2 2

"Iya-iya, aku yang salah..." dengus Rara. "Aku udah sadar kok, Mir. Kalo nggak cerita masalah beginian ke sobat sendiri tuh bakal bikin membuatnya kurang dihargai. Apalagi waktu itu dia pasti khawatir banget..."

"Nah itu kamu tahu sendiri," kata Mira. "Padahal dia kurang care apa sih sama kamu."

"Aku ingin minta maaf, Mir. I swear..." kata Rara. "Masalahnya tuh sekarang orang yang bersangkutan nggak ada! Dihubungi aja susah apalagi—"

"Iih... ya susul ke rumahnya lah!" sela Mira cepat.

"What?!" kaget Rara.

"Kalau dianya pasif ya kamu yang nyerang dong... gimana sih?" kata Mira gemas. "Oke, pertama kamu udah hubungin dia. Dan kalo nggak bisa... ya datengin aja rumahnya! Kalian kan sahabatan! Mana bisa lama-lama perang dingin kek begini..."

Rara nyengir. "Gitu ya..."

"Oh my god, Rara..." desah Mira. Tak habis pikir. Lalu menghela napas panjang karena ingin membuang emosi yang menumpuk gara-gara Rara. "Sekarang jujur deh sama aku... kamu kenapa nggak pernah main ke rumah Arial lagi sih?" tanyanya.

"Maksud kamu?" tanya Rara.

"Maksud aku adalah... rumah kalian kan nggak jauh-jauh amat, sahabatan, belum lagi kamu satu-satunya cewek yang berani ngejitak dia selama ini—"

"Wait—what?!" sela Rara kaget. "Kamu ini lagi ngomongin apa sih?"

"Ra, please..." pinta Mira serius. Dia bahkan menghadapkan kedua bahu Rara padanya kali ini. "Aku dan temen-temen Klub Drama aja biasa main ke rumah dia, tapi kenapa kamu nggak gitu sih?" tanyanya.

Rara menatap mata Mira lebih dalam. Mencoba memahami situasi. "Emang Arial udah bilang apa aja sama kamu?" tanyanya balik.

Mira pun menghela napas panjang. "Fine... tadi malem kita emang telfonan. Dia yang ngehubungin aku duluan terus ngeluh macem-macem ke aku," akunya. "Ya soal sikap kamu yang agak berubah lah... terus cenderung ngejauh dari dia lah... apalagi sejak naik kelas tiga tahun ini."

Rara tersenyum masam. "Siapa juga," sangkalnya. "Dia aja kali yang ngerasa gitu..."

"Tapi kamu selalu nolak kalo dia ngajak main ke rumahnya, kan?" sergah Mira. "Bahkan buat belajar bareng sekalipun. Udah deh, Ra. Ngaku aja. Dia sendiri juga yang bilang ke aku. Sampe-sampe aku bingung... soalnya aku sendiri juga nggak tahu kamu kenapa. Pikirku selama ini kalian baik-baik aja."

"Ugh..." keluh Rara. Lalu melengos begitu saja. Terlihat samasekali tak ingin memberikan jawaban.

"Kenapa, Ra..." kata Mira. "Dia itu sayang banget sama kamu. Belum lagi keluargamu itu udah kayak keluarganya sendiri. Kasihan, kan..."

Rara paham. Sangat paham maksud Mira.

Arial memang sahabatnya sejak kecil. Tepatnya mulai lulus SD dulu.

Karena perceraian orangtua, Arial bahkan sempat tinggal di rumah Rara selama 3 tahun. Sebab ibunya tetap tinggal di Inggris, sementara ayahnya tidak pernah pulang ke Indonesia karena berprofesi sebagai fotografer freelancer.

Marisa sudah bilang berkali-kali kalau Arial itu anak baik. Ibu Rara itu berpendapat bahwa dulu Arial terlihat pendiam hanya karena belum fasih berbahasa Indonesia. Tapi, Rara tetap kesulitan menerima kehadirannya waktu itu.

Menurut Rara, Arial itu aneh. Matanya biru, rambutnya cokelat, bibirnya merah, kulitnya pucat, apalagi tingginya begitu cepat bertambah melebihi siapapun. Belum lagi caranya bicara...

Intinya, itu semua membuat Rara merasa sedang berjalan bareng alien setiap kali berangkat sekolah bareng. Meskipun begitu, entah bagaimana mereka malah jadi sahabat dekat sampai sekarang.

Mungkin Marisa benar. Arial itu baik sejak awal. Bahkan terlalu baik. Sampai-sampai suatu saat Rara sadar bahwa dia berasal dari 'dunia' yang berbeda dari dirinya.

Tepatnya waktu liburan semester, sebelum naik kelas tiga SMA.

Rara isin ke Marisa mau main PSP di rumah Arial. Mungkin karena balas dendam, dia merasa harus melupakan ujian akhir yang baru dilewati kemarin dengan begadang.

Arial jelas senang. Rumahnya yang terbiasa sepi pasti akan jadi berisik karena sorakan main game. Sahabat Rara itu membeli banyak snack dari Indomaret sebelah. Mulai dari Qtela, Leo, PopMie, bahkan Big Cola ukuran jumbo cuma untuk kedatangannya yang berniat begadang.

Tapi niat hanyalah niat. Sebab kenyataan yang terjadi justru malah jauh berbeda sekali. Mengerikkan bagi Rara, tapi normal-normal saja bagi Arial. Sebab pagi berikut dia terbangun tanpa ingat apa-apa.

Di kasur Arial. Di sebelah Arial. Di pelukan Arial. Dan satu selimut dengan Arial.

Tentu saja peristiwa itu berakhir dengan drama.

Rara menampar Arial dan Arial kaget setengah mati sebelum bertanya, "What's wrong, Ra?!"

Wajah Arial bingung sekali. Bahkan saat Rara marah-marah dan dia berusaha menjelaskan semuanya tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Arial bilang tadi malam Rara ketiduran di karpet sambil memeluk joystick setelah dia kembali dari dapur. Niatnya sih mau mengambil snack lebih banyak, tapi karena takut sahabatnya masuk angin, dia pun memindahkan Rara dari sana. Dan emang ke kasurnya karena di rumah mungil itu cuma ada satu kamar. Toh selama ini dia tinggal sendirian.

Kalau soal meluk-meluk, kebetulan saja bangun-bangun sudah begitu, kata Arial. Lagipula mana ada orang tidur yang sadar apapun yang dilakukannya sih. Jadi itu bukannya disengaja.

Kalah debat, Rara pun ngotot demi harga diri. Tapi Arial juga tidak mau disalahkan seratus persen.

"Lagian dari kecil bukannya kita biasa tidur bareng?" bingung Arial. "Dan aku beneran nggak bermaksud apa-apa kok. I swear, Ra."

"Tapi kita udah 17 tahun sekarang!" bentak Rara. "Dan satu lagi, ini di Indonesia, bukannya Inggris!"

Rara pun langsung keluar rumah setelah itu. Malu dan kesal bercampur jadi satu.

Arial sendiri tidak mengejar Rarar atau berusaha minta maaf lewat ponsel. Tapi anehnya, hari berikut sikapnya sudah kembali biasa. Seolah-olah tidak pernah terjadi pertengkaran apapun diantara mereka.

Rara pun mengikuti arus. Dia ikutan pura-pura lupa, mengambil sikap sok dewasa dan hari berikut pun berjalan apa adanya.

Hanya saja, Rara trauma. Dia merasa, sedekat apapun mereka, tetap harus ada jarak khusus mulai sekarang. Tak peduli Arial benar-benar berniat baik atau tidak.

Mau itu sahabat atau saudaranya sekalipun, tetap saja Arial itu laki-laki! Umur mereka sepantaran dan harus diwaspadai!

"Ugh... I'm so sorry, Mir. Aku belum bisa cerita sekarang..." keluh Rara. "Jadi jangan maksa, please..."

Mira pun melepaskan bahu Rara. Senyum tipis menghiasi bibirnya. "Fine. Tapi kapan pun itu. Aku bakalan siap dengerin curhatan kamu, ngerti?"

Rara mengangguk. Dia ikut tersenyum tipis meski segan. "Makasih udah ngertiin aku..." katanya. Lalu tanpa sengaja melirik ke pintu kelas. Tepat ke spot Arial berdiri. Tampak berantakan dengan jas tak dikancing dan dasi longgar yang tersampir di bahu, seperti biasanya.

DEG

"Loh... Arial?!" jerit Rara syok.

avataravatar
Next chapter