webnovel

Sebuah Kejutan

"Wah, ada Mayang nih." Sari bersedekap. Memandang remeh Mayang yang sedang ada di dekat mobil mewah.

Mayang awalnya kaget. Tidak menduga pertemuannya dengan sang mantan beserta pelakornya. Lantas, dia memberikan ekspresi wajah dingin.

"Oh kalian, apa kabar?"

Sari terkekeh. Dia bisa melihat Mayang yang pura-pura tegar, padahal menurut Sari, Mayang pasti terluka.

"Ngapain kamu di sini? Emangnya mampu beli mobil?"

Bukannya menjawab pertanyaan Mayang, malah menghina. Andini yang melihatnya terlihat geram.

"Kayak suamiku dong, dia beliin aku mobil Jazz." Sari bergelayut manja di lengan Sapto yang terlihat tidak canggung sama sekali bertemu dengan Mayang. Justru, dia terlihat pamer kemesraan dengan mengelus-elus wajah Sari.

"Apa sih yang enggak buat istriku tersayang." Sapto melayangkan kecupan ke kening Sari. Wanita gatal itu terlihat memejamkan mata. Menikmati kemesraan itu.

"Ih, jijay banget sih." Andini menampilkan wajah risih. Berbanding terbalik dengan Mayang yang terlihat datar.

"Kamu pasti iri kan?" Sari melontarkan pertanyaan. Mayang hanya tersenyum miring. Mobil Jazz mah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mobil yang dia miliki di rumah. Yang sering dia gunakan kalau berangkat kerja dan mengantarkan Novi. Sayangnya, Mayang enggan untuk kembali ke rumah itu untuk mengambil mobilnya. Biarkan saja, sampai hatinya benar-benar bisa berdamai dengan masa lalu.

"May, kamu kok diam saja digituin? Lawan dong." Andini berbisik sambil menyenggol lengan Mayang. Dia gemas sendiri karena sahabatnya itu memilih untuk diam daripada meladeni mereka.

"Ngapain diladenin, Din. Sudahlah, anggap angin lalu." Mayang santai. Tidak ada gunanya menanggapi mereka. Apalagi, Mayang sudah tidak ada rasa dengan Sapto. Jadi dia tidak peduli. Mau mereka jungkir balik. Lompat dari lantai tertinggi. Bodo amat.

"Ayo, Mas. kita pergi. Malas juga lama-lama di sini." Sari mengamit lengan Sapto. Hendak membawanya berlalu dari sana.

"Nyonya, Mobil Porsche-nya jadi yang warna pink ya?"

Sari dan Sapto mengurungkan langkahnya. Mereka heran melihat Andini yang berpenampilan misterius itu menyebut Mayang dengan sebutan Nyonya. dan apa yang dibilang tadi. Mayang mau membeli mobil Porsche?

Sedangkan, Mayang gelagapan. Tidak siap dengan sandiwara Andini.

'Din, kamu apa-apan sih?'

"Wah, pilihan Nyonya bagus. Kata Mas salesmannya, ini adalah jenis Porsche paling mahal dan jumlahnya terbatas. Hanya ada beberapa jumlahnya di Indonesia. Yang kebanyakan sudah di ambil oleh konglomerat. Dan sekarang Nyonya mau mengambilnya. Betul kan Mas?" Andini beralih ke Daud yang terlihat bingung, tapi dia manggut-manggut saja.

"Sebentar-sebentar, maksudnya apaan ini? si Mayang bos-mu?" Sari menyela. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja Andini katakan.

"Iya, memangnya kenapa, Bu? Dia adalah bos restoran paling besar seantero jawa. Beliau ke sini karena ingin beli mobil."

Sari menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum remeh. Sedangkan, Sapto tampak melongo. Masak iya, mantan istrinya mendadak sekaya itu.

"Enggak mungkin! Jangan ngarang deh. Jelas sekali si Mayang ini pakai baju seragam bank. Mana mungkin dia punya restoran?"

"Kok panas sih Bu? kan memang itu kenyataannya. Beliau ini memang masih pekerja bank, tapi diam-diam sudah merintis bisnis restoran beberapa tahun lalu. Sukses dan punya cabang di mana-mana." Andini merasa puas karena berhasil memanas-manasi mereka. Mayang hanya pasrah melihat aksi tengil sahabatnya."

"Kalau memang seperti itu, kenapa selama saya menjadi suami dia, saya tidak tahu?" Sapto angkat bicara. Wajahnya terlihat menyesal melepas Mayang kalau tahu mantan istrinya itu kaya raya.

"Bapak ini mantan suami Bu Mayang ya? ya jelaslah bapak tidak tahu. Makanya jangan kebanyakan selingkuh Pak." Andini terkekeh. Mayang hanya menepuk jidat.

"Jadi yang Porsche warna pink ya, Nyonya?" Andini mengulangi pertanyaannya. Mayang agak gelagapan ditatap oleh Andini sampai akhirnya berkata.

"Saya ambil mobilnya. Pakai surplus dana perusahaan ya." Mayang belagak layaknya pemilik perusahaan beneran. Kaku banget aktingnya.

"Baik, Nyonya."

Andini beralih Daud, "Mas, boleh antar saya ke kasir? Saya mau melakukan pembayaran mobil majikan saya."

Daud pun mengantar Andini menuju kasir. Tinggal Mayang yang sedang berhadapan dengan Sari dan Sapto yang terlihat melongo.

"Dia pasti berbohong kan? Mana bisa sih kamu mampu beli mobil itu?" Nada suara Sari terlihat iri. Bagaimana tidak! Sapto hanya membelikannya Jazz, yang jelas kalah jauh dibawah Porsche. Tentu dia sangat malu, apalagi dia sempat menghina Mayang tadi.

"Sudahlah Sayang. Mungkin saja, dia sedang berakting. Tidak mungkin dia punya restoran besar, apalagi cabang di mana-mana." Sapto menimpali. Menenangkan istrinya yang panas, walaupun dirinya sendiri juga panas. Sapto yang menjadi pegawai Freeport dengan gaji tinggi. Merasa angkuh dengan berselingkuh dan meninggalkan Mayang. Namun kenyataanya sekarang, istri yang dulu dia tinggalkan telah berubah drastis.

Mayang hanya tersenyum. Tidak ingin membuang energy. Justru dia menikmati sikap mereka yang mempertanyakan kekayaan Mayang. Mayang bersyukur mempunyai sahabat seperti Andini yang menolongnya dalam segala situasi.

"Ini, Nyonya kunci mobil dan surat-suratnya. Untuk mobil dan aksesorisnya akan segera dikirim ke rumah Nyonya." Andini kembali dengan menyerahkan kunci dan surat-surat mobil.

Sapto dan Sari saling berpandangan. Wajah mereka memerah. Kalah telak.

"Bagaimana? Kalian masih belum percaya kalau saya yang membeli mobil ini?" Mayang sengaja menunjukan namanya yang tertera di surat-surat kendaraan. Sapto yang melihatnya hampir pingsan. Seperti mimpi saja. Mayang ternyata kaya raya.

Tanpa kata, mereka melipir. Pergi sejauh-jauhnya dari Mayang saking Malunya.

"Terima kasih, Nyonya sudah percaya dengan produk kami." Daud ikut-ikutan hormat kepada Mayang. Tubuh kekarnya membungkuk. Dia tidak lagi berani menggoda Mayang. Dia sendiri tidak menyangka kalau seorang Mayang ternyata kaya raya sampai mampu membeli produk unggulannya.

"Sama-sama, Kalau begitu saya permisi dulu."

Mayang dengan sikap wibawanya undur diri. Mengajak Andini untuk pergi dari sana.

Begitu sampai di mobil, Mayang langsung mencecari Andini.

"Din, harusnya kamu tidak usah berbuat seperti itu."

"Enggak, May. Kamu boleh bersikap biasa saja, tapi aku yang enggak terima. Seenaknya saja mereka menginjak-injak harga diri sahabatku.

Mata Mayang berkaca-kaca. Andini memang sahabat terbaik. Orang yang paling tulus. Di saat semua orang menjauhinya. Hanya dia yang selalu ada.

"Makasih ya Din, kamu memang sahabatku yang paling baik." Tubuh seksi Mayang menubruk Andini hingga hampir terjengkang. Untung saja, dia mampu menjaga keseimbangan.

"Sudah seharusnya begitu, May. Itulah gunanya sahabat. Anggap saja mobil tadi adalah hadiah dari aku. Gunakan mobil itu kalau bertemu dengan mereka. Tunjukan bahwa kamu lebih hebat sehingga tidak ada seorang pun yang bisa merendahkan sahabatku ini."

"Sekali lagi, makasih banyak Din."

Mereka melepas pelukan. Mayang menarik beberapa helai tissue untuk menghapus air matanya.

"May,"

"Iya."

"Aku boleh minta tolong enggak?"

Mayang tersenyum. Lantas, memegang kedua bahu Andini.

"Kamu sudah banyak membantuku, Din. Kalau aku mampu, kalau aku bisa. Aku juga ingin membantumu. Katakan apa yang bisa aku bantu sahabatku?"

Andini menatap lekat-lekat ke Mayang. Wajahnya penuh pengharapan.

"Bantu aku mendapatkan Daud, May."

Next chapter