latar belakang Valter sebelumnya ? Kalian menjebakku di posisi yang cukup sulit, tanpa persiapan. " sahutku dengan nada merajuk.

" Hahahahaha, aku tidak bermaksud, Jade. aku senang mendengar kau baik baik saja. cepatlah kesini , aku tidak sabar bertemu denganmu. oh ya, maukah kamu menjadi saksi untuk upacara sipil besok hari ? " sahut Mia riang.

" tentu saja. see you. " jawabku menyudahi pembicaraan.

🕊🕊🕊

avataravatar
Next chapter