4 Bab 4

Airlangga dan rombongan tiba di kaki gunung saat malam menjelang. Sang raja lelah bukan main sampai lututnya terasa mau copot. Begitu Narotama menemukan tempat yang bagus untuk bermalam, pemuda itu langsung berbaring di tanah.

"Sri Raja, tolong tunggu sebentar! Saya akan menyiapkan tempat tidur!" Narotama cepat-cepat menyiapkan tikar dan selimut agar sang raja bisa tidur secara terhormat.

"Terima kasih, Mpu." Airlangga pindah ke tempat tidur yang disediakan. "Ah, enaknya…"

Lalu ia melihat Sri Dewi yang sedang menyingkirkan batu-batu, lalu rebahan di tanah.

"Hei, Mpu," ucap Airlangga. "Tikarnya cuma satu?"

"Iya, itu yang saya bawa dari pondokan Sri Raja."

Airlangga jadi tidak enak hati. Bagaimana bisa ia membiarkan seorang gadis tidur di tanah yang dingin sementara dirinya yang laki-laki beralaskan tikar dan selimut?

"Sri… Sri Dewi… kau tidur di sini saja," ucapnya seraya bangkit.

Gadis itu cepat-cepat bersimpuh. "Terima kasih, Sri Raja. Tapi saya sudah terbiasa tidur di tempat terbuka."

"Sri Dewi benar," sambung Narotama. "Sudah sepantasnya raja berada di tempat yang agung."

Airlangga berdecak. "Inilah masalahnya. Kalian selalu mengagungkan seorang raja, tapi tidak suka ketika ditindas. Padahal orang yang diagung-agungkan akan memiliki kecenderungan menindas bawahannya."

"Tapi Sri Raja tidak demikian, maka itulah menurut saya Sri Raja merupakan raja yang sejati," kata Sri Dewi.

"Kau benar!" Narotama menjentikkan kedua jarinya lalu menunjuk Sri Dewi. "Sekarang sebaiknya Sri Raja tidur, besok pagi-pagi sekali kita akan berlatih silat."

"Ah…"

Airlangga ingin menolak, tapi ia sadar butuh keahlian bela diri kalau mau bisa selamat dari kejaran anak buah Aji Wurawi. Pemuda itu pun memejamkan mata dengan berat hati.

***

Fajar menyingsing. Airlangga dan Sri Dewi berbaris di depan Narotama.

"Sri Dewi, saya lihat kamu ini sangat getap. Jadi saya juga akan melatihmu dengan harapan kamu bisa ikut melindungi Sri Raja."

"Terima kasih atas kemurahan hatinya. Saya sangat senang bisa berlatih langsung dari Mpu Narotama."

Airlangga menunggu sampai basa-basi itu selesai, lalu menjalani latihan. Ia memang tidak banyak bicara, terutama dengan Sri Dewi. Ia masih sering was-was. Pengasingan selama tiga tahun membuatnya tak punya bahan obrolan yang menarik.

Narotama memberi instruksi untuk pemanasan, dilanjutkan dengan latihan fisik. Baru sebentar saja, napas Airlangga sudah bengek. Pemuda itu membungkuk sambil bertumpu pada kedua lututnya.

"Sri Raja, kita bahkan belum mulai latihan jurus…"

"Iya, tapi saya mau istirahat dulu sebentar …"

Narotama pun mengabulkan keinginan rajanya. Ia sudah hafal dengan tingkah polah sang majikan. Kalau tidak sabar, ia sudah meninggalkan Airlangga sejak tiga tahun yang lalu.

Hari demi hari berlalu. Mereka semakin mendekati desa tempat tinggal Sri Dewi. Seperti biasa, Narotama melatih Airlangga dan Sri Dewi sebelum memulai perjalanan. Tapi kali ini ada menu latihan yang sedikit tidak biasa.

"Saya sudah mengajarkan beberapa jurus. Tapi jurus itu tak ada gunanya kalau cuma teori. Sri Raja butuh praktek. Karena itu, saya ingin Sri Raja dan Sri Dewi berlatih tanding."

"Serius?" sontak Airlangga menyunggingkan senyum.

"Serius," jawab Narotama.

"Apa saya tidak berlatih dengan Mpu saja?"

"Kalian bisa dibilang murid seperguruan dari padepokan Mpo Narotama. Sudah wajar kalau berlatih tanding satu sama lain. Kalau ilmu Sri Raja sudah tinggi, barulah berlatih tanding dengan saya."

"Bukan itu masalahnya," kata Airlangga. "Sri Dewi itu kan perempuan."

"Jadi?"

"Jadi… emm…"

"Apa Sri Raja menganggap perempuan itu lemah?" sela Sri Dewi tiba-tiba.

"Bukan! Bukan begitu maksudku!"

"Lalu kenapa menolak berlatih tanding dengan saya?!"

"Masalahnya lain—"

"Masalahnya apa, Sri Raja?!"

Airlangga bingung. Dipandangi Sri Dewi saja sering membuatnya salah tingkah. Bagaimana kalau mereka harus berhadapan? Tapi memang benar, ia juga takut melukai gadis tersebut.

"Baik, baik, ayo latih tanding," Airlangga pasrah.

Sang raja dan Sri Dewi berhadap-hadapan, saling memberi hormat, lalu memasang kuda-kuda. Tatapan Sri Dewi benar-benar tajam, seperti harimau yang hendak menerkam mangsa. Airlangga jadi takut. Namun, gadis itu tak menyerang duluan. Kalau keadaan seperti ini, bisa-bisa mereka cuma akan saling diam sampai siang. Maka Airlangga pun melancarkan tinju.

Pemuda itu tak tahu apa yang terjadi sekejap kemudian. Pandangannya berputar, dan tahu-tahu ia sudah menghantam tanah. Gerakan Sri Dewi cepat sekali.

Tak cukup dengan itu, Sri Dewi memutar lengan Airlangga untuk menguncinya.

"Aaaaaaa aku menyerah! Menyerah!"

"Serangan Sri Raja sangat ragu-ragu."

"Iya, aku tahu, aku menyerah!"

"Kalau seperti ini, Sri Raja tidak akan bisa mengalahkan saya."

"Iya, iya, berikutnya aku akan lebih serius!"

"Jadi tadi Sri Raja tidak serius?"

Tidak perdebatan ini lagi. Airlangga menatap Narotama sebagai kode. Pria itu pun melerai mereka.

"Baik, saya rasa cukup sampai di sini dulu. Hati-hati Sri Dewi, kau tidak boleh melukai Sri Raja. Kalau kau melakukan ini terhadap raja lain, kau bisa dihukum berat."

Sri Dewi tersadar, lalu cepat-cepat membantu Airlangga berdiri. Ia minta maaf lalu pamit pergi mencari air.

"Aduh…" Airlangga memutar-mutar bahunya yang seperti mau copot. "Mpu, maksud perkataan Mpu tadi apa? Membandingkan saya dan raja lain. Apa maksud Mpu saya ini raja yang lemah?"

"Bukan, maksud saya Sri Raja adalah raja yang baik sehingga tidak gampang menghukum orang."

"…"

Setelah kejadian itu Sri Dewi jadi tidak banyak bicara. Ia mengantar Airlangga hingga sampai di desanya dalam diam.

Tempat itu adalah pemukiman kecil yang sebagian besar penduduknya memanfaatkan tanah subuh kaki pegunungan untuk bertani. Orang-orang baru pulang dari sawah dan ladang saat melihat rombongan Airlangga.

"Sri Dewi! Kamu sudah pulang, Ndo!" seru seorang penduduk desa.

"Ya, Bibi," jawab gadis itu.

"Saya sampai khawatir karena kamu pergi sendirian. Eh, pulang-pulang malah bawa pemuda gagah. Siapa ini, Ndo?"

Airlangga sudah bercukur. Tinggal perutnya yang masih sedikit buncit. Tapi ia yakin bisa mengecilkannya kalau terus berjalan sampai beberapa hari ke depan.

"Beliau adalah Sri Raja Airlangga, Bibi. Kabar burung itu benar, Sri Raja sedang bertapa di Gunung Penanggungan," jawab Sri Dewi.

Seketika sang ibu paruh baya terbelalak lalu bersimpuh di bawah kaki Narotama. Narotama sendiri sampai kaget.

"Bibi, Bibi salah, beliau adalah abdi dalem Sri Raja!"

Ibu itu terbelalak keheranan, lalu memandang Airlangga. Ia cepat-cepat bergeser meski masih dalam posisi bersimpuh. "Maafkan kelancangan saya, saya tidak tahu."

Sakit sekali hati Airlangga. Tapi ia menerima fakta bahwa ia memang kalah tampan dari pembantunya.

***

Seluruh desa menjadi heboh. Orang-orang berkumpul di balai desa, di mana sang kepala desa—Pandita Terep—menerima tamu yang dibawa putrinya. Pria tua itu didampingi seorang anak remaja—adiknya Sri Dewi.

"Salam," Narotama menangkupkan kedua tangannya diikuti Airlangga. Pandita Terep dan Mapanji Tumanggala membalasnya.

"Romo, saya berhasil menemukan Sri Raja Airlangga," ucap Sri Dewi memulai. "Saat saya ke sana, Sri Raja sedang bertapa mengumpulkan kesaktian. Sekarang Sri Raja sudah turun gunung demi rakyat Medang. Kita tak perlu lagi takut pada Hasin sang raja dari antah berantah."

Hasin? Siapa? Airlangga kaget mendengar nama yang belum pernah ia dengar tersebut.

Pandita Terep mengamati Airlangga lamat-lamat. Pemuda itu jadi salah tingkah. Ia tak tahan bertatap mata dengan Pandita Terep lama-lama, lalu membuang pandangan ke langit-langit, lalu ke lantai. Ia juga mulai mengusap-usap tangannya.

"Yang tegap!" bisik Narotama seraya menepuk lututnya.

Airlangga refleks memperbaiki posisi duduknya.

"Ukiran itu… Getih anget Asto Broto," ujar Pandita Terep sembari mengelus-elus janggut panjangnya yang terlihat bijaksana. "Tidak salah lagi. Saya pernah melihatnya pada lengan Sri Maharaja Darmawangsa."

Seketika warga desa yang berkumpul terlihat tegang, kala tersadar sedang menatap seorang raja agung yang biasanya cuma mereka dengar melalui cerita-cerita.

"Benar sekali, Pandita," kata Narotama. "Sri Dewi sendiri sudah menyaksikan kesaktian Asto Broto saat pertarungan di Gunung Penanggungan. Aji Wurawi mengirim ajudan-ajudannya yang berbahaya dan melukai para pertapa. Sri Raja menghajar mereka semua sendirian."

Airlangga memelototi Narotama. Ceritanya terlalu dilebih-lebihkan.

"Bohong!"

Tiba-tiba ada yang menyela. Airlangga menoleh ke arah suara tersebut. Tampak pemuda berpenampilan gagah berjalan mendekati balai desa. Orang-orang segera menyingkir memberinya jalan.

"Ini cuma akal-akalan Sri Dewi, Romo. Dia ingin menunjukkan kalau ia berhasil, padahal tidak," ucap orang itu seenaknya.

"Mapanji Tunggadewa!" seru Pandita Terep. "Sikapmu kurang ajar di hadapan tamu!"

"Tapi tamunya 'kan bohongan!" balas Tunggadewa. "Sri Raja Airlangga menghilang tiga tahun yang lalu. Belum lama adikku Sri Dewi yang manis ini mencarinya, tiba-tiba sudah pulang lagi bersama Sri Raja? Kenapa tidak ketemu dari dulu, padahal sudah banyak mencari? Padahal Gunung Penanggungan itu dekat sekali dari sini. Yang benar saja, selama ini Sri Raja ada di sana, dan tak ada yang tahu?!"

Karena aku sedang sembunyi! Kalau diketahui, berarti bukan sembunyi namanya! kata Airlangga dalam hati. Tapi sejujurnya ia menganggap kata-kata Tunggadewa masuk akal. Tidak ada bukti bahwa ia adalah Arilangga. Semua orang bisa membuat ukiran palsu di tubuhnya.

"Saya lihat sendiri, orang suruhan Aji Wurawi datang untuk memburunya!" kata Sri Dewi lantang. "Untuk apa beliau diburu jika bukan Sri Raja? Beliau juga menyelamatkan saya dari utusan Aji Wurawi!"

Tunggadewa menghela napas, lalu tertawa cekikikan memperlihat barisan giginya yang seputih susu. Ia menggeleng-gelengkan kepala.

"Sri Dewi, Sri Dewi, makanya, siapa suruh blusukan ke gunung? Kalau ada orang jahat siapa yang mau menolong? Sadar Jeng, kamu itu perempuan. Tugasmu di dapur. Pakai sok mau mencari raja yang hilang. Biar apa? Biar dapat pengakuan dari Romo? Biar diakui penduduk desa? Jangan-jangan kamu erpikir mau merebut jabatan calon kepala desa dariku? Tidak bisa, Sri Dewi."

"Bukan begitu, Kang Mas. Saya tidak ada maksud apa-apa."

"Terus ngapain? Mau menyelamatkan Medang? Jangan muluk-muluk."

Sri Dewi yang waktu itu bertarung dengan ganas, kali ini tampak pucat pasi. Tapi Airlangga paham, bagaimana rasanya dihakimi di depan umum, di bawah pengawasan puluhan pasang mata. Meski tubuhnya tidak apa-apa, hatinya yang tercabik-cabik.

Airlangga menarik napas dalam-dalam. Ia pernah mengalahkan begundal yang dikirim untuk membunuhnya, jadi putra seorang kepala desa harusnya bukan masalah berarti..

"Ah… anu…" Airlangga mengangkat tangannya.

"Ya?"

"Mas Tunggadewa, bukti seperti apa yang Mas inginkan?"

Narotama lekas menepuk lutut Airlangga. Ia mengarahkan mulutnya ke telinga Airlangga untuk berbisik, tapi suaranya keras dan terdengar jelas.

"Seorang raja tidak perlu bicara sopan-sopan pada orang kurang ajar macam itu!"

"Tapi Mpu—"

"Tidak apa-apa."

"Baik… Hei, Tunggadewa! Kau mau bukti apa?"

"Halah semprul!" Tunggadewa mendengus. "Begini saja, katanya kau bisa mengalahkan ajudan-ajudan Aji Wurawi sendirian. Aku ingin menjajal kemampuanmu. Kalau kau cuma bersandiwara, pasti ilmumu tidak seberapa."

Airlangga mengingat dirinya yang dikalahkan Sri Dewi. Kalau Tunggadewa lebih hebat dari gadis itu, maka ia pasti tidak bisa mengalahkannya.

"Jangan takut, Sri Raja," bisik Narotama lagi dengan suara keras. "Sri Raja tidak usah takut pada laki-laki yang merendahkan perempuan hanya karena takut tersaingi oleh perempuan. Itu artinya kemampuannya tidak seberapa."

Seketika orang-orang yang menonton di sekitar cekikikan tertahan. Mereka senyum-senyum sendiri melihat wajah sang putra kepala desa yang merah padam.

"Heh, aku dengar omonganmu!" hardik Tunggadewa. "Tidak usah banyak bicara lagi, kau berani tidak?!"

"Baiklah." Airlangga bangun, lalu menepuk-nepuk debu di celananya. "Ayo kita selesaikan sekarang, Mas—maksudku, Tunggadewa!"

"Kalau kalah ganti saja namamu jadi Tunggadewi!" timpal Narotama.

"Hahahaha!"

Api sudah disulut. Tidak ada kata mundur.

avataravatar
Next chapter