1 Campfire

"Sam, Malik mana sih?"

"Di sungai, buang hajat," sahut Atlan.

"Duh bisa sejam kali ya," gerutu Janina.

Atlan menyudahi acara masak memasaknya lalu menghampiri Nina, sedikit kesal sebenarnya. Sudah berjam-jam Atlan menahan lapar. Waktu makan siangnya sudah terlewat. Sekarang giliran waktu makan malam, ada saja halangannya. Padahal masakannya sudah setengah jadi.

"Kenapa sih, Nin? Marah-marah terus daritadi. Lagi dapet ya?"

"Bukan gitu. Gue butuh Malik buat bikin api unggun. Satu-satunya cowok yang bisa diandelin kan cuma dia," sindir Janina sambil melirik Samudera yang duduk sendirian tidak jauh darinya dan Atlan berdiri saat ini.

"Gue berguna kok, kan gue bisa masak," protes Atlan.

"Ya udah sana lanjut masak, gue laper banget nih, capek juga nyusun kayu bakar sendirian," eluh Janina lagi.

Samudera masih duduk di tempatnya, di atas kain bermotif garis-garis yang digelar di atas rerumputan hijau. Laki-laki bertubuh tinggi dengan kacamata yang selalu bertengger pada batang hidungnya itu tidak berkutik sama sekali. Buku tebal kesayangannya masih terus dibolak-balik halamannya, tanda ia sedang serius membaca.

Bagi teman-temannya, Samudera itu seperti robot. Ia hanya melakukan sesuatu jika perlu. Sindiran seperti yang Janina lontarkan tadi tidak berpengaruh untuk menggerakkan hati nurani laki-laki itu. Kalau butuh bantuan, bilang saja, itu prinsip hidupnya. Kalau tidak diminta, ia tidak akan melakukan. Butuh ekstra kesabaran memang jika berteman dengan laki-laki yang peka namun gengsinya mengalahkan kepekaan yang dia miliki.

"Nin, kenapa kok cemberut?" tanya Rayena.

"Apinya nggak mau nyala, gue capek," rengek Janina.

"Kayunya basah, abis ujan. Nggak usah dipikiran gitu. Kita tunggu Malik aja ya, biar dia yang ngakalin," ucap Rayena.

"Kita makan dulu yuk, laper kan?" sahut Sera sambil menunjukkan alat makan yang baru ia ambil dari dalam tenda.

Rayena pun berdiri lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Janina yang sedaritadi berjongkok di depan tumpukan api unggun. Mereka berdua menghampiri Sera, Binar, dan Atlan yang sudah duduk berkeliling di dekat kompor.

Samudera sendiri masih diam, duduk berselonjor dengan mata yang terus fokus pada bukunya. Ia bergeming, seolah tidak lapar sama sekali. Melirik ke arah teman-temannya saja tidak. Benar-benar definisi manusia robot yang kerjaannya hanya belajar, belajar, dan belajar.

"Malik belom balik?" tanya Rayena.

"Belom sih kayaknya, dia kan lama kalo buang hajat," jawab Atlan.

"Kalo Sam dimana?" sahut Sera.

Janina dan Atlan sepertinya sangat fokus pada makanan sehingga tidak menggubris pertanyaan Sera. Mereka terlalu sibuk merebutkan sosis isi keju yang hanya ada satu potong. Sedangkan Binar, matanya terus mencari ke sekeliling dan saat ia menemukan Samudera yang sedang membaca buku sendirian, telunjuknya otomatis menunjuk ke arah laki-laki itu.

Sera dan Rayena pun mengikuti arah telunjuk Binar. Kompak, mereka berdua sama-sama menggelengkan kepala. Mata keduanya bertemu lalu saling menatap cukup lama seolah sedang kontak batin. Rayena menggeleng malas pada akhirnya lalu cepat-cepat menyendokkan nasi ke piringnya.

Mau tidak mau, Sera yang harus menghampiri dan mengajak Samudera untuk makan bersama mereka. Sebenarnya Sera malas, ia pikir Sam akan tetap bergeming jika ia datang. Kalau sudah memegang buku, siapapun malas berurusan dengannya. Hanya Sam seorang diri lah yang bisa menghentikan dirinya untuk melakukan kegiatan lain saat sedang membaca.

Dengan sedikit berat hati, Sera berdiri dan melangkah cepat ke arah Samudera. Ia tidak mau buang-buang waktu, dirinya lelah dan butuh segera mengisi ulang tenaga dengan makan banyak.

"Sam, laper nih," ucap Sera lalu berjongkok di samping lawan bicaranya.

Sam melirik sekilas, tapi fokusnya kembali menuju tulisan-tulisan dan ilustrasi dalam buku miliknya. Sedangkan Sera, ia sendiri memegangi perutnya yang mulai berbunyi. Ia mulai pasrah dan ingin berbalik, tapi yang ada ia tidak akan bisa makan dengan tenang kalau tidak berhasil membujuk Samudera.

"Sam, ayolah. Kita harus makan sama-sama. Kalo lo nggak makan sama kita, jadinya lo makan belakangan. Itu artinya lo bakal makan makanan sisa. Ih, nggak banget kan? Seorang Samudera itu kan selalu mengutamakan kehigienisitas, bener kan?" bujuk Sera panjang lebar.

"Higienitas," balas Samudera singkat. Itu juga karena ia membetulkan kesalahan penyebutan yang Sera ucapkan tadi. Kalau Sera tidak salah sebut, belum tentu Samudera membuka suara.

"Ah, iya maaf. Apapun itu istilahnya deh. Yang penting sekarang kita makan bareng ya? Please Sam, please," rengek Sera.

Rayena memandangi kedua temannya itu dari tempat mereka makan. Ia tahu, sulit memecah konsentrasi seorang Samudera saat dia sedang membaca buku. Untungnya, Sera sabar. Coba kalau Janina yang membujuk Samudera disana, dia pasti sudah membuat keributan. Lain lagi jika Rayena sendiri yang ada disana, mereka berdua pasti ujung-ujungnya akan adu mulut dan merusak suasana.

Binar sendiri, sejak awal Samudera tidak pernah menyukai gadis itu. Entah karena apa, mereka tidak ada yang tahu, tapi satu hal yang mereka tahu. Samudera tidak membenci Binar karena gadis itu tuli. Kesimpulan itu mereka buat karena ibunda Samudera juga tuli. Dan pastinya, mereka tidak mau berteman dengan Samudera jika laki-laki itu membenci orang dengan keterbatasan seperti Binar.

"Gue makan kalo gue udah selesai baca buku," ucap Samudera.

Sera menatap tajam mata Samudera, walaupun laki-laki itu langsung menghindari mata lawan bicaranya. Tidak butuh waktu lama, Sera berdiri lalu merebut buku yang sedaritadi tidak lepas dari genggaman tangan Samudera. Berhasil, tapi tidak membuat Samudera bergerak dari posisinya sedikitpun. Karena kekesalannya, Sera melempar buku itu jauh ke dalam hutan. Ia pergi begitu saja, menghampiri teman-temannya yang kompak menganga karena kelakuan Sera yang tidak biasa itu.

"Orang sabar kalo udah marah ngeri banget ya," ucap Atlan.

"Ra, lo nggak takut?" tanya Janina setelah Sera duduk bersama mereka.

"Orang kayak Sam mesti digituin sesekali biar sadar kalo dia tuh ngeselin banget bikin naik darah. Udah bagus gue mau nyamperin dia disaat gue bisa aja lebih milih makan," jelas Sera.

"Keren banget sih lo, Ra," ucap Janina sambil bertepuk tangan.

Mata Rayena mengikuti arah kemana Samudera pergi. Ke tengah hutan, lebih tepatnya. Langit sudah mulai gelap, tapi laki-laki itu sepertinya tidak membawa senter atau penerangan lainnya. Buku itu memang dilempar tidak begitu jauh, namun tetap saja masuk hutan. Bahaya jika tidak ada penerangan, takutnya Samudera kesulitan saat berjalan balik.

"Mau kemana, Ray?" tanya Atlan.

"Bantuin Sam," jawabnya singkat.

Baru saja Rayena ingin melangkah, tangannya ditahan oleh Binar. Gadis itu tersenyum lalu berkata tanpa suara, "Hati-hati." Rayena mengangguk singkat sambil menepuk bahu Binar lalu pergi menyusul Samudera.

"Jangan diabisin ayamnya dong, Nin. Inget, Samudera sama Malik belom makan," ucap Atlan sambil membersihkan alat makannya.

"Oh, iya. Malik kok nggak balik-balik, sih?"

"Nyariin aku ya, sayang?"

Kalimat yang keluar dari mulut Malik itu pun membuat teman-temannya menoleh. Entah datang darimana, akhirnya Malik kembali. Setelah melewati proses buang hajat yang butuh waktu lama karena laki-laki itu sudah lama menderita sembelit.

"Udah cuci tangan?" tanya Binar.

"Udah kok. Kalo udah cuci tangan, berarti boleh makan, kan?" tanya Malik lalu duduk dan bergabung dengan teman-temannya.

Di sisi lain dalam waktu yang sama, Rayena terus berjalan di belakang Samudera. Laki-laki itu tahu ada yang mengikutinya, tapi ia tidak peduli siapa. Lagipula, ia merasa tidak perlu ada yang menemani dan tidak butuh bantuan dari siapapun juga.

"Kalo gue nggak bawa senter gimana tuh? Lo bakal nginjek ranting, kesandung trus jatoh. Nggak ada yang tau karna nggak ada yang nemenin lo. Langit makin gelap trus lo bakal diem di hutan semaleman. Jangan sok tau makanya jadi orang, Sam," ucap Rayena panjang lebar.

Samudera membungkukkan badannya untuk mengambil buku miliknya. Cover depan yang sobek, sebagian halaman yang basah karena terkena genangan. Ingin sekali rasanya marah, tapi percuma. Marah tidak akan mengembalikan kondisi bukunya yang rusak itu.

"Makasih udah disenterin," ucap Samudera tepat setelah ia membalikkan badan dan menatap Rayena yang berjarak sebelas langkah darinya.

Rayena hanya mengangguk lalu menunggu Samudera untuk berjalan di sampingnya. Tidak ada yang spesial tentang mereka, tapi entah mengapa selalu muncul rasa ingin membantu satu sama lain. Seperti sekarang ini contohnya.

Setelah Samudera dan Rayena kembali, gadis itu langsung menyuruh Samudera untuk makan. Tidak ada alasan untuknya menolak. Rayena tidak ingin ada salah satu dari mereka yang sakit. Kemah kali ini mereka lakukan untuk mengisi waktu bahagia mereka bersama. Mereka baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Ada yang diterima kuliah, ada juga yang memilih bekerja saja.

Semakin dewasa, mereka akan semakin sibuk. Mungkin tidak bisa berkumpul bersama-sama bertujuh lagi. Waktu mereka tidak akan sama. Untuk itu, sebelum semuanya memilih jalan hidup masing-masing, mereka harus berkumpul disini. Menghabiskan waktu tiga malam, hanya mereka bertujuh.

Mereka percaya, momen berkemah kali ini akan menjadi momen yang akan mereka ingat seumur hidup.

"Udah pada bersih-bersih semua kan?" tanya Janina.

"Udah pada istirahat juga, kan?" sambung Rayena.

"Kalo gitu sekarang waktunya kita duduk ngelilingin api unggun," ucap Sera.

"Ih, ngapain sih? Panas tau deket-deket api," protes Atlan.

"Studi mengatakan bahwa orang yang mengalami obesitas itu memang lebih mudah berkeringat," sahut Malik.

Atlan baru saja ingin menendang bokong Malik, tapi ada Rayena yang menatapnya, tidak tajam, tapi tatapan gadis yang terkenal seperti preman itu menakutkan.

"Kita mau ngapain sih emangnya?" tanya Samudera malas.

"Duduk aja dulu, nanti juga tau," balas Rayena sambil menyunggingkan senyum khasnya juga dengan sebelah alis yang naik.

avataravatar
Next chapter