22 Bab 22

Di atas sana awan mendung berarak. Angin dingin terus bertiup sejak subuh, menggoyang pepohonan dan mengibarkan panji-panji peperangan. Di bagian barat ibukota Lewa terdapat lahan persawahan yang saat ini sedang kering karena belum ditanami. Di tempat itulah kedua bala tentara saling berhadapan.

Airlangga—dari atas kudanya—bisa melihat sosok yang memimpin prajurit Lwaram kejauhan. Sosok itu masih sama seperti dulu. Tampan, gagah, dan mencekam—membuat kuduk Airlangga merinding. Prajurit-prajuritnya yang mengenakan seragam berwarna merah dan hitam juga terlihat garang. Mereka mendenting-dentingkan golok besar ke perisai, seolah sudah tidak sabar ingin mencabut nyawa.

"Airlangga!" seru sang Aji Wurawi. "Kau sudah besar!"

"Memangnya kenapa? Kau berharap aku terus ingusan?" jawab Airlangga, dadanya berdebar keras.

"Begitulah, hahaha! Padahal kalau kau tetap sembunyi, kita tak perlu seperti ini!"

"Kenapa? Kau—" Airlangga menelan ludah sebelum melontarkannya, "Kau takut?!"

Narotama menjentikkan jari sambil mendesis sendiri, "Yeah!"

Aji Wurawi mendesah seraya mengendikkan kedua bahunya.

"Kau tidak mengerti!" serunya. "Padahal maksudku agar kau bisa hidup damai!"

"Jangan mengatur bagaimana caraku hidup!" jawab Airlangga. "Aku sudah kenyang hidup damai! Sekarang yang aku inginkan adalah konflik!"

Aji Wurawi tak bisa menahan diri. Ia terkekeh. Bocah pemalu yang dulu selalu mengekornya kemanapun kini berani menantangnya. Diam-diam ada setitik rasa bangga dalam hatinya, seperti kakak yang puas menyaksikan perkembangan sang adik laki-laki menjadi pria sejati. Tapi di sisi lain, muncul rasa sedih karena keadaan memaksanya untuk menghabisi sang adik. Selain itu ada kemarahan sebab adiknya itu hendak merebut gadisnya. Dan juga perasaan iri membakar jiwanya.

"Singawarman," bisiknya pada sang Senapati. "Lepaskan kemarahanmu."

Pria besar itu menarik napas dalam-dalam hingga dadanya terkembang, seolah sedang menghirup seluruh udara yang berada di atmosfer. Kemudian ia berteriak dahsyat mengalahkan suara tetabuhan dan gemuruh petir. Gelombang kejutnya menyentak tibuan bala tentara Medang, sementara prajurit-prajurit Lwaram merasakan darahnya bergejolak.

"Ajian yang berbahaya," gumam Narotama. Orang biasa akan langsung pingsan jika mendengar auman semacam itu. "Semuanya! Jangan gentar!"

Bala tentara Lwaram maju lebih dulu. Pasukan Airlangga harus berkonsentrasi mengusir gemetar agar tubuhnya bisa digerakan. Tentunya mereka juga bukan anak kemarin sore, sehingga dengan cepat menguasai keadaan.

Kedua bala tentara pun berbenturan seperti dua gulungan ombak besar yang saling melahap satu sama lain.

Airlangga memacu kudanya mencari Aji Wurawi. Ia ingin mengakhiri pertempuran ini secepatnya.

Ternyata Aji Wurawi pun itu pun melakukan hal yang sama. Kudanya melompat dari balik pasukannya. Sebilah tombang panjang tergenggam erat di tangan pria itu.

Keduanya mengambil ancang-ancang, lalu menghunuskan senjata masing-masing. Namun, sebelum mata tombaknya mengenai dada, mereka saling menepis—dan berlalu.

Airlangga menarik kekang kudanya agar berhenti, kemudian berbalik arah.

"Nyaris, ya," ucap Aji Wurawi. Ia memutar tombangnya, lalu menyerang lagi.

Airlangga menghentak kudanya. Kali ia berniat untuk benar-benar mengakhiri Aji Wurawi. Saat mereka akan bertumbukan, ia menyalakan ajian Asto Broto. Ia menepis tombak Aji Wurawi yang bergerak lambat, kemudian menusuk dada pria itu.

"!!!"

Aji Wurawi jatuh terpelanting dari kudanya.

Airlangga berhasil. Ia melihat keadaan Aji Wurawi. Dadanya berdebar semakin keras. Kemenangan sudah di tangannya.

Tetapi Aji Wurawi bangkit. Ia memegangi dadanya… yang sama sekali tidak berdarah.

"Tanganku setajam lembing, kulitnya sekeras perisai," ucapnya menyunggingkan senyum. "Senjata biasa tak bisa melukaiku."

Maka Airlangga mencabut kerisnya. Keris bukanlah senjata biasa, melainkan bilah yang ditempa dari logam meteor dengan mengerahkan kesaktian penempanya.

Aji Wurawi memasang kuda-kuda, menyiapkan kedua telapak tangannya yang dirapatkan.

"Mundur! Mundur! Prajurit mundur!" teriak Singawarman tiba-tiba. "Atur ulang formasi!"

Aji Wurawi memperhatikan sekelilingnya. Narotama terlihat sedang berkuda sambil mengayun-ayunkan pedang penuh kemenangan, seperti orang yang menggembala ternak. Prajurit Lwaram mulai berjatuhan di tangan prajurit Medang.

Aji Wurawi tampak ragu, lalu kembali menatap Airlangga.

"Sri Raja!" Singawarman berlari menggunakan keempat tungkainya—kedua kaki dan tangan—lalu menerkam Airlangga. Sri Dewi lekas menghalanginya menggunakan perisai. Terkaman Singawarman nyaris membelah perisai Sri Dewi, andai saja bukan dibuat dari besi pilihan. "Sri Raja, kita mundur dulu!"

"Tapi—"

"Kita kalah jumlah!"

Aji Wurawi berdecak, lalu meludah. Urat-urat menyembul di keningnya. Tapi akhirnya ia tetap mengambil langkah seribu.

"Tunggu!" Airlangga memacu kudanya untuk mengejar. Hanya saja pengawal-pengawal Aji Wurawi segera membuat barisan untuk menghalangi laju Airlangga.

"Bentuk barikade! Lindungi Sri Raja!" seru Singawarman, lalu ia sendiri mundur mengikuti rajanya.

Airlangga berniat menembus barikade tersebut, tapi kudanya tak berani melangkah. Makhluk itu hanya meringkik di tempat, berusaha menolak perintah majikannya. Sebab para pengawal Aji Wurawi memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi, sampai-sampai kaum binatang pun bisa merasakannya.

"Prajurit! Buatkan jalan untuk Sri Raja!" perintah Sri Dewi pada orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka segera fokus menyerbu barisan pengawal Aji Wurawi.

Namun, bala tentara Lwaram sangat solid. Bahkan setelah ditinggal pemimpinnya, mereka terus mempertahankan blokade agar pasukan Medang tak bisa lewat.

Pertempuran berlanjut sampai matahari hampir mencapai titik tertingginya. Akhirnya barikade Lwaram berhasil ditembus. Tapi tentu saja Aji Wurawi sudah tak berada di sana.

Airlangga menatap ke arah barat. Setengah prajurit Lwaram gugur dalam pertempuran ini, sedangkan bala tentara Medang memiliki moral yang tinggi setelah memukul mundur lawannya.

"Mpu, kita kejar mereka!" titah sang raja.

"Siap!"

Narotama segera melakukan koordinasi dengan para jendral. Infanteri besar tersebut langsung melakukan pengejaran yang mungkin akan menjadi penutup ekspedisi militer Airlangga.

***

Perjalanan tidak mudah. Meski tentara Medang beristirahat seminimal mungkin, rupanya tentara Lwaram melakukan hal serupa. Bahkan meski sudah berjalan siang dan malam, yang mereka temui cuma sisa-sisa jejak kaki.

Pada akhirnya mereka sampai di tepi Bengawan Beton yang megah. Sungai raksasa itu membentang panjang, dengan badan yang teramat-sangat lebar. Mustahil menyebranginya tanpa menggunakan perahu. Menyebabkan Narotama menganga terperangah saat ia mendapati seluruh tentara Lwaram sudah berada di sisi lain Bengawan Beton. Puluhan perahu ditambatkan di sebelah sana.

"Kita terlambat?" Airlangga memicingkan matanya. Mereka tidak punya perahu, dan semua perahu sudah digunakan Aji Wurawi.

"Tidak." Narotama menggeleng. Mendadak wajahnya jadi pucat pasi. Kemudian bibirnya bergerak, mengucapkan hal yang sebenarnya sangat tak ingin ia sampaikan. "Kita dijebak, Sri Raja."

"Maksud Mpu?"

Narotama melempar tatapannya ke sisi lain sungai, di mana Aji Wurawi dan bala tentaranya cuma berbaris diam. Jika memang berniat kabur, tak ada alasan mereka tetap berada di sana. Mereka lebih kelihatan seperti sedang menunggu sesuatu.

Lalu penyampai pesan datang dengan berlarian.

"Prajurit Sriwijaya! Prajurit Sriwijaya! Panji-panji Sriwijaya di utara dan selatan!"

Para jendral langsung memasang ekspresi tegang.

Sejak awal serangan Aji Wurawi cuma pancingan. Mereka sudah menyiapkan perahu untuk menyebrang, lalu membuat bala tentara Medang terpojok di tepi sungai. Prajurit Sriwijaya yang sudah bersembunyi di hutan tinggal memberi serangan penghabisan.

Suara raungan, tetabuhan, dan ribuan langkah kaki segera terdengar dari berbagai arah.

"Bentuk pertahanan!!!" teriak para jendral.

Pasukan Medang lekas menyusun barikade setengah lingkaran yang melindungi posisi Airlangga.

Panji-panji Sriwijaya pun muncul, berhampuran keluar dari hutan pepohonan di sekitarnya, menyeruak dari segala arah—utara, timur, selatan. Jumlahnya tak terhitung lagi. Kedua pasukan segera bentrok, tapi siapapun tahu bahwa posisi bala tentara Medang seperti tikus yang tersudut. Mereka bisa melawan, namun tak lebih dari upaya memperpanjang napas—karena cepat atau lambat ajal segera tiba.

Airlangga masih tak bisa mempercayai kedua mata kepalanya sendiri. Berkali-kali ia memperhatikan panji Sriwijaya yang berkibar di mana-mana, lalu menatap Aji Wurawi di seberang sungai. Hatinya makin gelisah. Kalau dibiarkan, maka seluruh prajuritnya akan mati sia-sia.

"Mpu!" serunya pada Narotama. "Apa Mpu bisa melempar saya ke seberang sungai? Seperti saat kita melawan Wisnuprabawa."

Pria itu cuma mengerutkan keningnya pada Airlangga.

"Mpu! Jangan diam saja!"

Narotama mendesah, "Itu mustahil, Sri Raja. Badan sungai ini terlalu lebar, bisa-bisa Sri Raja malah tercebur di tengah sungai. Lagipula situasinya berbeda. Aji Wurawi dikelilingi ribuan prajurit yang akan mengeroyok Sri Raja. Dan seandainya Sri Raja berhasil mengalahkan Aji Wurawi pun, saya ragu itu akan menghentikan serangan Sriwijaya. Mereka memiliki rantai komando yang berbeda."

Airlangga menggemeletakkan gerahamnya.

"Seandainya saya tidak bernafsu mengejar Aji Wurawi…"

"Jangan bicara begitu, Sri Raja! Tak ada jendral yang memberi masukan lain, artinya semua memiliki pikiran yang sama. Lagipula siapa yang tahu kalau mereka mendapat bantuan Sriwijaya?"

Tetap saja Airlangga tak bisa tidak menyalahkan dirinya sendiri.

Tentara Medang yang sudah kelelahan setelah pengejaran berhari-hari mulai terdesak. Satu demi satu mereka berguguran di bawah tombak-tombak Sriwijaya. Selapis demi selapis baris pertahanan tumbang.

Di seberang sungai, Aji Wurawi menikmati kemalangan Airlangga.

Hal yang membuat Airlangga frustasi.

Padahal jarak di antara mereka sudah sedekat ini, tapi di saat bersamaan juga sangat jauh. Malah, sebentar lagi keduanya akan dipisahkan oleh alam—karena Airlangga akan menuju akhirat.

Pemuda itu menundukkan kepala seraya mengacak-acak rambutnya.

"Maafkan saya," ucapnya pada semua yang berada di sekitar. "Maaf…"

Tak ada yang menyuarakan sanggahan atas pesimisme sang raja.

Hanya Narotama yang mencengkram lengan Airlangga dengan erat.

"Bukan waktunya berpasrah! Sri Raja harus keluar dari sini dengan selamat!"

Airlangga menatap Narotama lirih. "Untuk apa? Jika orang-orang yang mengikuti saya gugur, maka sudah sewajibnya saya gugur bersama mereka!"

Narotama menggeleng, "Medang boleh tumbang, tapi akan selalu bangkit lagi selama Sri Raja masih hidup!"

"Mpu Narotama benar!" timpal Sri Dewi.

"Sri Raja, kami pun menyerahkan jiwa dan raga ini bukan sekedar untuk Sri Raja," ucap seorang pengawal. "Tapi karena kami percaya Sri Raja bisa membawa kebaikan pada Tanah Jawa."

Airlangga tak tahu lagi apa yang harus dikata. Ia menatap Narotama lekat-lekat, "Bagaimana cara kita keluar dari situasi ini?"

"Saya pikir…" sang Rakryan Kanuruhan melirik ke seberang sungai, di mana bala tentara Lwaram berbaris rapi. "Kita kita meniru taktik yang digunakan Aji Wurawi."

"Itu harga yang mahal, Mpu…"

"Tapi tetap harus dibayar."

Tanpa berpanjang lebar lagi, Narotama lekas menyebar pesan pada para jendral yang mempertahankan barisan pasukannya masing-masing. Bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia, dan keyakinan mereka pada sang raja bakal berbuah manis. Kemudian satu formasi dibentuk di bagian dalam pertahanan. Mereka bukanlah tikus yang terpojok. Mereka adalah kerbau yang mengamuk!

Narotama membariskan seluruh kavaleri yang mereka miliki. Di belakangnya adalah pasukan infanteri, lalu Airlangga dan para pengawalnya, kemudian infateri lagi.

"Bersiap…" Narotama memberi aba-aba di depan para prajurit berkuda. Menenggelamkan diri ke Bengawan Beton bukanlah pilihan. Saat benar-benar terdesak, maka satu-satunya jalan adalah menerobos keluar.

"Serbu!!!"

Puluhan ekor kuda pun meringkik begitu tali kekangnya dipacu. Makhluk-makhluk itu berlari kencang, menghantam tanpa diskriminasi baik pasukan Medang yang sedang bertahan maupun pasukan Sriwijaya yang tengah menyerang. Kuda-kuda itu menubruk mereka semua untuk memecah formasi lawan. Menciptakan sebuah celah untuk ditembus.

Saat kuda-kuda itu berjatuhan, infanteri di belakangnya lekas menyusul. Mereka menyerang, memperdalam celah yang terbentuk, membuat jalan bagi sang raja.

Airlangga dan para pengawalnya berlari melewati celah tersebut. Seperti orang-orang yang sedang membelah gulungan ombak.

"Terus! Terus!" Di depan sana Narotama memainkan pedang kembarnya, membantai tiap Sriwijaya yang coba menghalangi. Ia bertarung dengan ganas, sampai akhirnya terbuka jalan keluar.

Infanteri yang mengikuti segera membentuk formasi dinding agar bala tentara Sriwijaya tak bisa menyentuh Airlangga. Setelah sang raja lewat, infanteri yang mengikutinya berhenti berlari, lalu berbalik. Mereka mengacungkan pedang dan tombaknya pada prajurit-prajurit Sriwijaya yang berusaha mengejar. Sama seperti yang dilakukan pengawal Aji Wurawi tempo hari.

Mengetahui sang raja sudah lolos dengan selamat tak mengurangi semangat juang bala tentara Medang. Malah, mereka bertarung makin brutal agar memberi waktu bagi Airlangga. Darah mereka yang tertumpah pun mewarnai aliran Bengawan Beton menjadi merah.

Pada hari itu, lebih dari sepuluh ribu tentara Medang terbunuh setelah melawan dengan gagah. Sebuah peristiwa yang akan terus diingat baik oleh kawan maupun lawan sebagai Pertempuran Bengawan Beton.

avataravatar
Next chapter