2 2. Ingin Mendekat

Uly : Aku berada di persimpangan jalan yang bernama kebimbangan

“Nak. . . bangun, waktunya sholat Shubuh,” terdengar suara ibuku membangunkanku. Entah mengapa pagi ini pesona empuknya kasur lebih menggoda dari biasanya. Aku perlahan membuka selimut yang menempel di badanku. Perlahan aku mulai membuka mata. Hawa dingin yang selalu menggoda manusia ketika Subuh langsung merasuk ke dalam tulang-tulangku. Namun sekuat tenaga aku bertahan dan berjalan pelan-pelan menuju kamar mandi.

“Nak, kamu sakit ? Wajahmu sedikit pucat,” tanya Ibu ketika melihat raut wajahku yang tak tampak segar.

“Cuma sedikit kelelahan kok, Bu. Ayah dimana Bu?”

“Ya sudah, segera wudhu, kita sholat berjama’ah. Ayahmu sudah berangkat ke masjid.”

Aku dan Ibu bergegas melaksanakan sholat Shubuh. Ibuku adalah sosok yang sangat perhatian. Dia selalu mengerti apa yang aku rasakan, namun ayahku lebih tegas.

“Uly, habis ini kita siap-siap pergi ke pasar ya, jam 10 pagi nanti akan ada tamu.”

“Siapa tamunya Bu?” tanyaku penasaran.

“Nanti kamu juga tahu sendiri.” jawab Ibu dengan senyum yang membuatku penasaran.

Aku penasaran dengan sikap ibu yang seperti ini. Dua hari lalu, ibu bersikap seperti ini dan ternyata tamunya adalah Mas Aldi yang ingin melamarku. Ketua remaja masjid di desa sebelah. Jika sikap ibu tadi mempunyai maksud yang sama dengan kejadian dua hari lalu, berarti aku akan dilamar dua laki-laki sekaligus. Tak bisa kubayangkan, aku masih ingin belajar dan belajar. Tetapi melihat ekspresi ibu yang kelihatan begitu senang, aku tidak tega mengecewakannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 05.30 WIB, aku dan ibu bergegas menuju ke pasar tradisonal yang terletak agak jauh dari rumahku. Ibu memang lebih suka pergi ke pasar tradisonal, karena bahan untuk memasak seperti sayuran, daging, dan bahan lainnya dinilai lebih segar dibanding dengan bahan-bahan memasak di supermarket yang diawetkan melalui mesin pendingin.

“Nak, pagi ini kita akan memasak sop ayam dan tongseng ayam. Oh ya satu lagi nanti kita akan buat lumpia isi rebung, makanan khas yang ada di keluarga kita,” jelas ibu saat memasuki area pasar.

“Ibu, kok masaknya banyak sekali. Seadanya aja Bu. Kita itu tidak boleh berlebihan Bu,” jawabku sedikit kaget mendengar apa yang akan dimasak oleh ibu.

“Berlebihan bagaimana, kita itu mau menjamu tamu. Tidak ada yang berlebihan,” jawab ibu.

Aku hanya memilih diam dan tidak melawan ibu. Aku hanya membantu mewujudkan keinginannya, karena hanya ini yang dapat aku lakukan untuk ibuku disamping do’a di setiap sujudku. Apapun itu, aku akan berusaha selalu ada untuk ibuku, termasuk hari ini. Aku akan membantunya belanja dan memasak, sebisaku.

Semua hidangan telah siap. Aku semakin penasaran, siapa yang akan menjadi tamu pagi ini ? Jam sudah menunjukkan pukul 09.45 WIB, jantungku semakin berdegup kencang. Kalau aku bertanya pada ibu sekali lagi, percuma saja tidak akan dijawab.

Suara deru mobil sudah terdengar dari dalam rumah. Entah mengapa jantungku semakin berdegup kencang. Aku memutuskan untuk masuk saja ke dalam dapur, sambil menyiapkan minuman.

“Assalamu’alaykum...,” ucap seseorang dari luar. Kedengarannya suara itu seperti tak asing lagi.

Wa’alaykumussalam Waramatullah...,” ayah menjawab salam.

Aku mengintip tamu itu dari balik dinding pembatas ruang TV dan kamar tamu. Betapa terejutnya aku, tak kusangka tamunya adalah Mas Anwar beserta kedua orang tuanya. Ayahku memang kenal baik dengan keluarganya dan Mas Anwar adalah guru ngaji di TPA tempat aku dan Azmi dulu mengaji. Ah aku jadi teringat Azmi, semenjak kita saling berkirim pesan singkat pada pengajian malam itu, Azmi menjadi rajin mengirimkan pesan singkat padaku. Kemarin dia menelponku dan meminta saranku tentang olimpiade kimia yang akan diikuti olehnya.

“Tujuan kami selain menyambung silaturahmi, saya hendak menyampaikan keinginan saya untuk melamar putri Bapak, Uly.” ucap Mas Anwar dan seketika itu aku tersadar dari lamunanku. Aku sangat terkejut mendengarnya. Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah ? Mas Anwar adalah orang yang baik dan taat pada agama Allah, mana mungkin aku menolaknya. Tetapi aku juga belum bisa untuk langsung menerima lamarannya.

Entah apa lagi yang tengah mereka bicarakan. Sampai-sampai aku tidak sadar, bahwa Ibu sudah berada di hadapanku.

“Uly, ayo ikut ibu dulu.”

Aku tak menjawab dan segera mengiringi langkah kaki ibu untuk menuju ke ruang tamu. Aku hanya menunduk, tidak berani melihat siapapun.

“Ly, ini ada mas Anwar. Dia kemari bersama keluarganya bermaksud untuk melamarmu. Bagaimana nak ?” kata ayahku yang seakan mendesakku.

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Semua menanti kata yang akan keluar dari mulutku.

“Nak, semua keputusan ada di tanganmu. InsyaAllah jika kamu menuruti kata hatimu, semua akan berlangsung dengan baik,” ayahku memberi kode agar aku menjawab.

Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Mas Anwar adalah laki-laki yang baik dan taat pada agama Allah. Suatu kehormatan bagi saya karena telah dilamar oleh laki-laki seperti Mas Anwar. Tetapi bagi saya menikah adalah hal yang suci atau sakral dan tidak mudah bagi saya untuk memutuskannya. Saya perlu untuk istikharah agar saya dapat membuat keputusan yang baik, jadi saya mohon maaf belum bisa memutuskannya sekarang.” jawabku dengan jantung berdegup kencang.

Ayah dan Ibu tersenyum mendengar jawabanku. Syukurlah mereka dapat tersenyum, itu berarti tidak terlalu kecewa dengan jawabanku. Mas Anwar dan kedua orangtuanya juga dapat memaklumi jawabanku. Rasanya aku sedikit lega. Suasana kembali seperti biasa dan kamipun menikmati hidangan yang tadi dimasak olehku dan ibu.

Hari-hariku berikutnya seperti dikejar-kejar dengan beban berat. Aku harus cepat dalam mengambil keputusan. Aku tak mau menggantung Mas Anwar dalam ketidakpastian. Sudah dua hari aku melaksanakan sholat istikharah, tetapi belum juga kudapati jawabannya. Mungkin belum saatnya aku menemukan jawabannya.

Drrrt...drrrt...

HP-ku bergetar. Kulihat di layar, Azmi memanggil. Ada apa ya, anak ini menelponku. Tanpa pikir panjang aku mengangkat teleponnya. Setelah sekian lama mengobrol di telepon, aku memutuskan untuk cerita ke Azmi tentang kejadian satu minggu ini. Entah mengapa aku mempunyai rasa percaya yang lebih kepada Azmi, dibandingkan dengan temanku lainnya. Semakin lama, aku semakin nyaman dengannya.

Semakin lama ada yang berbeda dari diri Azmi. Ia seperti terus mendekatiku dan celakanya ia membuatku nyaman. Sikapnya juga berbeda saat aku cerita, bahwa ada dua laki-laki yang sudah melamarku. Apakah dia mempunyai perasaan padaku? Ah entahlah, mengapa aku jadi memikirkan Azmi begini.

Aku pasrahkan semua urusan pada Allah. Karena Dialah yang berhak atas jalan hidupku. Entah aku mau menikah atau meneruskan kuliah, aku berpasrah kepada Allah. Dialah Yang Maha Memberikan Keputusan terbaik. Tugasku hanyalah beristikharah terus meminta kepada-Nya.

Azmi : Aku sudah terjatuh terlalu dalam untuk mendekatimu dan ingin terus mendekatimu

Mentari telah menampakkan dirinya. Dingin angin malam diterjang oleh hangatnya sinar mentari. Kehangatan yang memberi harapan hidup segala yang hidup. Kabut kecil menyelimuti jalanan. Kulaju motorku menerjang semua kabut yang berdiri tegak di semua tempat. Aktivitasku seperti biasa, pagi berangkat sekolah dan sorenya pemantapan materi menjelang ujian nasional. Hanya satu yang membuatnya berbeda, hatiku ditumbuhi oleh bunga-bunga asmara. Siapa lagi kalau bukan mbak Uly yang menumbuhkannya. Bayang-bayang mata teduhnya terus menghiasi pikiranku.

“Mi, bapak mau ngomong sebentar denganmu,” kata pak Sholeh.

Pak Sholeh adalah guru kimia di sekolahku. Dia salah satu guru favoritku. Selain sabar, dia juga murah senyum.

“Iya pak,” jawabku.

“Satu minggu lagi ada seleksi olimpiade kimia SMK di Kabupaten. Bapak nunjuk kamu untuk mewakili sekolah kita. Persiapkan dengan baik ya. Setelah pemantapan materi, kamu temui bapak. Kita persiapan lomba,” jelas pak Sholeh.

“Iya pak, InshaaAllah”

Aku tidak mampu membayangkan betapa lelahnya hari yang kujalani satu minggu kedepan. Bahkan kalau aku lolos, aku harus mempersiapkan satu bulan lagi untuk seleksi tingkat provinsi. Tetapi, bayangan mbak Uly tetap mendominasi pikiranku. Seketika ingatanku tertuju pada mbak Uly. Dulu dia pernah mewakili kabupaten untuk olimpiade akuntansi tingkat provinsi. Setidaknya, aku harus minta saran darinya.

Selepas Isya’, aku merapikan semua buku yang akan kubawa besok pagi. Setelah itu, kuambil ponsel. Malam ini aku ingin larut dalam obrolan dengan mbak Uly. Aku tidak tahu keinginanku ini akan berakhir kapan. Harus kuakui, aku mulai merindukan mbak Uly.

“Assalamu’alaykum,” salam dari mbak Uly.

“Wa’alaykumussalam,” jawabku.

“Ada apa Mi ?”

“Aku mau minta saran dari mbak.”

“Saran apa Mi ?”

“Seminggu lagi aku mau seleksi olimpiade kimia di Kabupaten. Dulu mbak Uly kan pernah mewakili Kabupaten dalam olimpiade akuntansi. Menurut mbak, apa yang harus aku persiapkan ?”

“Yang pertama belajar Mi. Latihan soal yang banyak dan jangan lupa berdo’a,” saran mbak Uly.

Hanya sepuluh menit awal kami membahas tentang olimpiade. Selebihnya obrolan kami sudah melenceng jauh. Hal ini hanya membuatku semakin merindukannya. Entah mengapa, aku semakin ingin dekat dengan mbak Uly. Sisi lain, aku juga takut kalau aku semakin mendekatinya dia akan menjauhiku lebih jauh. Aku tidak mau itu terjadi.

Satu minggu terasa cepat bagiku. Semua soal hampir pasti bisa ku selesaikan. Hanya beberapa soal yang dikembangkan yang sering menyusahkanku. Do’a selalu kupanjatkan setiap hari. Minimal lima kali sehari setelah sholat wajib. Ruangan seleksi terasa begitu dingin. Aroma persaingan sudah tercium. Kulihat sekeliling, hampir semua peserta sibuk membuka-buka bukunya. Berbeda denganku. Aku bukanlah tipe pelajar seperti itu. Saat-saat sebelum ujian atau apapun bentuknya yang serupa, ku isi dengan menenangkan diri dan membuat pikiran senyaman mungkin. Bahkan aku tidak membawa satu buku pun saat berangkat ke tempat seleksi. Pengawas sudah masuk ke ruangan itu. Hati dan pikiranku sudah lebih nyaman. Pengawas membacakan aturan seleksi dan membagikan kertas soal dan jawaban komputernya. Kulihat sekilas, dan benar apa yang dikatakan mbak Uly. Kekuatan do’a membuat semua menjadi lebih mudah dan indah. Hampir tujuh puluh persen soal aku tahu jawabannya. Sisanya hanya perlu berpikir lebih keras untuk menemukan jawabannya.

Aku sangat percaya diri dengan hasil seleksi itu. Sembari menunggu pengumuman aku menelepon mbak Uly. Untuk mengisi waktu selama menunggu hasil tes masuk perguruan tinggi, mbak Uly bekerja menjaga butik di batas kota.

“Ada apa Mi ? Tumben siang-siang seperti ini ?”

“Bosan mbak menunggu pengumuman,” jawabku malas.

“Optimis lolos tidak ?”

“Optimis lah mbak. Do’akan ya ?”

“Aamiin,” akhir mbak Uly.

Aku mengerti kalau siang itu mbak Uly sibuk melayani pembeli. Jadi kuurungkan niatku bercerita kepadanya. Aku takut mengganggunya. Setengah jam kemudian semua peserta disuruh kumpul di aula. Pengumuman akan disampaikan. Walaupun yakin, jantungku tetap berdegup kencang. Akhirnya, degup jantungku kembali normal setelah namaku disebut sebagai perwakilan kabupaten di tingkat provinsi. Pak Sholeh memelukku erat. Memberikan selamat yang teramat dalam. Aku pulang dengan rasa bangga. Tidak sabar ingin memberitahukannya kepada Ayah dan Ibu.

Malam ini aku melonggarkan diriku untuk istirahat dan tidak menyentuh satu buku pun. Pak Sholeh sebenarnya mengijinkanku untuk cuti besok, tetapi aku menolak. Seperti malam-malam sebelumnya, aku tenggelam dalam obrolan dengan mbak Uly. Kali ini mbak Uly berbeda. Dia lebih terbuka dan curhat banyak hal kepadaku. Sesekali meminta pendapatku.

“Mi, aku bingung,” mbak Uly mengawali pembicaraan.

“Bingung kenapa mbak ?”

“Seminggu ini aku dilamar oleh dua orang laki-laki. Mas Aldi dan mas Anwar. Tentu kamu kenal mereka apalagi mas Anwar. Dia dulu adalah guru ngajimu saat kecil. Pertama, aku sudah menolak lamaran mas Aldi. Kedua, baru saja mas Anwar melamarku,” kata mbak Uly pelan.

Hatiku berdesir hebat. Rasa ngilu datang seketika. Udara sedih merasuk melalui pori-pori kulit. Aku mencoba menahannya.

“Aku bisa membantu apa mbak ?” jawabku mencoba tenang.

“Sebaiknya aku harus bagaimana Mi ?”

“Sholat istikharah mbak. Minta yang terbaik.”

“Tapi aku harus kuliah dulu Mi. Kalau aku kedepannya kuliah, berarti aku menolak keduanya. Kalau aku tidak mengambil kuliah, berarti aku menerima salah satu di antara keduanya,” jawab mbak Uly.

“Semoga diberikan pilihan yang terbaik.”

“Aamiin,” akhir mbak Uly.

Obrolan malam ini hanya menyisakan luka dan sedih di hatiku. Kepalaku pening dibuatnya. Malam ini aku tidak bisa tidur. Akhirnya, aku membolos esok harinya. Hari-hari selanjutnya terasa hambar. Semangat yang kemarin menggebu-gebu lenyap seketika. Tidak ada gairah menyelesaikan kumpulan soal kimia seperti biasa. Aku sudah terjatuh terlalu dalam. Kesedihan ini membelenggu kehidupanku.

avataravatar
Next chapter