26 Bab 26

Angin meniup layar kapal yang ditumpangi Airlangga melintasi Selat Madura, lalu berbelok ke selatan. Mereka mengitari bagian kaki Pulau Bali hingga sampai di kota pelabuhan. Kapal-kapal nelayan baru pulang setelah menjala ikan semalaman, sementara kapal dagang berlabuh untuk menjajakan komoditasnya di pasar Bedahulu.

Sang raja melihat tempat itu tak jauh berbeda dari saat ia tinggalkan. Kalaupun ada yang berubah, mungkin adalah cara pandangnya. Dahulu ia takut bila berada di keramaian, sehingga berjalan di kota pelabuhan seperti ini akan membuat napasnya sesak. Sekarang, ia tidak peduli. Orang-orang di pelabuhan itu cuma sedang bekerja untuk menyambung hidup—mereka bahkan mungkin tidak mengenali Airlangga.

Ia memijakkan kaki di dermaga dengan gagah berani.

"Semua kapal dagang harus mendaftar dulu!" seru seorang pria tua tambun dengan kumis tebal. Sementara di kulit kepalanya cuma tersisa beberapa helai rambut. Di belakangnya ada sekelompok ajudan yang sibuk memayungi atau membawakan kendi air.

Airlangga mengingat orang itu, Sadhu sang Syahbandar pelabuhan.

Seorang saudagar tampak sedang bernegosiasi dengannya. Suaranya pelan, tapi dibalas dengan teriakan oleh sang Syahbandar.

"Terlalu mahal? Kalau kapal Kisanak dirampok di laut, bukannya kerugiannya lebih besar?"

Sang saudagar pun tampak pucat dan tak mampu berkata apa-apa.

Sejak dulu Airlangga memang tidak menyukai Syahbandar tamak tersebut. Ada yang bilang bahwa pria itu memelihara sekelompok perompak untuk menakut-nakuti pada saudagar—atau merampok saudagar yang tak mau membayar uang keamanan.

Kenapa Raja Udayana tak menghentikannya?

Karena mungkin cerita itu cuma karangan. Atau mungkin karena setoran Sadhu memuaskan kantung emas sang raja.

Airlangga memperhatikan sang saudagar akhirnya membayar dengan tidak ikhlas.

Berikutnya ia berjalan hendak turun dari dermaga.

"Tunggu!" hardik Sadhu. "Apa Kisanak juga saudagar?"

Airlangga pun berhenti. Sadhu pasti melihat gelang emas serta kain mahal yang ia kenakan.

"Bukan, Bapak Syahbandar. Saya adalah Airlangga."

"Ha? Jangan bercanda. Katanya Airlangga sudah dipancung Sriwijaya?" ujar Sadhu setengah menyunggingkan senyum.

"Itu tidak benar, Bapak Syahbandar. Coba ingat wajah saya baik-baik. Dan ini rajah getih anget Wangsa Isyana."

Sadhu memicingkan sebelah matanya, memperhatikan Airlangga baik-baik. Kemudian rahangnya menganga lebar.

"Sri—Sri Pangeran?"

"Saya sudah bukan pangeran, sekarang saya adalah Raja Kahuripan."

"Saya—saya pangling! Maaf bukannya lancang, saya cuma tidak mengenali karena sekarang Sri Pangeran—maksud saya Sri Raja—jadi segagah ini! Sri Raja Udayana pasti bangga bila melihat Anda sekarang."

"Heh," Airlangga tertawa kering mendengarkan segala pujian tersebut. Jilatan Sadhu manis sekali. Namun, Airlangga sudah pernah merasakan pengkhianatan sehingga ia belajar untuk tak membiarkan dirinya termakan jilatan semudah itu. Apalagi cuma beberapa saat yang lalu ia ditertawai oleh orang yang sama yang saat ini sedang memuji-mujinya.

"Jadi, atas tujuan apa Sri Raja datang ke Bedahulu?"

"Saya lahir di sini, apa aneh kalau saya pulang kemari?"

"Oh, tentu, sudah sewajarnya," ucap Sadhu buru-buru. "Maksud saya, toh bahkan setelah Mahapralaya pun Sri Raja tak mencari perlidungan ke Bedahulu."

"Kalau saya lakukan itu, mungkin Sri Raja Udayana malah akan menangkap saya untuk diserahkan pada Sriwijaya, kan?"

Sadhu terdiam. Butuh beberapa saat baginya mencerna perkataan Airlangga, lalu memainkan lidahnya yang semanis madu.

"Tentu tidak demikian. Sri Raja Udayana pasti akan melindungi putra mahkotanya."

Airlangga berpikir sejenak, "Kita lihat saja. Apa Bapak Syahbandar bisa membantu perjalanan saya ke ibukota?"

"Tentu, tentu, saya akan menyiapkan kuda terbaik."

Sadhu mencarikan tunggangan, lalu menawarkan diri untuk mengantarkan Airlangga sampai ibukota. Airlangga menolak. Ia tak mau mendengarkan pria itu memuji-muji dirinya sepanjang perjalanan.

Setengah hari kemudian, pemuda itu sampai.

Bedahulu memiliki ibukota yang indah. Di setiap rumah penduduk ada pura kecil dengan arsitektur arca yang khas. Pepohonan rindang sengaja ditanam di sepanjang jalan untuk memberi keteduhan. Belum lagi terdapat bangunan-bangunan peribadatan dari batu yang sangat megah. Salah satunya adalah Goa Garuda.

Sebelum menemui sang ayah, Airlangga menyempatkan diri mengunjungi kompleks kuil itu, yang berada tak terlalu jauh dari istana. Biasanya keluarga kerajaan mengadakan upacara keagamaan di sana. Dan yang membuat tempat itu spesial adalah adanya sebuah goa raksasa pada dinding tebing. Di dalam goa tersebut bersemayam patung batu yang selalu membuat Airlangga kecil bergidik ngeri. Para Brahmana menyebutnya Garuda, makhluk suci wahana Dewa Wisnu. Ia memiliki sepasang mata bulat yang menyeramkan dan paruh yang ditumbuhi barisan gigi tajam. Cengkramannya kokoh seolah mampu meremukkan batu, sedangkan kakinya memiliki cakar yang sanggup mengangkat seekor lembu. Kedua sayapnya terlipat, tapi bila merentang akan bisa menaklukkan angkasa.

Dulu Airlangga kerap berusaha untuk tak melihat tatapan patung tersebut. Ia takut patung itu bergerak, lalu menyambarnya hidup-hidup. Tapi jika ia ingin mengalahkan Sriwijaya, maka ia harus mengalahkan rasa takutnya.

Sang raja berdiri tegap menghadap patung tersebut, lalu meletakkan sesajian. Ia berdoa untuk beberapa saat.

"Wahai Garuda penjaga wangsa Warmadewa, berilah saya perlindungan."

Patung itu menjawabnya dengan kesunyian.

Sekarang Airlangga siap.

Ia memasuki istana Bedahulu, membuat para penjaga dan pejabat istana terkejut. Berbeda dengan orang-orang di pelabuhan, penghuni istana masih mengingat seperti apa rupa pangeran mereka yang pergi bertahun-tahun silam.

Pertemuan segera diadakan di Balai Witana raja. Semua petinggi istana berkumpul. Raja Udayana duduk di dinggasananya, didampingi oleh kedua puteranya—adik-adik Airlangga—Marakata dan Anak Wungsu.

Meski sudah dimakan usia, gurat-gurat tegas di wajah Udayana masih sama seperti dulu. Tidak seperti Airlangga yang banyak mewarisi darah wangsa Isyana, Udayana adalah Warmadewa sejati. Pelipisnya kokoh, dan dagunya memiliki belahan. Sebuah ciri khas yang juga dimiliki oleh Marakata dan Anak Wungsu.

Airlangga bersujud di bawah kaki sang ayah, lalu duduk bersila.

"Saya datang menghadap Ayahanda."

Udayana tampak tak terkesan. Ia cuma memandangi putranya datar, kemudian berkata, "Lama sekali ya. Aku sempat mengira kau sudah mati dibunuh Aji Wurawi."

"Mpu Narotama menyelamatkan nyawa saya."

"Hebat juga dia, aku tidak menyangka ternyata kalian cocok," Udayana menyunggingkan senyum. "Biang kerok dan pangeran yang lemah."

"Buruknya seorang anak, adalah ketidakmampuan orang tua dalam mendidiknya."

Kedua mata Udayana membelalak. Giliran Airlangga yang menyunggingkan selintas senyum. Inilah salah satu ilmu berharga yang diajarkan Narotama padanya—teknik membuat emosi lawan bicara mendidih.

"Benar," jawab Udayana dilanjutkan jeda, sehingga semua orang mengira pria itu sedang mengakui kesalahannya. "Memang benar, kau adalah karya gagal. Itu sebabnya aku mendidik kedua adikmu dengan cara yang berbeda. Dan karya gagal ini, untuk tujuan apa kembali ke Bedahulu?"

Airlangga menelan ludah. Sepertinya ilmunya masih kurang. Ia memutuskan langsung mengutarakan maksud kehadirannya.

"Saya datang bukan sebagai anak yang pulang ke rumah orang tuanya. Saya datang sebagai raja Kahuripan yang membawa penawaran pada raja penguasa Bedahulu."

"Memberi penawaran? Mungkin maksudmu meminta pertolongan?" Udayana hampir tertawa mendengar humornya sendiri. "Aku tahu semua sepak terjangmu selama ini. Akhirnya kau keluar dari persembunyian, lalu berusaha membuktikan diri. Tapi lagi-lagi Sriwijaya memberimu pelajaran."

Airlangga menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Ia tak mau terbawa provokasi Udayana.

"Bila Sri Raja mau membantu Kahuripan merebut kembali Tanah Jawa, maka Kahuripan akan mendukung kemandirian Udayana. Kerajaan di Pulau Bali takkan lagi menjadi bawahan kerajaan di Pulau Jawa."

Itulah tekanan yang selama ini dihadapai raja-raja Bedahulu. Kerajaan mereka selalu berada di bawah pengaruh raja-raja yang berkuasa di Jawa.

"Apa kau bercanda, anakku Airlangga?" seloroh Udayana. "Kau menawarkan sesuatu yang sudah kudapatkan. Bukan cuma lima raja Tanah Jawa yang bangkit selepas keruntuhan Medang. Bedahulu pun akhirnya bisa berdiri sendiri tanpa siapapun yang berkuasa di atas kami."

"Berapa lama?" tantang Airlangga. "Berapa lama sampai Bedahulu jatuh lagi, kali ini di bawah Sriwijaya?"

"Kalau itu terjadi, aku lebih memilih menjadi bawahan Sriwijaya dengan baik-baik, daripada menjadi bawahannya setelah dianggap melawan karena membantumu."

Ucapan terakhir Udayana membuat Airlangga merasa pembicaraan ini sia-sia. Untuk skenario akhir yang mana pun, sang ayah menolak untuk membantunya.

"Baiklah bila demikian. Saya pamit undur diri. Biar saya hadapi pertempuran ini sendiri. Jika memang para dewa menakdirkan kejayaan Kahuripan, kami akan menang. Tapi jika kami kalah, berarti demikianlah takdir yang sudah digariskan."

Airlangga bersujud sekali lagi, kemudian bermaksud bangkit.

"Tunggu," sela Udayana.

Airlangga tidak jadi berdiri. Ia kembali menatap sang ayah.

"Akhirnya kau menjadi seorang putra yang kuharapkan."

Udayana mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh. Tidak ada nada sarkastik maupun sunggingan senyum. Membuat Airlangga terpana.

"Kau, dari titik terendahmu, memilih bangkit," lanjut Udayana. "Aku terus mengikuti sepak terjangmu sambil bertanya-tanya kapankah kau akan datang. Sesungguhnya aku bangga padamu."

Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Airlangga mendengar pujian yang tulus dari mulut Udayana.

"Tapi aku tetap tidak menyukai Medang, maupun kerajaan-kerajaan lain di Tanah Jawa. Aku tetap tidak suka bagaimana mereka mengirim Mahendradatta, janda terkutuk itu—ibumu—, untuk mengaturku. Bedahulu seharusnya adalah kerajaan yang berdiri sendiri, bukannya bawahan siapapun. Karena itu, aku ingin mengajukan penawaran yang lebih baik. Kau lupakan saja Tanah Jawa, jadilah putra mahkota Kerajaan Bedahulu."

Sebuah jalan yang sangat menarik. Airlangga tak perlu lagi memperjuangkan perang dengan peluang menang yang setipis daun kelor. Ia bisa menikmati hidupnya sebagai penguasa tertinggi, karena Medang sudah musnah.

Namun, bagaimana dengan Mpu Narotama yang telah membimbingnya selama ini? Dan Sri Dewi, yang menunggunya pulang untuk membebaskan penduduk Watan Mas? Juga seluruh rakyat Tanah Jawa yang menitipkan harapan padanya?

Airlangga bangkit.

"Kalau saya bisa meninggalkan orang-orang yang mempercayai saya, bagaimana penduduk Bedahulu yakin kalau saya tidak akan meninggalkan mereka bila kelak Sriwijaya menginjakkan kaki di pulau ini?"

Udayana terkesima. Tapi ia tetap kokoh pada pendiriannya. "Mustahil kau memenangkan perang ini."

"Bukankah saya bertahan hidup sampai sekarang juga adalah sesuatu yang mustahil?" Airlangga melontarkan senyumnya yang terakhir, lalu menangkupkan kedua telapak tangan sebagai pemberian hormat.

Tampaklah di wajah para pejabat yang hadir di tempat itu wujud kesedihan. Mereka sedang menatap masa depan gemilang bagi Bedahulu, tetapi sang masa depan rupanya memilih mati di medan perang nan jauh di Pulau Jawa.

Tiba-tiba saja, terdengar suara lengkingan keras yang menciutkan sukma. Para pejabat, juga semua orang yang mendengar suara tersebut, mendadak seperti kelinci yang tengah diincar elang.

Para Brahmana di Goa Garuda menjadi heboh, sebab patung raksasa yang bersemayam di sana mulai bergerak. Batuannya retak dan perlahan rontok, memperlihatkan kulit asli makhluk yang tersembunyi di baliknya. Setelah ratusan tahun, semua orang mengira patung itu adalah hasil karya pemahat. Nyatanya, ialah sang Garuda pelindung bagi wangsa Warmadewa.

Makhluk itu melangkah keluar dari goa. Tapak kakinya membuat seluruh pulau bergetar. Ia mengibaskan tangan hingga sisa lapisan batu di tubuhnya meluruh. Kemudian kedua sayapnya merentang lebar, siap menaungi Bedahulu dalam perlindungannya. Dan ia meraung panjang, memberitahu pada semua makhluk bahwa ia telah kembali.

Dengan sekali tolakan ia melesat ke angkasa, lalu mengepakkan sayapnya menuju istana Bedahulu, di mana para dayang menjerit-jerit sementara prajurit mengacungkan tombak ke arahnya. Kemudian makhluk itu mendarat di depan Balai Witana, membuat para pejabat ketakutan setengah mati. Mereka semua lupa siapa Garuda—kecuali Udayana. Raja tua itu terperangah.

Adalah sebuah kisah yang diwariskan turun-temurun dalam wangsa Warmadewa, bahwa saat kerajaan dalam bahaya seorang raja sejati akan membangkitkan Garuda. Seumur hidup ia berharap makhluk itu bangkit di tangannya agar ia bisa menunjukkan pada Medang bahwa Bedahulu bukan kerajaan sembarangan. Tapi rupanya takdir berkata lain.

Makhluk itu setengah berlutut, lalu merendahkan bahunya sembari menjulurkan telapak tangannya ke depan, seperti abdi yang hendak meminta sesuatu pada tuannya.

Warmadewa ingin berdiri, tapi betapa terkejutnya ia mendapati kedua lututnya gemetaran hingga tak mampu bergerak. Begitupun dengan kedua putranya yang pucat pasi melihat makhluk berwajah mengerikan tersebut. Hanya Airlangga, ia berjalan melewati para pejabat yang terkencing-kencing. Ia berdiri di hadapan Garuda, lalu berlutut seraya menyentuh telapak tangan makhluk tersebut.

"Wahai Garuda, engkau menjawab panggilan saya."

Makhluk itu mengangguk. Selanjutnya ia menuntun Airlangga untuk menunggang di atas bahunya yang perkasa.

Sang raja pun membusungkan dadanya.

"Semuanya, dengarkanlah. Tawaran saya masih sama. Bila Bedahulu membantu saya menyatukan Tanah Jawa, maka saya akan menjamin kemerdekaan Bedahulu."

Akhirnya Udayana mampu bangkit dari singgasananya. Ia maju beberapa langkah dengan sempoyongan, lalu berlutut.

"Garuda adalah pelindung wangsa Warmadewa, dan ia baru akan muncul ketika wangsa ini dalam bahaya. Ini artinya perjuangan Airlangga sesungguhnya adalah untuk Bedahulu juga. Kalau sudah begini, dengan atau tanpa tawaran apapun, seorang Warmadewa wajib bertarung bersama Garuda."

avataravatar
Next chapter