29 Berdebat

"Maaf, bukan begitu Pak, tapi lebih baik jangan ke rumah saya."

Aksel hanya sedikit tersenyum dan Anna mengernyitkan dahinya. Ia bingung mengapa Aksel seperti itu. Tidak seperti biasanya.

"Kenapa sekarang Bapak senyum?"

"Memangnya saya dilarang tersenyum juga di rumahmu?"

Anna hanya menghela napasnya dan menatap Aksel, ia berharap jika Aksel segera pergi dari hadapannya. 

"Terserah maunya Pak Aksel apa, saya enggak berhak apa pun," jawab Anna cuek dan memalingkan wajahnya. 

Semua orang yang ia hadapi kini semakin menyebalkan, benar-benar hanya yang paling tepat adalah diri sendiri. 

"Ya sudah saya mau pulang."

Anna tidak menjawab pertanyaan Aksel, ia hanya ingin segera beristirahat saja. 

"Anna!"

Segera Anna berbalik badan pada arah Aksel. 

"Apa Pak?"

"Ingat bersiap untuk perjalanan dinasnya."

"Memangnya besok, Pak?"

"2 hari lagi, kamu siapkan semuanya."

Anna menganggukkan kepalanya perlahan hingga akhirnya Aksel pergi meninggalkan halaman rumahnya.  Ia berjalan ke rumah dengan rasa kesal dan lelah. 

Belum sampai di dalam rumahnya baru saja di ambang pintu, ia harus berhadapan dengan Ibunya. 

"Sudah pulang pacarmu?"

Anna hanya menganggukkqn kepalanya agar cepat menghadapi Ibunya tersebut. 

"Pasti kamu suruh pulang 'kan? Padahal Ibu mau juga bicara dengan atasan segaligus pacarmu itu, Anna."

Waktu yang seharusnya ia gunakan untuk beristirahat, kini Anna duduk tidak jauh dari Ibunya. 

"Bu, Anna dan Pak Aksel itu hanya sebatas rekan kerja saja, hubungan kami juga tidak lebih hanya sebatas sandiwara belaka, Ibu jangan menganggapnya serius."

"Yang orang lain lihat itu pasti kamu pacarnya, ya wajar saja kalau Ibu mau kenal."

"Sudah malam, Anna capek."

Anna bangkit dari duduknya, ia segera berlalu meninggalkan Ibunya seorang diri di ruang tamu. 

Berada dalam kamarnya, sesegera mungkin ia mengunci pintunya, segera direbahkan tubuhnya tersebut. 

Singkatnya malam itu hingga sudah pagi menyapa kembali. Seperti biasa Anna akan menunggu Bus di halte pagi hari sekali. Ia tidak suka berlama-lama di rumah. 

Perjalanan pagi tersebut cukup sejuk, udaranya sangat baik untuk dihirup. Ia melirik jendela melihat pemandangan, memakaikan earphonenya. 

"Ini berkas yang harus disiapkan untuk perjalanan dinas besok, Anna."

Edrick memberikan berkas tersebut agar Anna membereskan semuanya. 

"Ke mana sih pak?"

"Loh kamu belum tahu, apa Aksel juga enggak bilang sama kamu?"

Anna hanya menggelengkan kepalanya. 

Edric menunjukkan tiket yang ada pada ponselnya dan sudah dipesan olehnya pada Anna. 

"Loh flight?"

"Iya, karena cukup jauh kalau pakai mobil jadi pesawat saja kan cepat, mungkin cuma 2 jam saja."

"Duh pak beneran ya, ini juga cuma berdua?"

"Iya, saya enggak bisa juga lagi pula kalau urusan pergi perjalanan bisnisnya memang sering denganmu, Anna. Itu sudah menjafi bagian dari pekerjaanmu juga."

Terdengar suara helaan napas Anna yang cukup berat.

"Siapkan lah berkasnya supaya beres dan tidka ada yang tertinggal."

"Baik, Pak."

Anna mulai fokus pada pekerjaannya. Terlalu fokus sampai ia lupa dengan makan siangnya hanya saja perutnya memberikan respon pada Anna agar memberinya asupan. 

"Anna, kamu ini dari diperhatikan fokus terus, perut kamu memangnya enggak lapar apa?"

"Iya lapar sekarang, ini jam berapa ya?" Anna melirik arloji di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. 

"Masih buka kan?"

Danita menganggukkan kepalanya dan berisyarat agar Anna bergegas ke kantin untuk makan. 

Akhirnya Anna pergi ke kantin, ia mengambil makanannya dan duduk seorang diri. Ada beberapa yang di sana, namun tempat tersebut begitu sepi karena sudah bukan jam makan siang lagi. 

"Baru makan jam segini, Bu?" tanya salah satu petugas yang membersihkan area di kantin tersebut. 

"Iya Bu, maaf jadi mengganggu pekerjaannya."

"Apanya, ini enggak kok. Saya juga bisa istirajat sebentar," ucap Ibu tersebut seraya duduk tak jauh letaknya dari Anna. 

Tampaknya Anna melahap makanna tersebut tak begitu semangat, ia sering membolak-balikkan makanan dengan sendoknya, bukan dimasukkan ke dalam mulutnya. 

"Apa makanannya tidak enak, Bu?"

Anna cukup kaget dengan pertanyaan Ibu tersebut karean ia melamun sambil memainkan makanannya. 

"Enak kok Bu, maaf tadi enggak melamun."

"Jangan melamun, kalau capek mending istirahat saja Bu, pasti Pak Akselnya juga paham kan pacarnya."

Anna menghela napasnya. 

Kring!

Ponselnya berdering segera ia jawab karena panggilan tersebut dari Aksel.

"Iya Pak, ada apa?"

["Kamu di mana?"]

"Maaf pak saya baru sempat makan siang, ini di kantin."

["Tetap di sana."]

Panggilan tersebut segera dimaikan oleh Aksel, jelas Anna kebingungan dengan apa yang dimaksud oleh Aksel. 

Namun, karena ada perintah untuk tetap di sana, maka Anna melanjutkan makan siang yang sudah kesorean tersebut. 

Hingga tak lama kemudian, ada langkah yang mendekatinya. Tak lain itu adalah Aksel. Semula Ibu yang membersihkan ruangan di sana pun menjauh dari tempat duduk Anna, sebab ada Aksel. 

"Pak Aksel, maaf pak," ucap Anna seraya berdiri mengetahui Aksel di sana. 

Tak ada ucapan dari Aksel, ia duduk di hadapan Anna. Dengan begitu, Anna pun duduk kembali. Ia bingung dengan kedatangan Aksel di sana. 

"Ada apa ya Pak?"

"Berkasnya untuk besok bagaimana?"

"Sudah saya siapkan pak, ada sedikit lagi saja. Setelah makan ini saya selesaikan."

"Memangnya kamu tadi tidak makan?"

Anna menggelengkan kepalanya perlahan.

"Besok siaplah pagi, pukul 7 saya jemput kamu."

"Maaf pak, kira-kira berapa lama ya pak?"

"Tergantung pekerjaannya besok."

"Baiklah Pak."

"Kenapa memangnya?"

"Saya hanya bertanay saja Pak. Hanya berdua ya pak?"

"Kamu mau satu perusahaan ke sana?"

Hampir saja Anna mengumpat pada Aksel, sebab apa yang dikatakan Aksel itu selalu menimbulkan kekesalan. 

"Kalau semuanya jadi tour pak."

"Itu kamu tahu, siapkan saja mungkin pakaian 1 minggu atau lebih."

"Hah? 1 minggu?" Anna membelalakan matanya. 

Anna belum pernah pergi perjalanan dinas dengan laki-laki apalagi atasannya sendiri dan ini akan perjalanan dinas selama 1 minggu lamanya. Yang Anna pikirkan ialah hanya takut dan juga pikiran aneh yang menghantuinya. 

"Buang pikiran burukmu itu, Anna."

"E—nggak ada kok, Pak."

"Saya tahu kamu mikir yang aneh-aneh, ini kerjaan Anna, saya juga tidak akan tidur denganmu atau bahkan jual kamu."

Deg!

Luar biasa Aksel ini, membuat pikiran Anna semakin aneh dan tak karuan. Bukannya mengurangi beban pikirannya, akan tetapi semakin menambah. 

"Pak, jangan gitu dong."

"Kenapa? Kamu mau memangnya?"

Kening Anna berkerut, "Mau apa pak?"

"Sudahlah Anna, ngomong sama kamu buat saya pusing, selesaikan berkasnya. Satu lagi, saya enggak mau lihat kamu di sini sampai malam."

Aksel pergi meninggalkan Anna, hal itu justru semakin membebani pikirannya. Aksel tahu jika tidak ia tekankan seperti itu, Anna bisa jadi akan begadang di kantor. Ia memang kerap sekali di kantor hingga malam. 

avataravatar
Next chapter