webnovel

3

Jadi... peristiwa yang sebenarnya begini: karena berangkat telat, Arial pun bilang ke sekretaris kalau dia tidak pantas hukuman. Dan mukanya datar saja saat mengungkapkan alasannya.

"Aku masuk lebih pagi darimu, makanya kamu nggak lihat," kata Arial ke Lean. "Tapi musti langsung ke kantor Kepsek buat ngisi profil lomba klub berikutnya. Tanya aja Mr. Bambang kalo nggak percaya."

"Apa?" kaget Lean. Dia begitu karena Arial biasanya sangat ramah.

"Ini perintah dia, ngerti?" tegas Arial. Membuat Lean diam dengan bulu kuduk berdiri. Barulah tiga detik setelahnya, Arial nyengir. "Bercanda..." katanya. "Nggak usah tegang gitu dong... haha..." tawanya tengil. Kemudian dudul di bangkunya begitu saja.

Tapi Arial memang bilang yang sejujurnya. Lean cuma geleng-geleng kepala setelah menelpon Mr. Bambang demi memastikan. Termasuk alasan Arial absen dua hari lalu.

Bukannya marah, Lean justru menepuk bahu Arial sebelum duduk di bangkunya sendiri. "Good luck, ya!" katanya menyemangati. "Mr. Bambang bilang dramamu selanjutnya bakal jadi proyek yang besar, kan?"

Arial pun tersenyum. Sebab seminggu lalu dia berhasil memimpin Klub Drama sekolah itu jadi juara satu di perlombaan antar SMAN Bandung. Kalau sudah begitu, berikutnya tentu masuk tingkat nasional!

Menakjubkan, memang. Tapi itu bukanlah hal baru untuk Arial. Sebab dia memang punya bakat akting sejak kecil.

Punya bakat plus serius mengasahnya sejak masih tinggal di Inggris. Masuk teater mini, les hanggar, berkuda, memanah, dan renang... walau mulai jarang melakukannya setelah pindah ke Indonesia. Meskipun begitu, semuanya tetap berpengaruh besar saat ini. Terutama saat mengikuti perlombaan-perlombaan drama resmi.

"Thank's, Lean..." kata Arial. Lalu mulai membaca buku begitu saja.

Rara pun mendekat dan duduk di samping Arial mumpung jam istirahat masih ada.

"Kamu ternyata masuk sekolah, ya..." kata Rara.

Arial diam. Melirik saja tidak. Dia seolah tidak mendengar apapun dan dengan santai membalik halaman berikutnya. Lanjut membaca.

Rara pun menaikkan oktaf suaranya. "Kamu masih marah soal kapan hari kan?"

Mendadak Arial menutup buku dan menatapnya. "Sama sekali nggak kok."

"Apa?" bingung Rara.

"You missunderstand, Ra," kata Arial. "Aku nggak ngontak kamu beberapa hari ini tuh karena sakit tahu."

DEG

"Eh?" kaget Rara. "K-Kamu sakit?"

"Mn-hm," gumam Arial. Lali melipatlengan di dada. "Anemiaku kambuh setelah pulang dari sanggar hanggar, tapi parahnya kamu nggak menjengukku sekali pun."

Rara mengalihkan pandangan. "Y-Ya... kupikir kamu kan masih marah sama aku. So, mana mungkin aku nyamperin duluan," bantahnya. "Lagian kamu juga nggak buat surat izin—"

"Buat apa?" sela Arial.

"B-Buat apa?" kaget Rara kuadrat.

"Mr. Bambang udah tahu karena beliau sendiri yang nganterin aku pulang dari sanggar," kata Arial.

"Pak Kepsek?!" kaget Rara kubik.

Arial mengangguk. "Beliau ngerti aku tinggal sendirian. Makanya, beliau bilang aku nggak usah bikin izin segala. Soal absen biar beliau yang urus nantinya..."

"Oh my god..." desah Rara tak menyangka.

Arial justru menepuk pucuk kepala sahabatnya itu. "Ya nggak mungkin lah, Ra. Kalaupun aku marah ke kamu paling cuma sebentar." Katanya. Lalu mereka saling menatap. Membuat pipi Rara mendadak memanas tanpa tahu alasannya.

"Yang benar?" tanya Rara ragu. Mereka bertatapan lurus.

"Arial nyengir. "Aku udah tahu masalahmu yang waktu itu kok," katanya. "Jadi aku ngerti sekarang."

DEG

"Wait—tahu darimana?" tanya Rara penasaran. Dia menyingkirkan tangan Arial dari kepalanya.

"Nelpon Mira?" kata Arial. Mukanya watados sekali dan membuat Rara menutup mulut seketika.

"Y-Ya ampun, Arial..." kata Rara tak menyangka.

"Bukannya Mira sendiri udah bilang ke kamu kalo kita sempet telponan?" tanya Arial.

"Iya, tapi... kupikir kamu cuma ngeluh macem-macem soal aku. Bukannya malah peduli begini..." kata Rara. Mukanya sudah semerah tomat, tapi cengiran Arial justru berubah jadi seringaian.

"Daripada mati penasaran selama aku nggak bisa masuk sekolah?"

"T-Tapi kan—"

"Feri ngasih kamu Bunga Akasia Kuning, kan?" sela Arial.

Rara pun diam dan menundukkan kepala. "Iya..."

"Ck. Kalo aku jadi kamu... bunga itu pasti udah kubalikin," kata Arial dengan nada sebal.

"Eh? Kenapa tiba-tiba?" tanya Rara heran.

"Ya buat mbalas dia lah," kata Arial santai. "Biar dia tahu... kalau setelah kamu diatolak, cintamu itu juga bakal ada di tempat lain!"

"WHAT?!" kaget Rara. "What do you mean, Arial?"

Mendadak Arial mendekatkan wajah sampai Rara refleks mencondongkan tubuh ke belakang. "Kamu bisa jatuh cinta ke aku," kata Arial. Lalu tersenyum tipis. Tipis tapi benar-benar memikat. "Jadi, kenapa harus repot-repot nyari yang udah punya pacar, hm?"

DEG

"EEEEEEEEEEEEEH?!" jerit Rara kaget. Tapi Arial segera menjauh dan tersenyum-senyum seolah tak mengatakan hal apapun. Dia juga membuka buku sekali lagi... lalu membaca. Membuat perhatian seluruh kelas cuma terfokus kepada Rara.

Rara pun keki. Dia mendekat dan memelankan suaranya seperti bisikan.

"W-Wait, Arial. Don't make a bad joke, right?" kata Rara serius.

Arial justru menoleh padanya dengan senyuman yang lebih memikat. "Of course not," katanya santai. "Aku kan udah suka sama kamu sejak dulu. Kamu aja yang nggak pernah peka, see?"

DEG

"Tapi kan—"

"HOI, KALO PACARAN JANGAN DI KELAS! BIKIN IRI AJA DEH!" teriak Aldo dari ambang pintu. Dia cuma bilang begitu saat mengambil bola yang menggelinding masuk kelas... lalu keluar lagi begitu saja.

Rara bingung. Tapi dia segera berdiri setelahnya. "A-Apa-apaan sih kamu. Udah ya aku mau ke kantin dulu. Mira pasti udah nungguin aku..." katanya. Gugup luar biasa. Entah kenapa.

.

.

.

Di kantin, Rara membuat Mira bingung. Yang katanya pesen bakso, tapi yang ditunjuk di buku menu malah mi ayam. Dan waktu bilang pengen es teh, eh... yang ditunjuk malah es campur.

"Ra? Kamu tuh kesambet apa, sih?" tanya Mira.

Rara pun baru sadar. "Ha? Kamu bilang apa tadi?"

"Ck... udah lupain aja," kata Mira. Lalu geleng-geleng kepala. "Intinya, pesenan kamu yang bener apa? Ntar salah... aku lagi yang kena."

"Itu... sama aja kayak kamu," kata Rara pada akhirnya.

"Ih... Dasar anak ini..." desah Mira. Lalu nggeloyor ke tukang kantinnya.

Rara sendiri memijit kening. Padahal samasekali tak pusing.

Mungkin karena isi kepalanya seberantakan kaset rusak, jadi malah begini tiba-tiba...

Ada apa sih?

Kenapa daritadi dia malah mikirin kata-kata Arial, sih? Bukankah harusnya ia sedang patah hati?

"W-Wait, Arial. Don't make a bad joke, right?"

"Of course not. Aku kan udah suka sama kamu sejak dulu. Kamu aja yang nggak pernah peka, see?"

"Ugh... Dasar Arial Bego..." keluh Rara. Lalu membenturkan keningnya sendiri di meja kantin. Tak peduli. Mukanya lesu dan tak tahu harus apa. Terutama saat menoleh ke kanan dan melihat Feri berjalan di koridor gedung sebelah. Tepat di lantai dua jurusan IPA.

"Kira-kira pacar Feri itu kayak apa, ya..." batin Rara. "Padahal kupikir dia jomblo selama ini. Ugh..."

Next chapter