webnovel

Dia, yang berani menerjang salju, serta salju yang mampu menerpa segalanya.

Pukul 3 sore, waktu yang tepat setelah kuliah untuk menikmati hari. Beberapa mahasiswa pergi karena perlu bekerja part time, beberapa pergi karena ada rencana untuk bersenang – senang dengan teman komunitas, adapula yang segera pulang ke rumah untuk menikmati empuknya kasur mereka. di selah itu semua, ada segelintir yang menghabiskan sorenya untuk bersyair keadaan diri.

"jika dunia adalah game, maka ratingnya pasti akan berada di level paling rendah. Si pembuat pasti akan bangkrut dalam penjualan pertama. Karakter yang tidak sejajar statusnya pasti membuat orang yang memainkannya sangat marah. Tidak, bukan marah, kecewa. Mereka yang bekerja keras dalam hidupnya akan kalah dengan yang memiliki latar belakang bagus. Lahir di keluarga kaya raya, tampan, atau hidup di kalangan bangsawan. Maka dari itu, Aku, sebagai seseorang yang melihat garis besar...,

sangat membenci dunia ini."

Seorang lelaki terus menggerutu sambil memandangi pepohonan dari lantai atas tempatnya berkuliah. Sambil menggigit roti yang ia bawa, alisnya terus menukik tajam. Seolah ia sudah tak tahan dengan apapun. Kecemburuannya luar biasa jika menyangkut keberhasilan temannya atau yang biasa ia sebut dalam hati "bajingan". Selalu menggerutu, keras kepala, tidak terlupa pula kebiasaan buruknya, begadang, sangat terlihat dari wajahnya yang putih pucat dengan lingkaran hitam yang sangat tebal berada di bawah kelopak matanya. Rambutnya sedikit teracak karena jarang ia rawat dengan baik.

"Erik! Kudengar kau dicari oleh penjaga perpustakaan. Apa kau telat mengembalikan buku lagi?" seorang lelaki gagah bicara padanya dengan nada khawatir.

"Hm..., Apa pedulimu?"

"ayolah kawan, kau tidak ingin diblokir dari perpus lagi, kan?"

Erik hanya menghela nafas. Ia tidak ingin sesi "menggerutu"nya di ganggu oleh orang lain, jadi ia memutuskan untuk menuruti kata temannya. Dengan wajah cemberut, ia segera pergi dan menghadap ke penjaga perpustakaan sambil menyilangkan tangannya. Jarak antara perpustakaan pusat dengan gedung tempatnya berkuliah tidak jauh, hanya beberapa meter saja. Namun, langkahnya yang terdengar menyeret kaki itu sangat menunjukan betapa berat hatinya menemui petugas perpustakaan.

Tidak ada komunikasi lebih dari saling menatap dan memancarkan hawa kebencian dari kedua pihak. Erik hanya berdiri di depan meja petugas sedangkan seorang wanita menghampirinya sambil memasang raut masam

"kau sungguh tidak pernah belajar dari kesalahan, ya?" ucap wanita penjaga perpus sambil meminta buku tagihan.

"Anastasia, sungguh menyedihkan hidupmu. Kau menghabiskan waktumu hanya untuk berdiam diri disini sambil memandangi kesalahan orang," balas Erik sambil menyodorkan buku tebal.

Sambil menggeleng kepala, Anastasia, sang penjaga perpus segera mendata dan berjalan keluar bangkunya untuk menaruh kembali buku tebal yang dipinjam Erik tanpa menghiraukan ejekannya. Melihat hal ini, Erik sedikit merasa kesal. Ia mengikuti Anastasia dengan wajah kusut dan menarik bahunya dengan cepat.

"dengarkan aku, Nanas. Aku tidak mau diremehkan orang lain. jadi lebih baik kau menunjukan rasa hormatmu padaku!" ucapnya lantang. Anastasia hanya diam. Ia tidak bersuara dan tidak bereaksi apapun. Rambut panjangnya yang rapi kini terurai. Tanpa nada dan suara, ia sekali lagi menghiraukan ancaman Erik dan melanjutkan untuk menaruh buku di rak perpustakaan. "sombong sekali dia, pantas saja ia mendapat julukan salju perpus dengan kelakuannya yang seperti itu,"celetuk Erik tanpa pikir panjang.

Setelah lelah dengan dirinya sendiri, ia memutuskan untuk pulang dan melanjutkan sesi menggerutunya tadi. Jarak antara apartemen dan dan kampusnya tidak jauh, jadi ia bisa sampai dalam waktu kurang dari 5 menit jika menggunakan motor. Di dalam kamar, Erik biasa belajar terlebih dahulu beberapa jam kemudian ia lanjutkan dengan menonton TV sekitar 15 hingga 30 menit sampai ia mengantuk. Ia bisa hidup hanya dengan makan 1 kali sehari, jadi ia tidak perlu khawatir akan pingsan karena kelaparan.

Ditengah sunyinya hari yang menjelang malam, handphonenya berdengung. Itu adalah Lukas, satu – satunya teman yang selalu bersikap hangat meskipun Erik sering menghiraukan orang disekitar.

"bagaimana tadi? Kau sudah mengembalikan bukunya?"

"yep," balas Erik singkat.

"baguslah, kau sering terlibat masalah dengan penjaga perpus itu, jadi aku sedikit khawatir jika sekali lagi kau tidak mengembalikan buku yang kau pinjam."

"tentu, terima kasih telah khawatir."

Dengan balasan itu, Erik mengingat kembali apa yang membuat dirinya begitu kesal dengan kehidupannya semasa kuliah ini. Ia ingat saat hari pertama masuk, hari penuh semangat, hari penuh hasrat, dan dihadapannya seorang wanita seumurannya yang terlihat murung. Ia tidak mengingat wajah wanita itu karena ia sedang menangis dengan wajah yang penuh lumpur. Erik berusaha untuk membantunya dengan mengajak bicara wanita itu. yang ia ingat, beberapa hari setelah ia mengajaknya bicara, orang disekitarnya mulai menjauh dan Erik berakhir menjadi orang yang suram.

"apa salahku waktu itu?" ujarnya sambil menutup mata dengan lengan.

__

Di asrama wanita, pukul 7 malam, seseorang juga tidak ada habisnya melontarkan syair kekesalan pada teman sekamarnya.

"sungguh, kenapa sih dia tidak bisa sedikit halus pada orang lain, ia tidak perlu sampai menarik pundakku. Apalagi sampai menghinaku."

"tumben sekali kau sampai marah. Memang dia memanggilmu apa hingga kau kesal seperti ini?"

"Nanas..."

"... Pfftt... HAHAHAHA!!"

"t-tunggu, kenapa kau juga tertawa? Itu hinaan bagiku!"

Ya, itu adalah Anastasia. Anastasia adalah wanita yang terkenal dingin dan cuek di hadapan banyak orang. Tidak sedikit pula yang menjulukinya Salju Perpustakaan karena kegiatannya yang selalu menjaga perpus dengan sikapnya yang dingin tak bersahabat. Namun, jauh dalam hatinya, ia tak ingin bertingkah seperti itu. ia juga ingin berbicara normal pada siapapun dan menikmati hari – harinya di kampus seperti kebanyakan orang.

"jika saja..., hari itu aku tidak bertingkah layaknya orang lemah," bisiknya pelan.

Ayah Anastasia adalah seorang politikus yang melakukan tindak kriminal. Berita itu sudah tersebar kemana – mana, termasuk TV dan internet. Dan berkat kemajuan teknologi dan kecekatan warga netizen, semua informasi yang mencangkup ayahnya dapat terbongkar termasuk data keluarganya. Disitulah hidup Anastasia mulai berubah. Ia tidak lagi dianggap sebagai seorang yang baik dikalangan teman – temannya. Tentu, meskipun sekarang mereka sudah hidup terpisah, sisa dari masa lalunya tidak akan menghilang begitu saja.

1,5 tahun yang lalu. Hari pertama, hari yang spesial, serta... hari dimana Anastasia di permalukan didepan umum. Berkedok OSPEK, segerombolan mahasiswi lain mencoba mempermalukan Anastasia dengan membuatnya merangkak di lumpur, mengotori bajunya, serta membuatnya menangis dan ditonton oleh banyak orang. Tampangnya yang menawan juga membuat banyak orang kesal sehingga kemanapun ia pergi, selalu keluar rumor baru yang tidak – tidak. Sambil mengingat masa lalunya, ia meneteskan air mata. Pembicaraan semi kesal yang ia lontarkan tadi berakhir sedikit senyap karena moodnya yang hancur.

"h-hei, aku hanya bercanda kok. Maafkan aku tadi tertawa mendengar hinaanmu," ucap teman sekamarnya.

"tidak apa – apa. itu juga salahku," ucapnya sambil mengusap air mata. Dulu, ia memang seorang wanita yang mudah terbawa arus. Namun, tidak dengan sekarang. Ia berusaha menjadi kuat agar dirinya tidak perlu terbebani perasaan yang sama. "lagi pula... tidak semua orang berburuk tingkah padaku," ujarnya. Kenangannya segera membawa memori seorang pria yang menunduk dan menyelamatkannya dari peristiwa memalukan 1,5 tahun yang lalu. Pipinya memerah, namun bukan karena rasa sedih.

Next chapter