28 Bab 28

Dyah Tulodong mengayunkan pedang, memenggal kepala seorang prajurit. Tiba-tiba sebilah tombak menusuk punggungnya dari belakang. Ia meringis kesakitan, lalu mencengkram batang tombak tersebut. Ia mematahkannya kemudian berputar, menebas siapapun yang menusukkan tombak barusan.

Narotama maju memainkan kedua pedang kembar miliknya. Kedua nya bertarung, saling menguji kesaktian. Narotama berhasil membenamkan sayatan demi sayatan berkat ajian Bayu Senja. Sayangnya sayatan di tubuh Dyah Tulodong segera pulih, sementara serangan-serangan wanita itu terbukti fatal. Narotama terpaksa mundur, berganti posisi dengan pendekar yang lain. Saat pendekar itu kewalahan, prajurit berikutnya maju menggantikan. Pertarungan itu seperti tak ada akhirnya.

Tapi jelas, Dyah Tulodong sudah tak memiliki prajurit. Amanusa terakhir—Nayaka—akhirnya tumbang di hadapan bogem Hasin. Semua yang setia pada sang ratu sudah tiada, sementara yang tidak setia melarikan diri entah ke mana.

"Cukup, kau sudah kalah!" seru Sri Dewi.

Pakaian Dyah Tulodong compang-camping, tapi kulitnya sama sekali tak memiliki goresan—hanya bermandikan darah. Ia menatap sengit pada Sri Dewi. Ratusan prajurit Kahuripan membentuk lingkaran di sekelilingnya, mengacungkan tombak-tombak tajam.

"Kau tak lihat? Aku masih sanggup meladeni kalian semua."

Tapi dalam hatinya ia memang mengakui, cepat atau lambat musuhnya akan menemukan metode untuk menghentikannya—seperti yang dilakukan Aji Wurawi. Andai saja orang itu tak menyandera jantungnya, ia pasti sudah melarikan diri sejak tadi. Kalau sudah begini, semua jadi serba salah. Pilihannya cuma disiksa Aji Wurawi atau disiksa Airlangga. Ia mengutuk dalam hati. Inilah horor dari keabadian. Jika Rawarontek bisa membuat tubuhnya abadi, Rawarontek juga yang menyebabkan penderitaannya abadi. Ia yang dulu takut mati, tak pernah menyangka saat ini merinding membayangkan dirinya dikubur hidup-hidup dan harus merasakan kegelapan itu selamanya. Tiba-tiba ia ingin bergabung dengan para prajuritnya yang sudah gugur terlebih dahulu.

Sri Dewi melesat ke arahnya.

Dyah Tulodong pun melesat.

Wanita itu ingin hidup.

Sesuatu yang tak bisa Sri Dewi berikan.

***

Sri Dewi memimpin bala tentara Kahuripan pulang membawa kemenangan. Ia merasa sangat lelah setelah akhirnya berhasil menumbangkan seorang manusia abadi.

Saat rombongan tersebut hampir sampai di ibukota, sesuatu tampak terbang di langit. Awalnya seperti elang, tapi semakin lama semakin besar. Sayapnya terbentang begitu megah, menciptakan bayangan hebat yang menutupi sinar matahari. Semua orang panik, sampai Narotama sadar siapa yang menunggang di atas bahu makhluk perkasa tersebut.

Airlangga telah kembali.

Setelah berputar beberapa kali, ia mendaratkan Garuda di hadapan ribuan prajurit Kahuripan. Para prajurit itu terbelalak, beberapa jatuh terjengkang. Hasin pun takjub dibuatnya, sampai-sampai rahangnya menganga.

Pemuda itu melompat turun, lalu berlari ke arah Sri Dewi, "Apa semua baik-baik saja?"

Ia menggenggam kedua tangan gadis tersebut.

"Iya." Sri Dewi mengangguk.

"Sri Ratu mempertahankan kerajaan ini dengan baik," timpal Narotama. "Kami mengalahkan Dyah Tulodong."

Airlangga mengerutkan keningnya.

"Maaf, saya datang terlambat. Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk semua yang telah berjuang. Mereka yang gugur akan terus dikenang. Saat ini sepuluh ribu tentara Bedahulu sedang mendarat di pesisir Kahuripan. Pertempuran berikutnya akan menjadi pertempuran terakhir yang menyatukan Tanah Jawa selama-lamanya."

Tidak ada satu pun yang meragukan kata-kata Airlangga, terlebih setelah mereka menyaksikan keajaiban—sang raja menunggangi makhluk yang hanya pernah mereka dengar dari mitologi.

***

Setelah persiapan matang, ekspedisi militer dilakukan untuk menyerang Lewa. Mengetahui kedatangan bala tentara Kahuripan, Panuda menggunakan taktik yang sama seperti sebelumnya. Ia mengevakuasi ibukota sambil membawa pergi seluruh harta kekayaan dan pasukannya.

Hasin mengejar mereka sepeti dulu, tapi kali ini ia memiliki keunggulan. Airlangga yang menunggangi Garuda bisa memantau pergerakan Panuda. Ia mempelajari rute yang mereka tempuh, lalu memberi informasi pada bala tentara Bedahulu yang dipimpin Marakata dan Anak Wungsu.

Mereka pun menentukan sebuah titik yang akan dilewati Panuda, kemudian menempatkan pasukan Bedahulu di sana untuk memberi serangan dadakan. Sedangkan prajurit Kahuripan terus mengekor untuk memberi serangan dari belakang.

Pertempuran itu terjadi di sebuah lembah perbukitan. Serangan mendadak Bedahulu membuat pasukan Lewa tak mampu mengantisipasi. Sementara mereka yang berusaha mundur dihadang oleh prajurit Kahuripan yang dipimpin Hasin. Saat melihat Garuda yang terbang di atas kepalanya, Panuda pun menyerah.

***

Berita kekalahan Lewa membuat Aji Wurawi geram tak terkira. Sekarang tinggal ia satu-satunya dari lima raja Tanah Jawa yang tersisa.

"Brengsek!"

Ia memukul lengan kursi singgasananya hingga hancur berantakan. Urat-urat di dahinya timbul, sementara wajahnya merah padam. Susah payah ia merancang persekutuan untuk menumpas Airlangga. Sebentar saja perhatiannya dialihkan, lagi-lagi pemuda itu bangkit. Tanpa Dyah Tulodong dan Panuda, maka tak ada lagi penghalang antara Airlangga dan Lwaram.

Kekesalannya bertambah saat ia mendengar Airlangga dapat bantuan dari Bedahulu. Juga rumor tak masuk akal bahwa pemuda itu menunggangi seekor makhluk mitologi.

Ia bergegas menemui Rudra, sang jendral Sriwijaya yang ditugaskan membantu melawan pemberontakan Airlangga. Selama masih ada dukungan dari Sriwijaya, ia masih punya kesempatan menang.

Perkemahan Sriwijaya terletak di dekat ibukota Lwaram. Siang itu terlihat aktivitas sangat sibuk. Para prajurit tengah merapikan tenda-tenda dan peralatannya. Rudra sedang berdiri mengawasi pekerjaan anak-anak buahnya.

"Jendral!" seru Aji Wurawi tanpa basa-basi. "Ada kabar buruk!"

Rudra menoleh, ekspresi terlipat menghiasi wajahnya, seolah sudah tahu apa yang hendak disampaikan Aji Wurawi.

"Airlangga mengalahkan Dyah Tulodong dan Panuda. Sebentar lagi pasukannya akan datang menggempur Lwaram!"

Namun, Rudra cuma terdiam. Tatapannya nanar.

"Ada apa?" Aji Wurawi mulai merasa tak enak.

Rudra menghela napas berat.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Sri Raja," ucapnya. "Saya baru mendapat kabar dari Palembang. Ibukota sedang diserang oleh Rajendra Chola dari Cholamandala. Kami diperintahkan untuk kembali."

Aji Wurawi bagai disambar petir di siang bolong. Kedua matanya melotot.

Siapa peduli dengan Sriwijaya?

Siapa peduli jika Sriwijaya diserang oleh kerajaan lain?

Tapi ia tak mungkin mengatakannya pada Rudra. Biar bagaimanapun Rudra adalah abdi Sriwijaya yang setia, bukan abdi miliknya.

"Bisakah… anda menyisakan sedikit pasukan untuk melindungi Lwaram?"

Rudra menggeleng.

"Mohon maaf, keadaannya darurat. Semua prajurit Sriwijaya di seluruh mandala wajib untuk membantu pertahanan ibukota."

Aji Wurawi mengeratkan gerahamnya. Otaknya berpikir. Jika ia membunuh Rudra, bisakah ia mengambil alih kepemimpinan seluruh bala tentara Sriwijaya ini?

Mustahil.

Yang akan terjadi malah kekacauan.

Dan ia tak mau Lwaram porak-poranda bahkan sebelum Sriwijaya datang menyerang.

Akhirnya ia cuma bisa pasrah melihat prajurit-prajurit Sriwijaya pulang ke kampung halaman mereka.

Hari-hari setelahnya, Aji Wurawi ditelan oleh kegamangan. Ia mengumpulkan jendral-jendralnya untuk membahas langkah terbaik menangkal musuh mereka. Namun, tak ada strategi yang benar-benar baik. Airlangga sudah menemukan momentumnya. Pemuda itu seperti gajah raksasa yang akan menggilas sekumpulan semut bernama Lwaram.

Bahkan ada seorang jendral yang dengan lancangnya mengusulkan agar mereka menyerah. Tentu saja jendral itu berakhir menjadi potongan daging di mulut buaya.

Aji Wurawi jadi banyak menyendiri.

Meski sulit, ia harus mengakui, bahwa ia merasa takut.

Ia takut pada Airlangga si bocah ingusan.

Kiamat akan datang baginya.

Pria itu banyak menghabiskan waktu mengukir kayu di paviliun kolam pemandian raja. Lalu, seorang pembawa pesan tiba, mengabarkan bala tentara Airlangga sedang bergerak dari utara mendekati Lwaram.

Jika memang harus bertempur hingga titik darah penghabisan, ia akan melakukannya. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus ia perbuat.

Aji Wurawi bangkit.

Ia berjalan keluar dari kompleks kolam, lurus menuju istana. Tapi bukan menemui Singawarman maupun jendral-jendralnya.

Ia memasuki bangunan keputren tempat tinggal Sri Laksmi.

Tanpa tedeng aling-aling, ia mendorong pintunya terbuka.

Seorang dayang sedang menyisiri rambut Sri Laksmi yang begitu panjang dan indah.

"Keluar!" seru Aji Wurawi singkat.

Dayang itu ketakutan, lalu cepat-cepat undur diri. Meninggalkan Sri Laksmi yang terbelalak heran.

"Ada apa, Aji Wurawi?"

Pria itu hanya memelototi setiap jengkal diri Sri Laksmi tanpa suara. Matanya, hidungnya, bibirnya, bahunya, dadanya, jemarinya. Hingga ia mendesis.

"Sudah cukup."

"Apa maksudmu?"

"Kenapa kamu berdandan? Apa kamu sudah tahu Airlangga sedang menuju kemari, dan kamu bersiap menyambutnya?"

"Tidak demikian, saya memang merawat diri setiap hari," jawab Sri Laksmi.

"Bohong!" hardikan Aji Wurawi membuat gadis itu tersentak. "Selama ini saya menunggu… Batu yang kokoh pun akan terkikis jua bila ditetesi air sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Begitu juga dengan hatimu, saya yakin suatu hari akan terbuka untukku."

"Itu tak mudah," Sri Laksmi meletakkan kedua tangan di pangkuannya, saling menggenggam erat. "Biar bagaimanapun kamulah orang yang membunuh Ayahanda."

"Tapi kamu mengerti, kan, kenapa saya melakukannya?"

Sri Laksmi menundukkan wajahnya, menatap lantai, "Tetap saja…"

"Yang jelas," kata Aji Wurawi. "Sekarang saya sudah kehabisan waktu. Airlangga sudah mendekat. Mungkin saya akan terbunuh dalam perang ini, dan selamanya gagal meluluhkan hatimu. Oleh karena itu…"

Tiba-tiba Aji Wurawi menerkam. Ia mendorong Sri Laksmi hingga terbaring di kasur, kemudian mencengkram kedua telapak tangannya. Wajah pemuda itu dipenuhi nafsu dan amarah.

Setidaknya sebelum Airlangga merebut gadis itu dari tangannya, ia bermaksud menodainya terlebih dahulu.

"Aji! Jangan!"

Sri Laksmi mencoba melawan, tapi apalah dayanya menghadapi seorang pendekar dengan ilmu kanuragan yang terlampau tinggi. Akhirnya ia cuma bisa pasrah. Ia memejamkan mata sambil membuang muka.

Namun, ekspresi ketakutan gadis itu mendadak membuat hati Aji Wurawi teriris.

Tidak begini.

Bukan dengan cara seperti ini.

Kewarasannya kembali.

Ia sadar dirinya adalah pendosa, tapi ia telah bersumpah untuk tak pernah menyakiti Sri Laksmi barang sekuku jari pun.

"Maaf…" Akhirnya Aji Wurawi melepas Sri Laksmi. Ia bergerak mundur. "Maaf… mungkin memang inilah nasibku, Aji si anak iblis." Ia memaksakan senyum. "Seharusnya saya tak berpikir macam-macam, dan tetap menjalani peran ini.

"Tapi tenang saja, saya akan menjadi iblis untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu kamu tidak perlu lagi melihat saya selama-lamanya."

Butuh beberapa saat bagi Sri Laksmi memahami apa yang dimaksud Aji Wurawi. Begitu ia sadar, pria itu sudah berbalik pergi. Ia mengulurkan tangan, memanggilnya, tapi suaranya tak sampai. Yang ia lihat hanyalah punggug Aji Wurawi yang menghilang dari pandangan.

avataravatar