23 Bab 23

Hanya sedikit prajurit Medang yang tersisa—tak sampai seratus orang. Mereka mengerahkan ilmu kanuragannya untuk meringankan tubuh agar bisa berlari secepat angin. Barang siapa yang sudah tak sanggup mengikuti akan dibiarkan mengambil rute lain untuk sembunyi.

Tiap beberapa jam Narotama memberi instruksi untuk istirahat. Tapi tak lama-lama, hanya sekedar mendinginkan tubuh.

Airlangga duduk di bawah pohon kecapi, mengurut-urut keningnya. Kedua mata pemuda itu terpejam. Suara jeritan orang-orang yang tertinggal di Bengawan Beton masih terngiang-ngiang di telinganya.

Sri Dewi yang bersiaga di sampingnya jelas melihat kegelisahan tersebut.

"Jangan khawatir, Sri Raja," tukasnya. "Asalkan Sri Raja bisa selamat, saya yakin mereka akan berbahagia di alam sana."

Airlangga menatap Sri Dewi sekilas, lalu kembali menatap tanah. "Tetap saja gara-gara aku…"

"Maka tugas kita adalah menjadikan pengorbanan mereka tidak sia-sia."

"Caranya?"

"Kita masih punya setengah bala tentara yang dipimpin Hasin," Narotama bergabung dalam percakapan. Ada beberapa buah kecapi di tangannya yang ia petik menggunakan ajian Bayu Senja. Ia berlutut lalu menyerahkan buah-buahan itu. "Kita coba atur ulang strategi di Lewa."

Airlangga mengangguk.

"Dalam peperangan, menang dan kalah adalah hal yang tak terelakkan. Yang penting bagaimana kita bangkit setelah terjatuh."

"Saya mengerti, Mpu."

Airlangga mengambil kecapi dari tangan Narotama, kemudian bangkit.

Benar yang dikatakan sang Rakryan Kanuruhan. Meski Medang kehilangan setengah pasukannya, mereka belum kalah sepenuhnya. Sang raja mengingat pertempuran pertamanya melawan Wisnuprabawa. Mereka bisa menang padahal kalah jumlah. Ia bersumpah akan mengulang keberhasilan tersebut.

Namun, sesampainya di Lewa, harapan Airlangga segera sirna.

Pemuda itu mendapati Hasin dan prajuritnya membuat perkemahan mengepung kota. Ia segera menemui sang Senapati, yang lekas menerangkan situasi terkini.

Rupanya setelah Panuda meninggalkan Lewa, pria itu membawa tentaranya mengambil jalur memutar di utara. Setengah pasukan Medang mengejarnya, sedangkan setengah lainnya pergi mengejar Aji Wurawi. Dengan begitu saat Panuda kembali ke kota, tak ada satu prajurit pun yang menjaganya.

Begitu Hasin menyadari taktik yang digunakan pria itu, semua sudah terlambat. Prajurit Medang sudah dipecah dua sehingga ia kesulitan untuk melakukan penyerangan terbuka. Tadinya ia berharap bantuan dari bala tentara yang dibawa Airlangga, tapi sayangnya takdir berkata lain.

Narotama menjelaskan bencana yang menimpa mereka, yang menyebabkan mereka kembali cuma bersama segelintir prajurit.

Mereka telah jatuh ke perangkap Aji Wurawi.

Seluruh jendral yang menghadiri rapat itu terenyak memikirkan posisi mereka.

"Kita tak bisa tinggal diam," gumam Airlangga. "Saat ini Sriwijaya masih mengejar kita."

Semua orang tahu begitu Sriwijaya tiba, mereka akan terjepit.

"Panuda harus cepat ditaklukan untuk mengamankan posisi," ucap Hasin.

"Apa menurut Senapati kita punya waktu untuk itu?" timpal Niti.

Kedua mata Hasin langsung melotot.

"Maaf Senapati, saya bukannya melempar sarkasme," lanjut Niti buru-buru. "Saya murni bertanya, apakah kita masih sempat merebut Lewa dari Panuda? Karena jika kita belum berhasil merebut Lewa saat Sriwijaya datang, habislah kita."

"Niti benar. Kecuali kita yakin bisa mengalahkan Panuda tepat waktu… kurasa sebaiknya kita mundur," timpal Narotama. "Mundur juga bagian dari taktik," lanjutnya, meski terlihat agak tak ikhlas. Berkali-kali ia mendengus menyesali nasib. "Hasin, apa kau yakin bisa merebut Lewa sebelum Sriwijaya tiba?"

Bahkan sang Hasin berpikir dua kali sebelum bisa menjawab. Keraguan menjalari benak pria itu.

"Menurutku…" Ia membuat jeda beberapa saat. Ia memperhatikan para jendral yang sedang menatapnya lekat. Akhirnya ia mendesah. "Saran saya adalah merebut Lewa. Kalau kita mundur, kita akan kehilangan momentum. Pengorbanan mereka yang tumbang di Bengawan Beton pun jadi sia-sia. Tapi…" Ia menambahkan dengan tidak yakin, "Saya serahkan keputusan akhir pada Sri Raja…"

Airlangga masih dibayangin kengerian atas pembantaian Bengawan Beton. Saat ini ia ingin berada sejauh-jauhnya dari pertempuran.

"Kita mundur," ujarnya. "Kembali ke Watan Mas."

"Ah… baiklah," kata Hasin setengah lega. Kini ia tak perlu memikul tanggung jawab apabila penyerangan mereka gagal.

Pada hari itu juga seluruh bala tentara berkemas. Mereka merapikan tenda-tenda, lalu melakukan perjalanan pulang. Dengan moral yang hancur, prajurit Medang menapaki ulang jalur yang sebelumnya mereka lalui penuh semangat.

Tapi ternyata kemalangan belum berakhir.

Setibanya di Wuratan, sang adipati Wuratan memberi Airlangga sebuah kabar buruk. Hanya terpaut beberapa hari sebelumnya, Dyah Tulodong dan bala tentaranya menaklukan Watan Mas. Wanita itu memanfaatkan kesempatan saat ibukota sedang kosong.

"Sial…" Airlangga merasa lemas. Ia nyaris jatuh kalau saja Sri Dewi tidak tanggap menangkapnya. Pemuda itu tak sanggup membayangkan ibukota yang ia bangun dari nol kini ditempati oleh orang asing seenaknya.

Karena Wisnuprabawa dan Wijayarama bergerak sendiri-sendiri, ia lupa bahwa bisa saja seluruh raja Tanah Jawa bekerjasama mengerjainya.

"Kali ini kita tak bisa mundur," Ia menegakkan badan. "Kalau rumah kita direbut, sudah seharusnya kita rebut kembali!"

Bala tentara lekas digerakkan sebab Airlangga khawatir pasukan Sriwijaya keburu menyusul.

Di Watan Mas, Dyah Tulodong menyambut mereka dengan parit-parit dalam yang dibuat menutupi jalan utama menuju ibukota. Pasukan sang ratu menanti di belakang parit seraya mengacungkan bilah-bilah tombaknya. Mereka terlihat segar dan bertenaga.

Di sisi lain, bala tentara Medang sangat lelah dan kelaparan.

Airlangga maju didampingi Narotama dan Hasin untuk mengumandangkan ultimatum.

"Dyah Tulodong! Berani-beraninya kau menduduki Watan Mas saat ditinggalkan tuannya! Sangat tidak jantan!"

Seorang wanita yang sangat cantik muncul dari antara barisan prajurit Lodaya. Ia mengenakan gaun perang yang sangat indah—mempesona dan gagah di saat bersamaan. Ia berdiri di atas panggung kayu kecil, tetap bertahan di balik parit.

"Aku memang tidak jantan, wahai raja Medang," ledek Dyah Tulodong.

"Ah... benar juga…" Airlangga tercenung. "Itu—itu tidak penting. Aku ingin kau menyerah, lalu angkat kaki dari Watan Mas!"

Ia harap wanita itu mengikuti kemauannya. Dengan begitu semua akan selesai dengan cepat. Tapi tentu saja permintaannya ditolak.

"Hah? Kau bilang apa? Sepertinya aku salah dengar?" Dyah Tulodong membuat corong di telinga menggunakan telapak tangannya. Lalu ia tertawa. "Jauh-jauh aku datang dari Lodaya, kau kira aku mau pulang begitu saja karena kau suruh?"

Airlangga mendesah, "Baik."

Pertempuran adalah satu-satunya bahasa yang akan dimengerti Dyah Tulodong. Hasin segera menyiapkan pasukan. Ia berseru-seru, membangkitkan semangat juang seluruh prajurit Medang.

Airlangga mendesah. Ia mengangkat pedangnya ke udara. "Serbu!"

Ribuan prajurit Medang segera menerjang baris pertahanan Lodaya. Mereka melompati parit-parit, dan disambut oleh acungan tombak. Banyak yang langsung tersula, tapi itu tak menyurutkan tekadnya. Mereka terus melawan demi sang raja. Menekan pasukan Dyah Tulodong sedikit demi sedikit.

Airlangga tak ketinggalan. Ia bertempur bersama yang lainnya. Ia sudah muak. Ia tak mau lagi duduk diam menyaksikan orang lain mempertaruhkan nyawa.

Susah payah Sri Dewi melindungi punggung sang raja agar tak tertikam dari belakang. Keduanya bertarung saling membelakangi, menutupi kelemahan satu sama lain.

Di lain pihak, Dyah Tulodong juga memainkan pedangnya dengan brutal. Ia menebas tanpa berpikir dua kali, mengerahkan seluruh tenaganya dalan tiap ayunan. Sebab wanita itu tak perlu memusingkan pertahanan. Tak peduli perutnya tertusuk tombak, atau lengannya terpotong pedang, luka-luka itu segera sembuh dan ia bisa kembali bertarung. Makhluk yang tak terhentikan.

Tentara Medang menyerang habis-habisan, sementara tentara Lodaya tak kalah bringas—terutama pasukan Amanusa. Satuan khusus tersebut benar-benar solid, barisannya sama sekali tak tertembus.

Pertarungan berlangsung imbang.

Saat petang datang, mereka masih bertahan mengadu kekuatan. Untungnya malam itu purnama bersinar terang, dan langit sama sekali tak berawan. Meski sedikit kacau, Airlangga tak bisa meminta prajuritnya mundur sejenak. Mereka tak memiliki kemewahan berupa waktu. Kalau bisa, Dyah Tulodong harus dikalahkan malam itu juga!

Sesekali bilah pedang Airlangga dan sang ratu Lodaya berdentingan. Lalu pengawal mereka ikut campur, sehingga keduanya terpisah. Hal itu terulang beberapa kali, membuat Airlangga gemas.

Menjelang pagi kedua pasukan masih berbaku hantam. Banyak yang sudah tumbang, tetapi yang masih berdiri tak mau menyerah. Walau badan sudah kepayahan, tatapan mata mereka masih tajam.

Sampai kemudian hal yang dikhawatirkan oleh para jendral Medang terjadi.

Para pengintai menyerukan bahwa panji-panji Sriwijaya mulai terlihat dari arah barat. Mereka akan tiba di medan pertempuran saat fajar menyingsing. Dan bila saat itu Airlangga masih belum mengalahkan Dyah Tulodong, mereka akan mati dikepung dari dua arah.

Sang raja pun memusatkan seluruh kanuragan dalam dirinya. Ilmu rawarontek Dyah Tulodong memang tingkat tinggi, maka Airlangga berpikir untuk mencincang wanita itu menjadi potongan-potongan kecil. Ia mau lihat apakah rawarontek masih bisa memperbaiki tubuh Dyah Tulodong jika dirusak separah itu.

Namun, Narotama menghentikannya.

"Sri Raja, kita harus pergi dari sini!"

"Pertempuran belum berakhir, Mpu!" seru Airlangga. "Masih ada kesempatan!"

"Ya, tapi bukan sekarang!" jawab Narotama. "Kesempatan itu akan datang setelah kita pergi dari sini hidup-hidup!"

Airlangga melihat keseriusan di mata Narotama. Pria yang selalu optimis itu, yang terang-terangan menantang Wisnuprabawa meski kalah jumlah, kali ini memintanya untuk mundur. Artinya keadaan mereka benar-benar terdesak. Peluang mereka nyaris nol.

Hanya saja sang raja tidak bisa ikhlas menerimanya. Memikirkan ibukota yang ia bangun dengan susah payah direbut musuh melalui cara seperti ini, membuatnya kesal bukan main. Segala pencapaiannya direnggut, dan ia harus memulai lagi dari awal. Jadi untuk apa perjuangannya selama ini?

"Tidak bisa, Mpu! Lebih baik saya bertarung sampai mati sekalian!" raung Airlangga.

"Jangan!"

Narotama mencengkram lengan Airlangga, tapi pemuda itu sontak menepisnya.

"Ini kan yang Mpu inginkan, agar saya menjadi raja yang tangguh?!—"

Tiba-tiba Sri Dewi memeluk punggung pemuda itu dari belakang. Sang gadis memeluknya dengan sangat erat, hingga Airlangga mematung.

"Ibukota bisa dibangun lagi, tapi kalau Sri Raja tewas maka Medang akan tamat!" seru Sri Dewi.

Airlangga terenyak.

"Bagaimana dengan ayahmu, Pandita Terep? Beliau masih di ibukota…"

"Tidak apa-apa, saya yakin Romo akan baik-baik saja. Mereka tidak akan menyakiti seorang Pandita. Saya janji, akan terus mendampingi Sri Raja. Mau membangun ulang ibukota sampai berapa kalipun, saya akan membantu. Jadi tolonglah…"

Airlangga mengeratkan gerahamnya. Mengapa semua orang begitu raja-sentris. Hal itu membuatnya harus memikul tanggung jawab yang sangat besar. Bahkan ia tak diperkenankan melepas nyawanya sendiri.

"Aku mengerti."

Pemuda itu mengangguk. Ia merelakan sosok Dyah Tulodong yang menghilang di antara pengawal-pengawalnya.

"Semuanya, mundur!"

avataravatar
Next chapter