3 Bab 3

Ki Jago melepas Sri Dewi, lalu mengeluarkan sebilah belati. Airlangga jadi gentar dibuatnya. Tapi karena ia sudah terlanjur muncul, sepertinya lari pun percuma. Begundal-begundal itu akan mengejarnya.

"Ki—kisanak mau apa?" suara Airlangga bergetar.

"Aku dikirim Sri Raja Aji Wurawi untuk membunuh Anda."

Bunuh!

Airlangga segera membayangkan mayatnya yang terbujur tanpa nyawa. Juga wajah orang-orang yang tertawa setelah mendengar berita kematiannya. Pemuda itu hampir menangis. Namun, ia tidak mau dirinya yang ketakutan ini terlihat jelas oleh musuh. Ia segera mengikuti petunjuk Narotama untuk menarik napas dalam-dalam di saat panik menyerang.

"Sri Raja Aji Wurawi juga berpesan untuk menghabisi siapapun yang menghalangi, karena itu berarti melawan perintah raja," lanjut Ki Jago. "Artinya pertapa-pertapa dan perempuan ini akan menjadi yang berikutnya setelah Anda!"

Airlangga menatap para pertapa yang tak berdaya. Tragedi Mahapralaya akan terulang. Darah akan mewarnai hijaunya rerumputan. Gunung ini akan berubah jadi tanah pemakaman. Dan semua karena dirinya.

"Kalau Anda sudah siap—"

Airlangga menerjang duluan. Ia berlari ke arah Ki Jago. Begundal itu lekas mengangkat belatinya untuk dihunuskan.

Airlangga tak peduli lagi. Kalau harus mati, mungkin sekaranglah saat yang tepat. Jika ia mati saat melindungi rakyat, paling tidak jasanya akan dikenang. Lagipula, ia masih memiliki satu jurus rahasia. Getih anget wangsa Isyana.

Pemuda itu berkonsentrasi, memusatkan aliran energi dalam dirinya menuju ukiran sansekerta di lengan kanannya. Selama tiga tahun ini ia terus bertapa, yang secara tidak langsung membuatnya terlatih menggunakan ajian tersebut.

Tiba-tiba tubuhnya terasa hangat dan ringan. Di sisi lain, gerakan Ki Jago tampak melambat. Inilah kesaktian Asto Broto, getih anget warisan Mpu Sindok. Kekuatannya yang melebihi semesta menciptakan pergolakan relativitas waktu. Waktu akan berjalan lebih lambat bagi penggunanya, di saat yang sama berjalan lebih cepat bagi orang lain.

Airlangga menghindari belati Ki Jago, lalu menyiapkan tinjunya. Ia menghantam dada pria itu sekuat tenaga, berkali-kali, melepas kemarahan yang selama ini tertahan.

Saat pengaruh Asto Broto usai dan waktu berjalan kembali normal, Ki Jago terhempas mundur beberapa langkah. Ia terbelalak setelah menerima serangan barusan. Ia kaget menyaksikan bagaimana Airlangga mendadak bergerak sangat cepat, meski kuda-kuda pemuda itu berantakan.

"Inikah hasil pertapaan selama tiga tahun?" ujar Ki Jago. "Anda benar-benar siap untuk membalas dendam kepada Aji Wurawi?"

"Eh—bukan begitu—"

Ki Jago hendak maju lagi, tapi tiba-tiba meringis kesakitan. Ia memegangi dadanya yang bekas ditinju Airlangga.

"Sial… uhuk-uhuk!" Wajah Ki Jago pucat pasi, tampak kewalahan. "Sial! Culeng! Kemplo! Kita mundur! Sri Raja Airlangga terlalu kuat bagi kita!"

"Si—siap!"

Ketiganya langsung mengambil langkah seribu menuruni gunung. Agak membingungkan, tapi membuat Airlangga lega. Pemuda itu langsung ambruk di atas kedua lututnya. Menyalakan Asto Broto saat bertapa itu mudah, tapi bergerak dalam pergolakan waktu menyebabkan fisiknya harus menerima beban yang sangat berat.

Sri Dewi yang ikatannya dilepas oleh seorang pertapa segera mendekat, lalu bersimpuh di hadapannya.

"Apa Sri Raja baik-baik saja?" Gadis itu terlihat khawatir.

"Iya, saya baik."

Lalu Sri Dewi bersujud kepadanya, "Terima kasih telah melindungi saya, Sri Raja Airlangga!"

Kemudian para pertapa melakukan hal yang sama, bersujud kepadanya.

"Eh—tung—tidak usa—"

Suara Airlangga lekas tenggelam oleh seruan para pertapa.

"Terima kasih telah melindungi kami, Sri Raja Airlangga!"

Dan seperti ada yang terpelatuk dalam dada Airlangga. Seolah ada lilin kecil yang dinyalakan, yang menghangatkannya, sekaligus membuatnya merinding. Tapi bukan merinding ketakutan. Justru, ia merasa senang. Orang-orang itu menerimanya bukan sekedar karena ia adalah putra raja, tapi karena ia telah melindungi nyawa mereka.

Pemuda itu kehabisan kata-kata. Ia tak tahu harus berbuat apa, sementara mereka tidak berhenti bersujud. Beruntung Narotama datang membawa baki makanan, sehingga Airlangga bisa meminta nasihat. Narotama sendiri kaget bukan main menyaksikan situasi tersebut.

***

Narotama mengajak Airlangga dan para pertapa duduk melingkar. Para pertapa menceritakan bagaimana para begundal datang, dan bagaimana Airlangga hadir menyelamatkan mereka. Sang raja kerap tersipu malu saat para pertapa tersenyum memuji dirinya.

"Jadi Aji Wurawi sudah menemukan pertapaan kita. Berarti sekarang tempat ini tidak aman bagi Sri Raja. Juga tidak aman bagi para pertapa," Narotama menyimpulkan. "Saya rasa sudah saatnya Sri Raja pergi."

"Mencari persembun—pertapaan lain?" tanya Airlangga.

"Jujur saja, Sri Raja. Kita tidak bisa selamanya sembunyi," jawab Narotama. "Kadang persembunyian terbaik adalah dengan menaklukkan seluruh Jawa. Maka tanah ini akan menjadi tempat yang aman bagi Sri Raja."

"Eit, eit, eit, apa maksud Mpu ini?!"

"Bukan cuma untuk Sri Raja, tapi demi rakyat!" timpal Sri Dewi memohon. "Hanya melalui pemerintahan yang adil dari Sri Raja, rakyat bisa hidup makmur!"

"Saya tidak adil…"

"Tapi Sri Raja tetap menolong kami meski Sri Raja ketakutan! Itu adalah bukti bahwa—" Sri Dewi menutup mulutnya dengan tangan saat sadar sudah salah berucap.

Airlangga langsung merasa bodoh karena ternyata tadi semua orang bisa melihat wajahnya yang hampir menangis. Ia ingin menggali lubang, masuk ke dalamnya, dan tak pernah keluar lagi.

"Meski takut, tapi tetap melawan kebatilan, itulah makna keberanian yang sejati, Sri Raja," hibur Narotama. "Sri Raja lihat bagaimana begundal-begundal Aji Wurawi memperlakukan pertapa. Bayangkan berapa banyak rakyat yang menderita karena ulah mereka. Sudah saatnya kebatilan ini dihentikan. Lagipula ternyata Sri Raja sudah berhasil menguasai Asto Broto. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"

Airlangga mengerutkan kening. Ia berpikir keras. Puluhan pasang mata terus memandanginya, membuatnya makin pusing. Ia ingin segera keluar dari situasi ini secepatnya. Jadi ia berkata, "Baiklah."

Tampak kelegaan di wajah Narotama, Sri Dewi, juga para pertapa.

"Kalau begitu saya akan segera mempersiapkan perjalanan," ujar Narotama.

"Sri Raja, Mpu Narotama," ucap Sri Dewi. "Saya bermaksud menawarkan desa saya sebagai titik awal perjalanan. Ayah saya adalah seorang pendeta Siwa. Saya yakin beliau bisa membantu Sri Raja mencari dukungan dari para penganut Siwa."

Narotama mengusap-usap dagunya yang licin, lalu mengangguk, "Setuju."

Keputusan pun ditetapkan. Tidak berlama-lama, mereka berangkat siang itu juga. Sebenarnya Airlangga agak sedih harus meninggalkan hutan pegunungan yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama tiga tahun terakhir. Ada perasaan nostalgia yang begitu melekat di sana. Namun, perjalanannya kali ini demi mengemban tugas mulia. Bukan seperti dulu, ketika ia dikirim ke Medang sebagai tumbal politik untuk menguatkan posisi kekuasaan ayahnya.

"Oh ya, Sri Dewi… bisa panggil aku Airlangga saja?" tanyanya pada satu kesempatan.

"Tidak bisa, itu sangat tidak sopan."

"Uh… baiklah…"

Keduanya berjalan duluan, sementara Narotama bilang akan menyusul. Masih ada urusan yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.

Narotama berkumpul dengan para pertapa. Lalu tiga orang begundal muncul dari balik semak-semak. Narotama menatap ketiga orang itu, kemudian tersenyum lebar.

"Kerja bagus Kisanak!" Narotama mengangkat telapak tangannya. "Sandiwara kalian sukses mendorong Sri Raja turun gunung!"

Culeng dan Kemplo membalas dengan menepuk tangan Narotama. Namun, Ki Jago bersungut-sungut.

"Kerja bagus apanya, badanku sakit semua!" Ki Jago berjalan tergopoh-gopoh. "Siapa perempuan itu? Tinjunya betulan! Sakit sekali! Ini di luar perjanjian! Aku minta bayaran lebih!"

"Aku juga tidak tahu, cuma sempat berpapasan dengannya di jalan. Aku sendiri tidak menyangka dia sedang mencari Sri Raja, dan mampu menghajarmu sampai seperti itu. Pfft—" Narotama tidak tahan, ia terbahak-bahak melihat wajah Ki Jago yang babak belur.

"Padahal aku aku sudah berusaha untuk mendorong saja, tapi dia terus meninju!"

"Ahahaha, Ki Jago dihajar perempuan!"

"Awas ya, jangan sampai cerita itu tersebar! Padahal kalau aku serius, aku bisa mengalahkannya secepat membalik telapak tangan!"

"Iya, iya, rahasiamu aman sampai liang lahat." Narotama menepuk-nepuk bahu Ki Jago untuk menenangkannya.

"Tapi tinjumu juga sakit, anak muda!" seorang pertapa mengelus-elus pipinya.

"Maaf Paman, saya tidak sengaja," Culeng mengatupkan telapak tangan. "Saya kebablasan."

"Saya ini sudah tua."

"Saya tahu, makanya saya minta maaf…"

Seorang anak laki-laki yang sejak tadi terpinggirkan segera maju untuk mengambil giliran bicara.

"Sandiwara saya juga bagus, kan, Mpu? Air mata saya pasti seperti sungguhan, sampai-sampai Sri Raja mau saya tarik!"

"Iya, iya, kamu hebat Ding," Narotama mengelus-elus kepala anak itu seraya tersenyum geli. Karena pada situasi biasa, perbuatan anak itu akan dianggap ketidaksopanan terhadap raja, dan ia bisa diganjar hukuman yang sangat pedih.

"Untungnya tinju Sri Raja tidak sakit-sakit amat," lanjut Ki Jago. "Padahal aku sempat panik waktu beliau tiba-tiba bergerak sangat cepat. Aku biasa diberi tugas untuk bertarung mempertaruhkan nyawa. Masa aku mati saat ditugasi bersandiwara?"

"Ahahaha, tenang saja Ki, aku sudah memperhitungkan. Sri Raja itu selalu malas-malasan kalau disuruh berlatih silat, jadi tinjunya pasti mlempem. Tapi setelah ini Sri Raja akan kugembleng habis-habisan."

"Ya sudah kalau begitu. Sini mana bayarannya. Aku juga minta tambahan untuk biaya ke tabib."

"Santai Ki, sebentar."

Narotama membagi-bagikan uang kepada para begundal. Sementara pertapa tidak butuh uang. Mereka sudah cukup senang karena bisa berkontribusi membangkitkan sang raja yang tertidur, demi keselamatan tanah Jawa.

"Tapi yang kau lakukan ini apa bukan fitnah terhadap Aji Wurawi?" tanya Ki Jago sembari memasukkan uangnya ke kantung.

"Seandainya Aji Wurawi menemukan Sri Raja, ia akan melakukan hal yang sama. Malah mungkin yang dikirim bukan cuma begundal, tapi prajurit-prajurit Sriwijaya. Mereka takut Medang bangkit dan merebut kendali mereka atas jalur perdagangan laut."

"Begitu ya, aku doakan semoga niatmu mendapat restu dari dewata. Dan kalau suatu hari Sri Raja mengetahui sandiwara ini, tolong lindungi kami agar tidak dipenggal."

"Serahkan padaku."

Mereka pun berpisah lalu menempuh jalan masing-masing.

Narotama menyusul Airlangga dan Sri Dewi menggunakan ajian Bayu Senja. Sang raja sedang berjalan canggung di depan, sedangkan Sri Dewi mengikuti di belakangnya dengan patuh. Gadis itu kelihatannya sangat tahu tata krama, tapi bisa menjadi harimau yang ganas saat dibutuhkan.

Narotama menyunggingkan senyum. Ia pandai sekali bermuslihat, tapi mungkin keberhasilannya kali ini juga berkat kehadiran gadis itu. Ia semakin yakin, bahwa hari ini memang sudah digariskan. Hari ini adalah langkah awal mengembalikan kejayaan Medang.

avataravatar
Next chapter