2 Mas Johan Terlalu Baik Pada Mereka

Sebelum baca klik berlangganan dulu ya

****** ******

"Rin, kok malah bengong sih kamu? Kamu nggak dengar dari tadi Bobby, Dewi dan Devi sudah kelaparan? Kayaknya kamu itu sengaja banget deh buat kami kayak gini!" Mbak Sarah lagi ke dapur, kali ini sambil menggendong si kecil Bobby.

"Sabar sedikit dong, Mbak. Mbak lihat kan dari tadi juga aku nggak diam saja, malah sehabis subuh aku sudah bangun, hanya demi bisa menyiapkan sarapan untuk kalian sebelum aku berangkat ke pasar," ucapku mencoba bersabar.

"Masak dari subuh hingga jam segini kok belum kelar juga. Memang lelet ya kamu itu!" ucapnya lagi.

"Mbak bisa nggak sih, sedikit saja menghargai semua usaha dan kebaikanku? Sebisa mungkin aku menuruti apa yang Mbak Sarah dan keluarga minta selama ini, hanya karena aku menghargai Mbak Sarah sebagai saudara satu-satunya suamiku."

Untuk pertama kalinya sejak kedatangan Mbak Sarah dan keluarganya di sini, aku berucap dengan nada sedikit tinggi seperti saat ini. Karena rasa kesal di dalam hati ini sudah menumpuk, memberi banyak pengorbanan dan kebaikan namun tak pernah di hargai.

"Kamu sudah mulai berani ya ngomong dengan nada tinggi kayak gitu kepadaku? Ingat lo kalian itu memiliki hutang budi yang besar kepada kami. Jika dulu kami tak membiayai kuliah Johan, mungkin kalian masih hidup kere sampai sekarang!. Jadi manusia itu jangan seperti kacang yang lupa pada kulitnya dong! Kamu harus ngerti bagaimana caranya membalas budi!"

"Sampai kapan Mbak Sarah akan selalu mengungkit-ungkit hal itu? Bukankah sebenarnya itu memang sudah menjadi kewajiban saudara yang lebih tua untuk mengayomi adiknya, ketika orang tuanya telah meninggal dunia? Bukankah Mas Johan juga sering memberi kalian uang ketika gajian, dan masalah pembagian tanah warisan juga Mbak Sarah meminta bagian yang lebih banyak 'kan? Padahal seharusnya dalam agama kita, anak laki-laki itu mendapatkan bagian lebih banyak dari pada anak perempuan, ati setidaknya mendapat bagian yang rata. Tapi kami pun selama ini tak pernah mempermasalahkan hal itu, apa yang Mbak Sarah minta pun kami turuti. Apa masih kurang semua pengorbanan kami itu Mbak?"

"Kamu itu memang tidak tahu sopan santun ya! Johan itu memang benar-benar b***h, karena telah memilih wanita seperti kamu untuk du jadikan istri!"

Sungguh benar-benar emosi aku pagi ini, seharusnya sebagai tamu yang hanya menjadi benalu, dia itu tahu diri membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, bukan malah menjadikanku pembantu, dan juga terus menghinaku seperti ini. Kalau alasanya capek karena mengurus bayi, bagaimana dengan aku? Meski belum memiliki anak aku juga bekerja.

Padahal sebelum mereka datang ke rumah kami, tak pernah aku masak di pagi hari. Karena Mas Johan pun tak biasa sarapan pagi, hanya segelas susu hangat dan roti selai sudah cukup buat kami. Dan biasanya saat sore ketika kami sama-sama pulang kerja, salah satu dari kami akan membeli makanan untuk makan malam. Atau kalau tidak, maka kami akan memasak bersama. Oh indahnya hidup tanpa mereka seperti dahulu.

Dulu ku kira mereka tak akan lama tinggal di rumahku, atau paling tidak Mas Rusli akan kembali bangkit dan bekerja untuk memulai kehidupan baru. Namun nyatanya aku salah, semua kebaikanku dan Mas Johan di sini justru membuat mereka makin betah jadi benalu, dan sepertinya tak ingin pergi dari kenyamanan ini.

"Ada apa sih Dek, pagi-pagi gini sudah ramai di dapur? Malu 'kan di dengar tetangga." Mas Johan keluar dari kamar dan ikut nimbrung di dapur.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan dari suamiku tadi, Mbak Sarah sudah berkata-kata duluan.

"Ajarin tuh Jo, istrimu sopan santun pada yang lebih tua! Penampilan saja alim tapi kelakuannya sudah kayak berandalan!"

Astaghfirullah aladzim, Mbak Sarah sungguh tega berbicara seperti itu di hadapanku.

"Memangnya ada apa sih, Mbak?" ujar Mas Johan lembut seperti biasa, sambil mengambil Bobby dari gendongan Mbak Sarah.

"Rini itu, kebangetan banget Jo. Katanya sudah masak dari habis subuh kok sampai jam segini belum juga matang? Sepertinya dia itu sengaja agar kami kelaparan, sepertinya juga dia itu tak rela kami tinggal di sini Jo. Padahal dia sendiri juga tahu kalau anak-anak juga dari tadi sudah merengek kelaparan," bela Mbak Sarah.

"Bukan seperti itu, Mas. Memang belum matang, ini tinggal mendidihkan saja soto nya. Sedikit sabar kan bisa, toh tadi pagi anak-anak dan juga Mbak Sarah sudah menghabiskan segelas susu seperti biasanya," jawabku sambil mengaduk soto daging yang sebentar lagi akan segera mendidih ini.

"Mana kenyang kami hanya minum segelas susu saja, apalagi aku yang masih menyusui Bobby? Banyak sekali alasan mu itu Rin. Kalau nggak suka kami di sini bilang saja, kami bisa kok menyewa kontrakan yang lebih bagus dari pada di sini!" ujar Mbak Sarah lagi dengan sombongnya.

"Ya baguslah kalau begitu, silahkan Mbak Sarah pindah ke kontrakan dan pergi dari sini secepatnya!" Kubanting kain lap yang dari tadi kupegang, lalu berlalu menuju kamar.

"Tuh 'kan, apa kubilang. Dia itu kurang ajar, berani-berani nya mengusir aku dari sini Jo! udah yatim piatu, dekil, miskin tak punya sopan-santun lagi!" Teriakan keras Mbak Sarah itu sontak membuat Bobby menangis.

"Sudah-sudah Mbak, maafin Rini ya. Mungkin dia lagi capek mangkanya sedikit emosi. Tuh masakannya sudah matang semua, sekarang Mbak Sarah dan anak-anak makan saja ya, aku akan ke kamar dulu menemani Rini." Sayup.ku dengar suara Mas Johan menenagkan kakak iparnya itu.

"Iya ajari istrimu itu agar mengerti arti balas budi!" omel Mbak Sarah lagi.

Memang Mas Johan selalu begitu, tak pernah membelaku, seakan aku memang yang selalu salah. Dia hanya akan selalu memintaku untuk bersabar menghadapi keluarga kakaknya itu.

avataravatar
Next chapter