webnovel

Selamat Pagi, Kanaya.

Mentari pagi itu sudah mulai naik untuk menyapa dunia. Terutama menyapa gadis yang masih terbalut selimut. Tidak akan bangun jika bunda belum berteriak. Bunda didapur, sibuk memasak sarapan pagi untuk anak-anaknya. Masakannya selalu enak, restaurant bintang 5 pasti kalah jauh.

Ditengah suara spatula dan wajan yang saling beradu, seorang anak muda dengan balutan jaket jeans berdiri didepan pagar rumahnya. Sambil mengucapkan salam, dan selamat pagi ketika melihat Bunda keluar menghampirinya.

"Eh ada Aksara" bunda menyapa dan melontarkan senyum manis sehangat sinar mentari pagi itu.

"Naya belum bangun, Bun?" tanya Aksa. walaupun ia tahu, bahwa Naya pasti masih sibuk dengan mimpinya.

Bunda melontarkan senyum lagi, dan mempersilahkan Aksara masuk kedalam istana kecilnya.

"Duduk sini, nak" Bunda mempersilahkan Aksara duduk diruang makan dan mematikan kompor. "Sebentar ya"

Bunda berpamitan untuk membangunkan Naya. Aksara disini disambut dengan kasih Sayang, dan kehangatan. Sejak kecil, sampai sekarang dan akan seterusnya begitu. Untuk bunda, Aksara juga anaknya. Walaupun tidak berasal dari rahimnya, tapi bunda sayang sekali dengan Aksara. Aksara punya ibu, tapi terlalu sibuk untuk membuatkan Aksara sarapan serta bertegur sapa dengan nya.

Aksara bangkit dari duduknya. Menelusuri satu dinding yang penuh dengan foto keluarga kecil Naya, dan foto masa kecil dirinya juga Naya yang selalu berdampingan. Jemari Aksara mengusap satu foto dimana ia dan Naya duduk berdampingan dikursi panjang didepan rumah Naya. Senyuman manis dan hangat milik Naya ternyata diturunkan dari bundanya. Cantiknya juga, sama. Sejujurnya sepasang merpati pun tidak bisa selalu beriringan sebagai teman saja, salah satunya pasti ada yang menyimpan rasa. Merpati yang menyimpan rasa itu adalah Aksara. Aksara Pradiga.

"Udah lama Sar?" Suara berat itu berasal dari dapur.

Aksara berbalik dan kembali duduk di ruang makan.

"Ngga sih" jawab Aksara "Kuliah pagi ya A?" Aksara melontarkan pertanyaan sapaan untuk Dimas. Kakak laki-laki Naya.

"Iya nih" Dimas duduk di sebelah Aksara. Meletakan satu gelas teh hangat dihadapan Aksara. "Naya jam segini masih sibuk sama mimpinya, Sar."

Aksara mengangguk pelan, diiringi senyumnya.

"Iya A, dari kecil kan emang begitu" jawaban Aksara membuat Dimas melontarkan sebuah senyum hangat.

Dimas tau seberapa dekat Aksara dengan adiknya. Tau juga seberapa sayang Aksara kepada Naya. Dimas juga tau kalau Aksara itu mempunyai rasa ingin memiliki yang besar. Dimas tau semuanya.

"Rencana mau kuliah dimana, Sar?"

"Belum tau A, belum kepikiran kesana"

"Dikampus Gue aja" kata Dimas "Naya juga disitu"

"Tapi Naya maunya di Jogja A"

"Yaudah, lo ikut aja sama Naya biar dia ada yang jaga"

"Iya A, liat nanti aja. Gue masih mau nikmatin masa sekolah dulu" kata Aksara yang disambut Anggukan kecil dari Dimas.

Bunda menuruni satu persatu anak tangga. Melihat ada dua anak muda duduk bersebelahan diruang makannya. Ia tersenyum pada keduanya. Kembali ke dapur dan menyiapkan semua makanan diatas meja makan.

"Naya lagi ngapain Bun?" tanya Dimas sambil membantu bunda menata sendok makan diatas meja.

"Sebentar lagi turun"

"Kebiasaan banget Bun itu Anak" omel Dimas "Yang jemput udah rapi, dia masih bermimpi"

Aksara tertawa. Disusul dengan Bunda. Disaat yang bersamaan, Naya duduk dihadapan Aksara dan meletakan tas dibawah kursinya.

"Selamat pagi, Kanaya" sapa Aksara pada gadis yang baru saja duduk dihadapannya.

Naya melontarkan senyum manisnya untuk Aksara.

"Lo si Rajin banget" kata Naya merasa tidak enak karena sudah membuat Aksara menunggu lama. Mungkin.

"Padahal lo tau sendiri gue susah banget buat bangun pagi"

"Salah lo sendiri jam 2 pagi masih Online" Aksara keceplosan. Bunda langsung melotot kearah Naya. Dan juga Dimas yang melihat kearahnya dengan tatapan dingin tapi penuh makna.

Naya cengengesan kearah Bunda dan Dimas. Dan juga Aksara. Terima kasih Aksara sudah membongkar rahasia negara milik Kanaya.

"Kalo ada ayah, lo pasti dimarahin" kata Dimas.

"Ngga ada Ayah juga dimarahin sama Aa" ketus Naya.

Bunda mengelus puncak kepala Naya.

"Jangan tidur selarut itu, Naya" kata bunda sedikit khawatir karena pola tidur Naya yang berantakan "ngga baik buat kesehatan kamu-

Kasihan juga Aksara yang selalu siap pagi-pagi buat jemput kamu"

Bunda duduk disebelah Naya. Ikut makan bersama ketiga anaknya. Aksara melontarkan senyum ditengah kegiatan sarapannya, hatinya tersentuh, hatinya juga berdoa pada semesta agar memeberi ia umur yang panjang untuk dapat menikmati kehangatan keluarga yang terakhir kali ia dapatkan saat mendiang Abah nya masih Ada.

Naya berdiri disebelah Aksara yang tengah menyisir rambut dengan jemarinya. Hatinya bilang ; sok ganteng. Tapi memang Ganteng.

"Sar, ayo berangkat"

"Sabar dulu atuh Nay, rapihin rambut biar gak kena gunting sama Bu Elis" kata Aksara yang baru saja selesai menyisir rambut dengan jemarinya.

Aksara menyalakan motornya. Mengelap jok belakang motornya dengan tangan jaket jeans nya agar rok sekolah Naya tidak kotor.

"Sok naik" Aksara mempersilahkan Naya naik keatas motornya.

Naya memegang pundak Aksara sebagai tumpuan agar ia tidak jatuh. sementara Aksara, ia sedang tersenyum dibalik Helmnya.

"Udah?" tanya Aksara

"Belum" jawab Naya bercanda. "Ya udah atuh. Buru di gas"

Aksara tertawa renyah "pegangan ya, takut jatuh"

"Idih modus" Naya tertawa.

Pagi itu, adalah pagi yang sempurna untuk Aksara. Menyusuri jalanan, dan menembus angin pagi yang dinginnya menusuk tulang bersama Naya. Sangat sempurna. Waktu tolong jangan cepat berlalu, biarkan keduanya bersama diatas jalanan menikmati waktu yang tersisa sebelum salah satu dari dua insan itu pergi selamanya.

-----

 

Ribut-ribut dijam istirahat membuat nafsu makan Naya menghilang. Apalagi ketika abi secara tiba-tiba datang menghampirinya dan memberi kabar bahwa Aksara tengah ribut dengan Galang di kantin.

"Nay!" Panggil Abi dari pintu kelasnya "Aksara sama Galang kelahi dikantin!"

Naya mengehentikan kegiatan makannya, menyodorkan kotak bekal nya pada Alitsha agar dihabiskan. Dan Naya secara Reflek langsung lari ke tempat kejadian.

   ia melihat Aksara disana. Menarik kerah seragam Galang dan memukuli Galang yang sudah tersungkur tidak berdaya disana. Aksara sangat marah. Naya tau itu. Naya mencoba masuk kekerumunan dihadapannya untuk menarik Aksara agar berhent, tapi sulit menerobos kumpulan zombie disana.

"Sekali lagi mulut lo ngomong yang ngga-ngga soal gue dan ibu gue, habis lo sama gue!" Aksara masih terus memukuli Galang yang jelas jelas sudah tidak berdaya lagi. Anak itu diselimuti emosi. Matanya yang merah dan memanas serta air mata yang menggenang adalah bentuk pembelaan nya terhadap apa yang sedang ia lindungi.

"Lagi-lagi"

"Tonjok terus, Sar" itu suara Juna yang mendukung perkelahian antara Aksara dengan Galang. Sinting.

"Jangan kasih kendor, Sar"

"Hajar aja. Biar gak kebiasaan!" Suara suara itu datang dari seluruh warga sekolah yang tengah menonton perkelahian itu seperti sedang menonton acara tinju.

"AKSARA!" Suara itu bukan milik Naya. Itu milik Bu Elis, guru bidang kesiswaan. "Apa-apaan kalian ini?!"

anak-anak mulai bubar ketika Bu Elis datang menerobos kerumunan dan menarik lengan Aksara agar menjauh dari Galang yang sudah lemah itu. Menatap Aksara dengan tatapan kecewa dan geram karena selalu ia yang buat onar.

"Jangan sok jagoan kamu, Aksara!".

  Aksara bukan sok jagoan bu, Galang menghina ibunya. Sesibuk apapun ibu dan walaupun jarang ada waktu untuk sekedar bertegur sapa dengan nya, Aksara tetap sayang. Ibu tetap semestanya. Perempuan kuat yang selalu berjuang untuk menghidupi Aksara.

Disaat anak lain sibuk membantu membawa Galang ke UKS, Aksara hanya diam. Matanya merah memanas, air mata nya menggenang dan rahangnya mengeras. Matanya lalu bertemu dengan mata Naya yang sedikit tersenyum. Bukan senyum kecewa, tapi itu senyum penenang untuk Aksara yang sedang kalut hari itu.

"Aksara ibu tunggu kamu di ruang konseling, setelah Galang pulih!" kata Bu Elis pada Aksara yang berantakan itu. Bu Elis meninggalkan area kantin. Meninggalkan Naya yang masih berdiri menatap Aksara dan beberapa siswa yang masih duduk di sekitar Kantin.

Naya tau apa yang Aksara butuh sekarang. Ia menghampiri Aksara dan mengajaknya pergi dari sana. Genggaman tangan halus Naya membuat Aksara sedikit lebih tenang.

  Naya begitu teliti saat mengobati luka pada wajah Aksara. Begitu juga Aksara, ia begitu teliti menelusuri wajah Naya yang sangat dekat dengan wajahnya saat ini.

"Kenapa bisa?" tanya Naya.

Aksara bingung apa maksud pertanyaan Naya.

"Bisa apanya?" tanya Aksara.

"Galang"

Aksara tersenyum getir. Mendengar nama nya Aksara sedikit mual.

"Dia bilang ibu gue penggoda" kata Aksara. Naya mendegar suara hati yang retak itu.

"Terus lo pukul?" kata Naya mengembalikan kotak P3K ketempat semula lalu duduk disebelah Aksara yang wajahnya penuh luka. Hatinya juga luka.

Aksara mengangguk pelan. Menyandarkan tubuhnya pada tembok dan memejamkan matanya.

"Seburuk apapun ibu gue, kalo ada yang berani hina dia pasti gue habisin" kata Aksara. Matanya masih terpejam.

Jemari Naya menyusuri tangan besar Aksara. Menggenggamnya erat. Tersenyum saat Aksara membuka matanya.

"Pulang sekolah kita kerumah Abah ya, Nay" kata Aksara.

"Yaudah sekarang balik kekelas dulu, terus selesain masalah sama Bu Elis." kata Naya. Tutur katanya selalu lemah lembut. Salah satu Alasan kenapa Aksara begitu menyukainya.

"Kalo butuh wali, boleh pinjem bunda kan?" Aksara melontarkan senyum getir lagi pada Naya yang dibalas anggukan kecil.

"Bunda selalu ada buat lo, Sar." kata Naya mengusap punggung tangan Aksara dengan Jemarinya "kapan pun lo butuh bunda, temuin dia. Dengan sangat senang hati bunda selalu menerima lo"

  Aksara kini sedikit lebih baik ketika mendengar sesuatu indah dan berharga dari mulut Naya. Keduanya lalu kembali kekelas masing-masing dengan perasaan khawatir satu sama lain. Naya yang khawatir Aksara diberi sanksi tidak masuk akal dan Aksara yang khawatir ibunya biasa saja ketika mendengar dirinya masuk ruang konseling lagi untuk kesekian kalinya.

Semesta tolong luluhkan hati ibu ya?. Aksara mau punya banyak waktu bersama ibu.