4 Benar-Benar Tak Tahu Diri

Sebelum baca klik berlangganan dulu ya

****** ******

"Baiklah Mas, aku akan mencoba bersabar lagi untuk dua hari ke depan. Semoga kamu segera mendapat pekerjaan untuk Mas Rusli dan mereka pindah dari sini. Ini semua aku lakukan demi menghormatimu Mas. Namun jika dua hari berlalu dan semua tak berubah, maka jangan salahkan aku jika aku akan menggunakan caraku sendiri agar mereka tak betah berada di sini!"

"Terima kasih banyak Dek, kamu masih mau bersabar lagi, ternyata tak salah aku memilihmu menjadi istriku. Insyaallah dua hari lagi semua akan berbeda Dek. Sekali lagi terima kasih ya Dek." Mas Johan kemudian mencium keningku dan memelukku.

Meski pun aku sangat membenci kelakuan saudara iparku, namun aku tak ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Johan berantakan. Aku harus tetap bisa menempatkan diriku, agar semua berjalan seimbang.

Aku adalah Rini Juwita, saat ini aku masih berusia dua puluh tiga tahun. Aku sudah tiga tahun ini menikah dengan Mas Johan, lelaki baik dan pendiam yang usianya empat tahun lebih tua dariku. Kehidupan rumah tangga kamu amatlah bahagia meski sampai kini kami belum di karuniai momongan.

Suamiku itu kini bekerja sebagai seorang supervisor di sebuah perusahaan swasta ternama di kota ini. Sedangkan aku setiap hari berjualan sembako di pasar, tokoku itu sebenarnya selalu ramai namun aku belum mempekerjakan orang lain untuk membantuku.

"Dek, kok kamu malah bengong sih? Yuk buatin aku roti selai dan segelas susu, aku mau berangkat kerja nih." Mas Johan menggengam tanganku dan mengajakku menuju ke dapur.

Melewati keluarga benalu yang sedang makan besar itu. Ketika kami berdua lewat di depan meja makan, mereka cuek saja, seperti tak melihat keberadaan kami. Mas Johan tahu bahwa aku bisa emosi lagi jika melihat semua makanan yang tadi tersaji di meja makan itu telah habis tak bersisa, dia pun lalu menggengam tanganku lebih erat, dan menuntunku ke dapur.

"Yang sabar ya Dek, maafin juga semua kelakuan mereka. Aku yakin Allah akan membalas semua kebaikanmu berkali lipat. Ayo sekarang kita buat sama-sama saja roti dan susunya. Kamu juga kan harus sarapan sebelum berangkat ke toko."

Aku hanya bisa mengangguk mendengar ucapan suamiku itu, dan mulai memasak air untuk membuat susu hangat untuk kami, sambil mencoba meredam emosi. 'Sabar Rin, yang sabar tinggal dua hari lagi penderitaanmu," pikirku.

Setelah roti dan susu siap, kami pun menyantap semua itu di dapur, persis seperti pembantu yang di sia-siakan majikannya.

"Aku berangkat sekarang ya Dek, sudah siang nih. Kamu mau sekalian berangkat atau nanti?"

"Kamu berangkat duluan saja Mas, aku mau beres-beres dulu, biar rumah nggak kayak kapal pecah begini. Nanti aku naik motor saja."

"Oke kalau begitu. Nanti hati-hati ya, dan jangan terlalu capek bekerjanya ya." Mas Johan kemudian mencium keningku, lalu aku pun mencium punggung tanganya.

Sesungguhnya aku nggak pernah Mas capek bekerja di toko. Justru jika seharian aku di rumah bersama orang-orang ini, maka aku akan capek tubuh dan pikiran, bahkan bisa-bisa aku di buat gila oleh mereka.

Aku pun kemudian menuju meja makan yang telah di tinggalkan mereka, dengan keadaan berantakan, dan banyak nasi berserakan di lantai. Sementara semua makanan sudah habis tak tersisa, hanya menyisakan setengah teko air putih saja. Astaghfirullahaladzim, beri aku kesabaran ekstra untuk dua hari ke depan ini ya Allah.

"Jo, bagi uangnya dong. Nih keponakanmu pada minta jajan, buat beli rokok dan pulsa juga. Sekalian buat beli lipstik dan bedakku yang tinggal sedikit Jo." Mbak Sarah berkata dari depan pintu kamar saat Mas Johan melintas.

"Nih, Mbak." Tuh 'kan, suamiku langsung memberikan uang untuk kakaknya itu.

"Kok cuma dua ratus sih Jo? Buat beli jajan dan pulsa saja sudah kurang! Tambahin lah!" rengek Mbak Sarah.

Klontang!

Klontang!

Klontang!

Sengaja ku jatuhkan panci yang sedang ku cuci ke lantai, meluapkan emosi di dalam diriku. Benar-benar tak tahu diri 'kan kakak iparku ini.

"Apaan sih tikus di dapur itu berisik banget!!" teriak Mbak Sarah.

"Sudah..sudah Mbak. Nih kutambahi ya. Jangan boros-boros dong Mbak, ini tanggalnya sudah mulai tua lho," kata Mas Johan.

"Nah gini dong, pas nanti. Boros gimana? Ini kami sudah ngirit banget lho, biasanya tuh sehari kami itu bisa menghabiskan uang lima ratus ribu rupiah hanya untuk jajan saja. Makasih ya Jo. Ya gitu jadi adik itu yang baik sama kakaknya, ingat dulu banyak hutang budi. Jangan kayak si ono noh, tikus dapur, cerewetnya minta ampun!"

"Apaan sih, Mbak? Malu ah dari tadi kok teriak-teriak terus. Nanti aku akan carikan kerjaan ya buat Mas Rusli," ucap suamiku lagi.

"Kerjaan apa sih Jo? Kalau kamu carikan Mas Rusli pekerjaan itu mbok yo yang bener gitu. Masak cariin kerjaan kok cuma jadi karyawan pabrik sih, yo nggak level to Jo!"

"Lha kan memang ijazah Mas Rusli juga cuma tamatan SMA to Mbak? Lalu maunya di carikan pekerjaan apa?"

"Meski cuma lulusan SMA tapi kan dia pernah jadi bos, yo setidaknya supervisor kayak kamu gitu lah Jo. Atau jadi asisten bos apa gitu, yang kerjaanya mudah dan gajinya banyak."

"Semua itu ada prosesnya Mbak. Ya bersusah-susah dulu to, baru nanti bisa metik hasilnya. Ya sudah aku berangkat dulu udah siang nih. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Jangan lupa nanti kalau pulang kerja beliin kami nasi padang ya Jo, paling juga nanti si upik abu itu, malas masak.!"

Memang sengaja Mbak Sarah mengucapkan kata-katanya dengan lantang, agar aku yang berada di dapur bisa mendengarnya. Ingin sekali rasanya ku sumpal mulut kakak iparku dengan spons cuci piring ini, sayangnya aku masih menghormati suamiku. Lihat saja dua hari lagi, jika kalian masih di sini dan tetap berperilaku buruk, maka akan ku buat hidup kalian bagai di neraka.

avataravatar
Next chapter