7 Bab 7

"Aku—aku—aku—mau buang air ke sungai," kata Airlangga. "Iya ke sungai, buang air."

Sri Dewi memperhatikan Airlangga beberapa saat. "Apa Sri Raja tidak membawa obor? Sungai sangat gelap, saya khawatir ada ular."

"Oh iya lupa."

"Biar saya siapkan obor."

"Tidak usah—"

Sri Dewi segera mengambil obor ke rumahnya. Memang benar, pergi di malam hari terlalu beresiko. Bagaimana kalau Airlangga bertemu hantu atau jin penunggu hutan? Tapi—

"Obornya sudah siap, Sri Raja," Sri Dewi muncul kembali membawa pelita. Gadis itu sangat sigap. "Biar saya memandu jalan Sri Raja."

"Uh…"

Mereka pun jalan beriringan menuju sungai Sri Dewi memimpin di depan, Airlangga mengikuti di belakang.

"Hati-hati dalam melangkah, Sri Raja. Awas ada lubang."

"Iya, iya."

Tak lama kemudian mereka tiba di sungai. Airlangga masih bingung menentukan tindakan berikutnya. "Ah… uh… saya… mau buang air…"

"Biar saya terangi," kata Sri Dewi datar.

"Bagaimana—tapi kan—masa sambil kau lihatin?!" Keresahan Airlangga mencapai puncaknya. Tapi pemuda itu baru menyadari ekspresi Sri Dewi yang juga berkemelut di bawah cahaya obor. Agaknya ada sesuatu yang ingin gadis itu katakan. "Ada apa?"

"Maaf, boleh saya mengutarakan isi hati?"

"Boleh, kok…"

Sri Dewi mengumpulkan pikirannya, lalu memulai, "Sejak awal ini memang keegoisan saya. Mungkin Kang Mas Tunggadewa benar. Seharusnya saya menjadi perempuan baik-baik saja. Mungkin memang Raja Hasin justru berjasa melindungi kami dari prajurit Sriwijaya."

"Tunggu, tunggu, jangan bilang kau percaya omong kosong itu…" sela Airlangga.

"Sekalipun begitu, sekalipun saya ingin melakukan sesuatu, saya sadar tak punya kemampuan. Akhirnya saya mencari Sri Raja dan melimpahkan beban tanggung jawab ini pada Sri Raja, yang malah membuat Sri Raja mengalami hal buruk. Kemenangan penduduk desa hari ini atas Laskar Hitam menyadarkan saya bahwa perkataan Sri Raja waktu itu adalah benar. Seharusnya kami bisa memperjuangkan keadilan bagi kami sendiri."

"Tunggu, tunggu—"

"Ambillah ini," Sri Dewi menyerahkan obor di tangannya. "Saya tidak ingin memberatkan Sri Raja lebih jauh lagi."

Airlangga ternganga. Rupanya Sri Dewi sudah mengetahui niatannya. Ia malah jadi ragu. Tapi tangannya tetap meraih obor tersebut. Ia mengamati kobaran apinya beberapa saat.

"Sri Dewi," ujarnya. "Aku… juga mau minta maaf… Semua yang kukatakan waktu itu adalah kebohongan. Menjadi pertapa, meninggalkan keduniawian, itu cuma alasan. Aku juga ingin jadi raja… tapi aku takut. Aku memilih sembunyi.

"Tapi kau berbeda. Kau tidak pernah sembunyi. Kau perempuan, tapi nyalimu jauh lebih besar dari semua laki-laki di desamu. Kau hampir membuat jantungku copot waktu tiba-tiba menantang laskar hitam-hitam itu."

Sri Dewi tak bisa menyembunyikan senyumnya yang tersipu. "Cuma itu yang bisa saya lakukan."

"Ah… ya… aku kagum."

Sri Dewi mengangguk. "Saya juga percaya, suatu saat Sri Raja bisa menjadi raja yang sejati. Saya tak pernah lupa waktu Sri Raja menolong saya saat dikeroyok begundal Aji Wurawi. Tapi kalaupun akhirnya Sri Raja memilih jalan lain, saya tetap menghormatinya.

"Kalau begitu saya undur diri. Saya doakan keselamatan untuk perjalanan Sri Raja."

Sri Dewi merunduk memberi salam, lalu kembali menuju desanya. Gadis itu memberi Airlangga pilihan sulit.

***

"Ada yang melihat Sri Raja???" Naratoma sibuk berkeliling desa. Namun, tak seorang pun yang melihat Airlangga. "Sri Raja? Sri Raja? Di manakah engkau?" ia berteriak di balai desa, berharap angin membawa suaranya.

"Apa mungkin Sri Raja diculik anak buah Raja Hasin?" tanya Pandita Terep.

"Tidak mungkin! Tidak dengan saya yang menjaganya semalaman!"

"Atau Sri Raja moksa?"

"Tidak! Tidak! Mustahil!!!" Narotama menatap Sri Dewi yang juga berada di balai desa. "Apa kau tahu sesuatu?"

Gadis itu menggeleng. Ia sudah menetapkan hati untuk membiarkan Airlangga. Ia tak mau memaksa-maksanya lagi.

"Tiga tahun saya menjaganya, dan Sri Raja tak pernah hilanh mendadak," Naratoma memijat keningnya. "Bahkan buang air pun Sri Raja selalu minta diantar… Tapi saya yakin, Sri Raja pasti kembali. Pasti!"

Pria itu berputar-putar sambil menggumam sendiri.

"Romo, ada apa dengannya?" tanya Tumanggala. "Pria itu biasanya selalu tenang."

Pandita Terep menerawang sembari mengelus dagu. "Seumur hidupnya yang ia tahu adalah mengabdi. Baginya kehilangan sosok untuk dilayani sama seperti kehilangan tujuan hidup. Saat ini jiwanya sedang terguncang."

Seorang pemuda berlari ke arah balai desa. "Pandita! Pandita!"

Narotama mengejarnya, lalu mencengkram kedua bahunya. "Apa? Sri Raja sudah ketemu?"

Pemuda itu menggeleng. "Raja Hasin! Raja Hasin datang!"

Ekspresi semua orang di balai desa berubah tegang. Badai itu akhirnya datang. Dan raja mereka sudah menghilang duluan.

"Habislah kita…" Seorang warga jatuh bertekuk lutut.

Menyaksikan kelesuan tersebut, Narotama tak bisa tinggal diam. Ia mengesampingkan kekhawatirannya sendiri, lalu menarik napas dalam-dalam. "Jangan panik," katanya. "Ayo kita hadapi."

Narotama memimpin penduduk desa mengangkat bambu runcing. Ia memimpin mereka menuju jalan masuk desa, di mana seratus Laskar Hitam sudah berkumpul bersama pemimpinnya yang sangar.

"Raja Hasin!!!" teriak Narotama.

Orang itu maju ke depan. Pria berbadan besar yang tingginya nyaris dua meter. Otot-ototnya terlihat keras. Ia memiliki kantung hitam di sekitar matanya yang kemerahan. Ia memanggul sebuah bogem yang terbuat dari batu, siap meluluhlantak.

"Kau? Airlangga?" geramnya. Seorang anak buah datang dan berbisik kepadanya. Hasin pun mengangguk-angguk. "Oh, bukan ya? Di mana Airlangga?"

Naratoma bersedekap, "Belum datang!"

"Bagaimana bisa?!"

"Sri Raja sedang bersemedi mengumpulkan kekuatan jiwa, agar bisa menghajarmu dengan satu pukulan!"

"Oh ya?" Hasin memainkan bogemnya. "Jangan membual!"

"Aku serius, lihat saja nanti."

Tiba-tiba hasin tertawa kencang, diikuti oleh anak-anak buahnya.

"Menghajarku dengan satu pukulan, ya? Baik, ini menarik. Akan kutunggu!"

Namun, matahari semakin tinggi dan belum ada tanda-tanda kemunculan batang hidung Airlangga. Hasin mulai gerah kepanasan. Anak-anak buahnya harus mengipasinya menggunakan daun kelapa agar ia tak mengamuk.

"Di mana rajamu, aku bosan!" serunya seraya menghentakkan bogem ke bumi.

Narotama menelan ludah. Semua orang mulai curiga Airlangga tidak akan pernah datang. Jadi Narotama maju ke depan, "Baik, aku akan menghiburmu sembari menunggu Sri Raja tiba."

Hasin menyimak.

"Hei Hasin, apa dulu ibumu pernah memelihara anak sapi?"

"Ibuku? Apa maksudmu?"

"Jawab saja dulu."

"Tidak pernah."

"Hahaha, tentu saja! Sebab kalau ibumu memelihara sapi, nanti dia akan tertukar malah menyusui si anak sapi, sebab mukamu mirip sapi!"

Penduduk desa pun tertawa—meski tak berani keras-keras— mendengar lelucon Narotama. Di sisi lain, anggota Laskar Hitam sangat marah. Apalagi Hasin. Tapi sang raja antah berantah mengangkat satu tangannya untuk mencegah anak buahnya maju. Ia sendiri yang menerima tantangan Narotama.

"Hei…" Hasin menunjuk, lalu seorang anak buahnya mendekat untuk membisiki nama lawannya. "Hei Narotama! Pantas saja nama rajamu adalah Airlangga!"

"Memangnya kenapa?"

"Karena rajamu itu seperti air, nyalinya encer! Sudah siang begini masih belum muncul, apa dia sudah kabur?"

Giliran anggota Laskar Hitam yang terbahak-bahak. Wajah Narotama jadi pucat pasi.

"Woi, jangan bawa-bawa Sri Raja sebagai materi lawak!"

"Memang ada aturannya? Ternyata bokongmu tipis ya. Kalau begitu saja tersinggung, tidak usah coba-coba menantang lawak!"

Suasana semakin panas. Narotama berpikir keras untuk melontarkan hinaan yang lebih menyakitkan. Lalu ia melihat Hasin terbelalak.

"Kenapa? Aku belum bilang apa-apa."

Hasin tak menanggapi. Narotama pun sadar bahwa tatapan orang itu bukan mengarah padanya, melainkan sesuatu yang ada di belakangnya. Narotama menoleh.

Tampak Airlangga berjalan membelah kerumunan penduduk desa. Pemuda itu berjalan dengan tegap dan mantap, memancarkan aura dominasi yang membuat orang-orang menyingkir dengan patuh. Tatapannya lurus ke arah Hasin, tak goyah barang sedikit pun. Ia berhenti di samping Narotama.

"Sri Raja…"

"Maaf membuat Mpu khawatir," kata Airlangga. "Saya harus mengumpulkan kesaktian untuk pertarungan ini."

"Jadi yang ditunggu-tunggu sudah hadir!" seru Hasin sambil membunyikan buku-buku jarinya. "Dia bilang kau bisa mengalahkanku dengan sekali pukul?"

Narotama agak khawatir. Namun, Airlangga menjawabnya dengan tegas. "Ya! Aku Sri Raja Airlangga, pewaris tahta Medang yang sah! Aku akan mengalahkanmu dengan sekali pukul, dan kau akan bertekuk lutut padaku, wahai Hasin sang raja dari antah berantah!"

"Boleh! Tapi kalau kau kalah, serahkan getih anget wangsa Isyana!" Hasin menunjuk menggunakan bogemnya. "Dengan begitu aku bukan lagi Raja Hasin dari antah berantah, tapi Raja Hasin penguasa Medang!

Airlangga menarik napas dalam-dalam. "Setuju," katanya mendeklarasi. "Semua yang hadir di sini adalah saksinya. Orang yang tak memegang ucapannya akan dikutuk dewata!" Airlangga mengacungkan telunjuknya ke langit.

Kata-kata seorang raja adalah bertuah. Jika raja sudah melontarkan titah, maka musuh pun akan gentar dibuatnya.

Narotama hampir menangis menyaksikan itu. Setelah tiga tahun penantian, akhirnya di hadapannya berdiri sosok raja yang ia tunggu-tunggu. Pria itu bertekuk lutut pada Airlangga, diikuti oleh seluruh penduduk desa.

Airlangga pun melangkah maju.

Sial!

Hasin menjawabnya.

Siaaal!

Airlangga membuka-menutup kepalan tangannya.

Siaaaaalll!

Airlangga sendiri tidak paham kenapa ia melakukan ini. Semalam ia merenung di tepi sungai sampai ketiduran, lalu tiba-tiba hari sudah pagi. Ia masih bingung, jadi memutuskan untuk kembali ke desa. Entah kenapa orang-orang berkumpul di pintu masuk desa. Jadi ia mendekat untuk mencari tahu. Kemudian seorang anak memanggilnya, mengatakan bahwa Raja Hasin sudah datang.

Airlangga cepat-cepat berbalik arah, tapi lebih banyak penduduk mulai menyadari kehadirannya. Mereka memanggil-manggil Airlangga penuh harap. Jadi rasanya sudah terlambat kalau ia kabur sekarang. Seumur hidup ia akan dipanggil si raja pengecut.

Akhirnya Airlangga tak berpikir lagi. Ia maju sambil berimprovisasi. Ia sendiri kaget kenapa bisa berbicara ngawur seperti barusan. Padahal biasanya ia gelagapan.

Tapi… mungkin tatapan Sri Dewi yang penuh harap itu yang membuatnya semakin tak bisa mundur. Saat Sri Dewi sendiri kaget melihat kedatangannya, dan ia melihat secercah harap di mata jernih gadis tersebut. Ia merasa harus turun ke medan laga untuk melindungi senyum Sri Dewi.

"Sri Raja tidak pakai senjata?" tanya Hasin.

"…tidak."

"Boleh saya pakai bogem?"

Airlangga memperhatikan senjata yang menakutkan itu. Keringatnya bercucuran.

"Tapi kalau aku pakai ini nanti kemenangannya dianggap tidak adil."

Hasin melempar senjatanya, dan bogem itu terlontar belasan meter sebelum akhirnya menghantam tanah disertai debuman keras.

Seberat apa benda itu?!

Airlangga harusnya bersyukur Hasin tidak pakai senjata. Namun, otot tangannya tetap mengancam. Otot tangan yang bisa melempar bogem raksasa semudah melempar kayu kering. Kalau sampai kena tinju tangan itu, ia akan menjadi bubur.

Airlangga memasang kuda-kuda bertarung. Ia memusatkan pikiran.

Semoga kali ini Narotama tidak diam saja ketika aku dipukuli.

Hasin senyum-senyum mengamati Airlangga. Kemenangan yang mudah, mungkin itu yang sedang dipikirkannya saat melihat postur Airlangga yang tampak lemah. Kemudian ia merundukkan badan, menekuk kedua lututnya dalam-dalam. Detik berikutnya, ia bertolak keras, menerjang Airlangga seperti banteng yang menyeruduk.

Pertarungan dimulai.

avataravatar
Next chapter