1 Aku Hancur

"Lebih cepat, Baby! Ah, aku mau keluar!"

"Kau ini tak sabaran sekali! Aku akan membuatmu terbang sampai ke nirwana dulu dengan permainanku!"

"Ah, kau nakal sekali! Tambah tempo permainanmu, jangan menyiksaku, please Honey! Vanessa bisa membunuhku kalau tahu kau sedang memasukiku seperti ini, kau terlalu lama, ah!"

Suara laknat itu berasal dari sebuah kamar yang hanya ada satu-satunya di lantai dua apartemen milik sahabat dari seorang gadis yang sedang memastikan siapakah gerangan di dalam ruangan itu.

Seorang gadis yang tadinya berjalan perlahan-lahan dari pintu apartemen hingga ke lantai atas tanpa menimbulkan suara kini bergeming dalam posisinya.

Gadis yang berniat memberikan kejutan untuk sang sahabat berhenti tepat di depan kamar itu.

Demi memuaskan rasa ingin tahunya usai mendengar percakapan panas itu ia pun menempelkan daun telinga tepat di pintu berbahan kayu yang sedikit terbuka.

Entah bodoh atau tak sengaja membuat celah, gadis itu bisa melihat sendiri pertarungan panas antara dua manusia dalam melawan hasratnya di ranjang itu. Ia benar-benar melihat dengan jelas pemandangan itu di depan kedua matanya, tanpa bisa memungkirinya.

Shock!

She can't believe it!

Bragg

Pintu terbanting cukup nyaring sampai mengejutkan dua manusia yang tengah beraktivitas panas di atas ranjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka.

Mark terkesiap, ia tak pernah membayangkan bahwa akan ada hari di mana dirinya akan tertangkap basah oleh sang kekasih, Vanessa.

"Vanessa! Ini tidak seperti yang ada di dalam pikiranmu!" teriak Mark yang buru-buru melepaskan adik kecilnya dari inti tubuh wanita yang telah dimasuki olehnya. Ia segera meraih pakaiannya yang teronggok di atas lantai dengan bentuk tak beraturan.

Marie segera menutupi tubuhnya dengan selimut sampai sebatas dada. Ia hanya bisa diam sewaktu Mark meninggalkan dirinya yang belum terpuaskan. Namun, ia amat merasa puas. Hatinya benar-benar puas melihat sang sahabat menangkap basah hubungan gelap dirinya dan Mark. Menurutnya, tak akan ada lagi yang perlu ditutupi.

****

Drap Drap Drap

Suara langkah kaki dengan cepat menyusulnya. Tepat di ambang pintu, pria itu berhasil meraih pergelangan tangan sang gadis cantik dan menghentikan langkahnya.

"Vanessa! Aku bisa menjelaskannya padamu! Aku dan Marie adalah sebuah kesalahan. Hubungan kami tidak seperti yang kamu dug---…."

Plakk

Tamparan itu sudah cukup menjadi bukti kesakitan yang ia alami. Sangat menyakitkan bagi si pria. Vanessa mengayunkan telapak tangannya dengan sengaja ke wajah sang kekasih yang sebentar lagi akan berubah riwayatnya menjadi mantan.

Dengan mata terbuka lebar, Vanessa tersenyum getir usai menampar sang pria dan berkata, "Terima kasih untuk semua pengkhianatanmu, Mark! Aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kalian lakukan padaku.

Selamat bersenang-senang dengan wanita murahan di dalam sana! Teruskan saja apa yang sudah kalian lakukan, jangan menghentikan apa yang sudah kalian mulai! Biarkan aku pergi. Permisi!"

Usai mengatakan kalimat demi kalimat yang sulit keluar dari bibirnya, Vanessa pergi meninggalkan Mark di depan pintu apartemen milik Marie.

"Vanessa! Kau salah paham, Honey!" pekik Mark tanpa rasa bersalah.

'Honey?'

Itu adalah sebutan yang terdengar menjijikan di telinganya saat ini. Vanessa menoleh sekilas dari bahunya. Ia dapat melihat dengan jelas wajah mantan kekasihnya yang super brengsek dan tak tahu diri itu.

Pria itu mengira hati Vanessa akan terenyuh begitu mendengar sebutan itu keluar dengan lantang dari bibirnya.

Vanessa memutar haluan. Ia kembali lagi mendekati si pria tak tahu malu.

"Apa yang baru saja kau sebutkan padaku, Mark? Honey? Dasar toxic! Setelah apa yang kau lakukan padaku, kau pikir aku akan memaafkanmu dan memberimu kesempatan tetap menjadi kekasihku? Jangan tolol, Bung! Mimpi saja kau!" umpat Vanessa.

"Honey, aku tahu kau marah, tapi aku dan dia tidak memiliki komitmen apa pun. Only one night stand! Oh, C'mon, mengertilah Honey, aku juga membutuhkan pelepasan, seandainya kau dapat memberikan milikmu untukku, mungkin aku tidak akan melakukan ini padamu!" kilah Mark berusaha membenarkan tindakannya dan melimpahkan kesalahan pada Vanessa.

"Kau gila! Bukankah kau tahu benar apa komitmen yang selalu kujaga selama ini?

Jangan biarkan aku menamparmu untuk kedua kalinya! Aku benar-benar kecewa padamu, Mark. Mulai hari ini kita berpisah. Selamat tinggal!" pungkas Vanessa. Sekali putar, langkah kakinya sudah tertuju pada tujuannya yaitu pintu keluar. Ia benar-benar pergi tanpa menoleh lagi.

"Honey! Please, kumohon mengertilah!" teriak Mark yang diacuhkan oleh Vanessa, ia terus menatap sampai bayangan tubuh gadis itu tak nampak lagi dalam jangkauan kedua iris birunya. Ia mengepalkan tangannya menahan kesal.

****

"Apa dosaku padamu, Mark? Kenapa kau tega melakukan itu padaku? Kenapa kau melimpahkan semua kesalahanmu padaku?" ujar Vanessa seraya meluapkan kekecewaannya sambil menyusuri trotoar menuju suatu tempat yang sekiranya dapat menenangkan hatinya.

Rumah.

Ya, rumah adalah tempat berpulang di saat duka dan suka.

Ia mendekap hangat tubuhnya yang mengeluarkan keringat dingin sepanjang perjalanan.

Ia sengaja tak menyantap makanan apa pun, hari ini ia berniat mengajak sang sahabat merayakan ulang tahun dan ia berinisiatif mentraktirnya tapi yang ia dapat adalah sebuah kejutan terbaik sepanjang masa dari Mark dan Marie.

Langkahnya tertatih sembari menghitung berapa bangunan lagi untuk sampai ke rumahnya. Ia merasakan lelah luar biasa.

"Akhirnya.." ucapnya lirih begitu sampai di depan rumahnya yang kini hanya dihuni oleh dirinya dan sang ayah.

Rumah itu tak terrawat dan tampak mati. Tak seperti setahun lalu, di mana di rumah besar ini dihuni oleh puluhan manusia dengan banyak aktivitas di dalamnya. Kini yang terlihat adalah benar-benar seperti rumah tak berpenghuni.

Ceklek

Pintu terbuka tanpa perlu ia mengetuk benda keras itu sebelumnya.

Gelap.

Di mana Harry?

Sambil menyeka cairan bening yang sedari tadi tumpah dari kedua matanya, ia menyapukan pandangannya ke setiap sudut rumah.

"Ayah! Ayah ada di mana?" teriak Vanessa sambil terus melangkahkan kaki mencari keberadaan sang ayah.

Bulu kuduknya meremang sempurna. Mungkin karenai minim pencahayaan, ia tampak merasa ketakutan.

"Kenapa semua lampu dimatikan? Di mana Ayah?" gumam Vanessa seorang diri.

Klakk

Semua lampu menyala.

Vanessa terkejut dibuatnya. Dan pelakunya adalah Harry, ayahnya.

"Ayah!" pekik Vanessa yang amat terkejut. Ia tak tahu alasan apa di balik ini semua. Apakah hari ini tanggal satu April? April mop atau..

Apa?

"Selamat malam, Vanessa! Apakah kau senang dengan kejutan yang ayah buat untukmu?" tanya balik Harry tanpa berniat menjelaskan semua alasan yang tersirat jelas dari iris hazel milik gadis cantik itu.

"Malam, Ayah. Apa yang sedang ayah lakukan? Kejutan apa? Kumohon jangan bercanda, Ayah!" sambung Vanessa dengan sorot mata sendu.

"Ada apa denganmu, Vanessa? Ada apa dengan putri cantik ayah sekarang? Kau terlihat pucat, apakah kau sakit atau sedang bertengkar dengan Mark? Katakan pada ayah, siapa tahu ayah bisa membantumu keluar dari semua masalahmu!"

"Ayah, aku…" ucap Vanessa terhenti ketika mendengar suara ketukan pintu.

To be continue..

****

avataravatar
Next chapter