webnovel

AITMP Arc I - Prolog

Namaku Kla Archaios Dinata—atau biasa dipanggil Kla—dan umurku baru saja menginjak sembilan belas tahun. Namaku memang terkesan kebarat-baratan, namun terlepas dari itu, aku adalah pemuda Indonesia tulen yang kebetulan sekali berwajah bule—Bunda adalah orang Turki. Dari yang ku dengar, hanya sepeser orang yang bisa mengikuti gen Ibunya, kurasa aku beruntung. Aku memiliki seorang kembaran bernama Felisha Archaios Dinata—yang biasa dipanggil Fe. Fe adalah kebalikan dariku. Wajah dengan kulit coklat susunya, rambut panjang hitam bergelombang, dan senyumannya khas para wanita di Nusantara menghiasi dirinya. Meski begitu, dia merupakan gadis remaja yang cukup terkenal di kalangan pemuda seusia kami. Terlepas dari semua perbedaan fisik kami, kami adalah kembar pada umumnya. Memiliki selera dan hobi yang sama. Aku dan Fe senang sekali mengikuti klub pecinta alam, mengikuti berbagai kegiatan penjelajahan lokal maupun ke daerah lainnya, merasakan sulitnya kehidupan orang-orang di zaman batu yang senang sekali dengan sistem 'nomaden' mereka.

Kami sudah terbiasa hidup di alam terbuka, mendirikan tenda-tenda di atas tanah, melakukan berbagai kegiatan survival, seperti berburu, mengenal lokasi-lokasi bagus untuk ditempati, berhadapan dengan bahaya yang datang, dan berbagai kegiatan seru lainnya.

Orang tua kami tidak pernah masalah dengan hobi kami yang cukup berbahaya seperti itu, karena pada dasarnya kami mewarisi hobi kami dari mereka. Ayah adalah seorang arkeolog yang telah menemukan banyak fosil-fosil kuno, sedangkan Bunda adalah mantan anggota bahkan pemimpin sebuah organisasi pecinta alam. Saat Bunda menunjukkan foto-fotonya tengah mendaki gunung tertinggi di dunia, saat itu juga aku dan Fe memutuskan untuk mengikuti jejak kedua orang tua kami—menjadi petualang yang hebat.

Tentu saja ada harga yang harus dibayar ketika kami meminta izin untuk melakukan hobi kami. Aku ingat sekali pertama kali organisasi sekolah yang aku sendiri dan Fe ikuti adalah 'Pramuka'. Saat itu, organisasi mengadakan acara 'Cross Country' untuk anggota-anggotanya. Tentu saja aku dan Fe yang masih berusia sekitar dua belas tahun—baru saja menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama—tertarik sekali untuk mengikutinya, dengan syarat nilai kami harus bagus. Tentu saja aku dan Fe sepakat dengan kedua orang tua kami. Bagi aku dan Fe mendapatkan nilai bagus bukanlah menjadi masalah. Aku adalah murid sekolah yang pandai Matematika dan sederet kembarannya—Fisika dan apa pun tentang hitung-menghitung. Sedangkan Fe adalah murid dengan daya ingat tinggi dan sangat mencolok di hapalan, sastra dan seni. Kami saling bertukar kelebihan masing-masing—aku mengajari Fe soal-soal hitungan dan Fe mengajariku hapalan, sastra dan seni. Hingga pada akhirnya orang tua kami tidak percaya dengan nilai yang kami dapatkan.

"Anton, lihat kembar kita ini!" seru Bunda kepada Ayah. Wanita paruh baya itu memperlihatkan rekapitulasi nilai yang baru saja diambil tadi pagi, sekitar tujuh tahun silam.

Aku bisa mengingat bagaimana ekspresi wajah Ayah dan Bunda yang terkejut dengan nilai yang kami peroleh.

"Kedua monster kecil ini benar-benar berusaha," Ayah terkekeh ketika mengatakannya.

Ayah dan Bunda menatap satu sama lain, lalu berseru kepada kami, "Syarat dipenuhi! Kalian boleh mengikuti kegiatan organisasi pertama kalian!"

Aku dan Fe melompat-lompat layaknya seorang anak berusia lima tahun yang mendapatkan banyak permen sebagai hadiah atas kerja kerasnya.

Itu terjadi sekitar tujuh tahun yang lalu. Sekarang, aku dan Fe sudah terpisah dengan orang tua dan harus hidup sendiri. Kami sudah menjadi pemuda-pemudi yang harus melanjutkan sekolah kami ke jenjang yang lebih tinggi—kuliah.

Begitu perkenalan singkat tentang diriku dan Fe.

✓✓✓

"KLA ARCHAIOS DINATA!" Suara teriakan seorang Felisha Archaios Dinata menggema di seluruh ruangan. Hanya untuk memanggil kembarannya yang setiap paginya selalu saja telat bangun itu.

Kla yang mendengar teriakan itu, dengan santainya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Dia masih belum ingin bangun dari kasur empuknya, masih terlena dalam kenyamanan dunia bunga tidurnya.

Brak!

Pintu kamar seorang Kla Archaios Dinata dibuka secara kasar oleh saudari kembarnya. Dengan tatapan jengkel, Fe menatap saudara kembarnya. Sulit sekali membangunkan manusia yang satu ini! dengusnya dalam hati kesal.

"Kla! Bangun! Tidak ingatkah kau hari ini kita akan melihat-lihat rumah yang cocok di ibukota negara untuk kita tinggali selama masa-masa kuliah?" tanya Fe.

Kla tidak menjawab pertanyaan Fe. Dia masih ingin melanjutkan mimpinya yang tertunda karena Fe meneriakinya dengan suara cemprengnya di pagi buta. Pemuda itu bahkan bisa mendengar gerimis yang turun membasahi kota dengan jelas.

"Kla!" bentak Fe sambil menarik selimut yang menutupi tubuh saudara kembarnya itu. "Jangan bermalas-malasan saja yang kau tahu!"

Kla mendesis kepada saudarinya. Dia saja tidak mempermasalahkan jika Fe tidur seperti mayat sampai jam makan siang tiba. "Berisik!" Akhirnya dia berkata setengah berteriak.

"Bodoh! Cepat bangun!" desak Fe.

Kla yang menganggap Fe sungguh berisik itu, menarik tangan saudari kembarnya hingga terjatuh ke atas kasur, tepat di sebelahnya. "Daripada kau berisik, Felisha Archaios Dinata, lebih baik kau juga tidur. Ini masih terlalu pagi, juga tidak bisakah kau mendengar suara rintik hujan yang menghantam di luar sana? Suasana yang bagus untuk menjadi pemalas," ucapnya. Matanya masih terpejam tak ingin membuka.

"Ah sialan!" umpat Fe. "Aku bahkan sudah mandi dan kau menarikku ke atas kasur yang penuh dengan ilermu!"

"Bodoh! Ini masih pagi buta. Langit juga sedang tak bersahabat, berharap apa kau dengan keadaan seperti ini? Lagipula, Ayah dan Bunda mengatakan bahwa kita boleh memilih tanggal yang bagus untuk menemukan rumah yang kita inginkan di ibukota negara," balas saudara kembarnya, kesal dengan Fe yang berisik di pagi buta mendung seperti itu. "Ingin tidur di sini atau segera pergi?" tanyanya dengan nada mengusir.

"Iya! Aku lebih memilih tidur di sini!" Fe memutar bola mata malas.

Tidak heran sampai sekarang pun, Kla dan Fe masih suka tidur berdua. Sedari kecil mereka sudah dekat, menghabiskan sembilan belas tahun bersama, bahkan berkuliah pun harus di tempat yang sama meski dengan mata pelajaran yang berbeda—Kla memutuskan untuk mengambil kuliah ilmu matematika terapan, sedangkan Fe memutuskan untuk mengambil sastra.

Rintik hujan yang menghantam atap rumah, suara jam dinding yang terus berdetak di ruangan yang mendadak hening, dan udara dingin yang merayap di antara pori-pori, membuat Fe menguap beberapa kali dan merasa nyaman di atas kasur. "Dingin," celetuknya seraya merebut selimut yang dipakai oleh saudara kembarnya.

Kla merebut kembali selimut miliknya, lalu melempar selimut satunya lagi tepat di wajah Fe. "Pakai selimutmu sendiri, Fe!"

Di kamar Kla maupun Fe, mereka menyediakan satu selimut untuk saudara-saudari kembarnya. Jadi, tidak heran mereka berdua bisa bergantian tidur di dalam kamar yang bukan milik mereka.

"Kasar sekali kau," dengus Fe sambil menyelimuti dirinya sendiri.

Kla hanya diam tidak menanggapi Fe.

Fe sendiri terus bergerak-gerak untuk menemukan posisi nyaman. Tak lama kemudian, mata remaja itu terpejam.

"Fe?"

Tidak ada respon dari pemilik nama. Bisa disimpulkan oleh Kla bahwa Fe sudah tertidur lelap. Dia pun ikut-ikutan tertidur lelap bersama kembarannya.

"Kla? Fe?"

Seorang wanita paruh baya—Ibunda Kla dan Fe, Bunda Anne—mendorong pintu kamar Kla hingga terbuka, menemukan kedua anak kembarnya tidur bersama. Lagi.

Sudah berumur sembilan belas tahun pun mereka masih saja ingin tidur bersama. Dasar anak kembar aneh menggemaskan ..., Bunda Anne terkekeh menggelengkan kepalanya, lalu beranjak pergi meninggalkan ambang pintu kamar Kla.

Next chapter