21 Bab 21

Aji Wurawi melompat mundur beberapa tombak. Darah merembes keluar dari luka di dadanya. Keris yang menusuknya barusan bukan keris biasa. Senjata itu pastilah ditempa oleh pandai besi yang sangat sakti, sebab bisa dengan mudahnya menembus pertahanan Aji Wurawi yang dipertebal kanuragan.

"Ajian… Rawarontek?" desis pria tersebut.

"Betul!" Kepala Dyah Tulodong berbicara. Lalu kepala itu berguling mendekati tubuhnya yang juga sedang berjalan ke arah kepala.

Dyah Tulodong meletakkan kepalanya kembali ke tempatnya. Secara ajaib potongan di lehernya tersambung kembali. Tak tersisa bekas luka walau segaris pun.

"Aku abadi, tapi tetap saja ini menyakitkan," ucap wanita itu sembari membunyikan sendi lehernya ke kanan dan kiri.

Aji Wurawi berkonsentrasi untuk menghentikan pendarahannya menggunakan kanuragan. Ia beruntung serangan Dyah Tulodong tidak mengenai jantung. Sekarang ia harus memikirkan cara mengalahkan ajian Rawarontek. Ia memang pernah mendengarnya, tapi baru sekarang berhadapan langsung dengan orang yang menguasai ilmu tersebut.

Dyah Tulodong menyerang lagi. Aji Wurawi menghindarinya. Ia terus berkelit dari sabetan-sabetan sang ratu sembari mencari celah. Begitu melihat kesempatan, ia menyayat pinggang Dyah Tulodong. Wanita itu cuma menahan nyeri, lalu balas menikam. Kerisnya pun berhasil menyayat pinggang Aji Wurawi.

Pria itu lekas membuat jarak beberapa tombak. Ia menyaksikan bagaimana luka Dyah Tulodong pulih, sehingga wanita itu kembali prima seperti semula. Sedangkan di sisi lain ia semakin payah oleh luka-luka yang dibuat keris bertuah Dyah Tulodong. Ia harus menyelesaikan pertarungan ini secepat mungkin.

"Apa ya yang akan dikatakan Sri Raja Airlangga kalau aku menyerahkan kepalamu padanya?" goda Dyah Tulodong. "Apa ia akan berterima kasih, lalu memberiku hadiah yang luar biasa?"

Aji Wurawi melesat dengan kemarahan meluap. Ia mengeraskan telapak tangannya. Di saat yang sama Dyah Tulodong menikamkan keris. Aji Wurawi mengorbankan tangan kirinya untuk menahan serangan keris tersebut, sementara tangan kanannya menembus dada Dyah Tulodong. Wanita itu kesakitan, tapi kemudian tersenyum, seolah menunjukkan bahwa serangan Aji Wurawi tak berarti.

Pria itu cepat-cepat mundur. Tubuhnya sudah bermandikan darah.

"Tapi yang utama aku harus berterima kasih padamu," ucap Dyah Tulodong sambil menunggu luka di dada kirinya menutup. "Karena sudah mengantarkan nyawa."

Aji Wurawi membelalak, lalu tersenyum.

"Harusnya aku yang terima kasih." Ia mengangkat tangan kanannya. Ada suatu gumpalan darah dalam genggamannya. Dan gumpalan itu berdetak. "Terima kasih sudah memberi jantung hatimu untukku."

Dyah Tulodong terkejut, kemudian mendekap dadanya yang kehilangan detak. Aji Wurawi meremas jantung di tangannya, dan Dyah Tulodong merasakan sakit yang luar biasa. Kedua bola matanya menjadi putih, lalu ia ambruk ke lantai.

Suasana hening beberapa saat. Aji Wurawi memperhatikan jantung Dyah Tulodong yang berhenti berdetak. Lambat-laun organ tersebut pulih. Kesadaran Dyah Tulodong pun kembali. Wanita itu berusaha bangkit.

Aji Wurawi segera meremas jantung Dyah Tulodong lagi sampai hancur. Wanita itu memekik dan mati—untuk hidup kembali—dan mati lagi—dan hidup kembali—dan mati lagi.

"Cukup! Cukup!" seru Dyah Tulodong di tengah kesadarannya, sebelum Aji Wurawi mematikannya lagi.

"Tidak cukup."

Aji Wurawi meremas jantung Dyah Tulodong sekali lagi. Saat wanita itu tak sadarkan diri, ia meraih kerisnya. Ia bermaksud mengambil lebih banyak organ sebagai jaminan.

"Jika Rawarontek membuat hidupmu abadi, aku bisa membuat penderitaanmu abadi," ujar Aji Wurawi seraya mengerjakan karya seninya. "Meski kau mendukung Airlangga, tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan penderitaanmu. Cuma aku yang bisa."

"Iya! Iya!" seru Dyah Tulodong saat kesadarannya kembali. "Aku akan mendukungm—"

Aji Wurawi mematikan wanita itu lagi. Saat Dyah Tulodong mulai sadar, ia melanjutkan.

"Pertama-tama suruh pengawalmu berhenti melukai pengawalku. Setelah itu kita pikirkan cara menghadapi Airlangga."

"Iya! Iya! Aku mengerti!" Dyah Tulodong mengangguk-angguk cepat seperti anjing yang mematuhi tuannya.

Aji Wurawi sendiri takjub ia bisa melakukan hal menjijikkan semacam ini. Tapi ia sudah bersumpah untuk melindungi apa yang ia miliki berapapun bayarannya. Bahkan meski harus menerima rengkuhan sang iblis.

***

Jauh di tempat lain, di waktu yang lain setelah pertempuran di Lodaya.

Airlangga bersiul-siul senang. Ia yang tadinya memulai dengan pasukan kecil nan menggelikan, kini memimpin salah satu bala tentara terbesar di Tanah Jawa. Semakin luas wilayah yang ia kuasai, semakin banyak sumber daya yang ia miliki. Sedikitnya ada dua puluh lima ribu prajurit yang saat ini ia bawa untuk menginvasi Lewa. Terjadi pertempuran-pertempuran kecil saat ia menaklukkan kota dan desa yang mereka lalui. Namun, hal itu bagus sebagai pemanasan sebelum pertempuran utama merebut ibukota.

Tetabuhan terus dibunyikan mengiringi kedigdayaan bala tentara Medang. Mereka terus mengelu-elukan nama Airlangga.

"Maharaja! Maharaja! Maharaja!"

Airlangga sampai jadi salah tingkah.

"Hasin, suruh mereka berhenti!" serunya tertawa-tawa. "Saya belum pantas disebut maharaja."

"Rendah hati sekali," jawab sang Senapati, lalu ia berteriak, "Semuanya diam! Jangan sebut Maharaja! Ganti jadi Sri Raja!"

Yel-yel mereka pun berganti.

"Sri Raja! Sri Raja! Sri Raja!"

Airlangga menepuk dahinya. Bukan itu yang ia maksud.

Namun, seruan-seruan itu membuat pikirannya mulai berkhayal. Ia membayangkan dirinya duduk di singgasana maharaja, bersama Sri Laksmi—dara paling sempurna yang pernah ia lihat.

"Lewa! Tidak jauh lagi!" seru prajurit pengintai.

Airlangga mengusir lamunannya. Saatnya kembali ke kenyataan, dan mengubah mimpi itu jadi nyata.

Ibukota Lewa dikelilingi oleh dinding batu yang tak terlalu tinggi. Mudah saja menerobosnya—apabila dinding tersebut tak dijaga. Tapi Panuda pasti sudah mendengar kabar kedatangan Airlangga, sehingga ia akan menyiapkan pertahanan terbaik.

Hasin mengatur pasukannya untuk melakukan pengepungan. Ia membangun tenda-tenda perkemahan, lalu menyiagakan prajurit mengelilingi sisi timur kota.

Namun, dinding terlihat sepi. Tidak ada satu prajurit pun yang menjaganya. Bahkan jalan masuknya terbuka lowong, dilewati oleh petani dan penggembala ternak.

Akhirnya Airlangga menyetujui nasihat Narotama untuk mengirim pasukan pengintai terlebih dahulu. Beberapa prajurit berkuda memasuki Lewa di siang hari, dan mereka kembali sebelum petang.

"Lapor, Sri Raja! Kami tidak menemukan satu pun prajurit Lewa yang bersembunyi, kecuali beberapa garnisun dan penduduk. Mereka bilang Panuda dan bala tentaranya sudah meninggalkan kota sejak semalam."

Sulit dipercaya.

"Mpu, apa ini jebakan?"

"Mungkin," jawab Narotama.

"Apa yang sebaiknya kita lakukan?"

Narotama berpikir beberapa jenak. Jika aksi Panuda adalah jebakan, mana ada artinya kalau ia malah membawa seluruh prajuritnya keluar dari kota. Ia tak bisa melakukan penyergapan dengan cara seperti itu. Begitu Airlangga menguasai kota, ia malah akan kesulitan menembus pertahanan kota.

Namun, tidak ada salahnya merasa cemas.

"Kupikir sebaiknya Hasin mengejar Panuda, sambil menyisakan pasukan untuk berjaga di kota. Apabila Panuda berputar untuk menyerang kota ini, kita akan menjepitnya dari depan dan belakang."

"Masuk akal."

Maka itulah yang diperintahkan Airlangga. Ia membagi pasukan, setengah dibawa Hasin mengejar Panuda, setengahnya lagi menjaga kota.

Kemudian Airlangga mengerjakan tugasnya sebagai raja.

Ia berkeliling kota, menyerukan bahwa Lewa telah dibebaskan dari tirani. Dengan begitu rakyat bisa bersukacita.

Malamnya ia merasakan duduk di singgasana milik Panuda. Sementara para pejabat dan jendralnya duduk mengelilingi.

"Sri Raja, berikut hasil pengamatan kami," ucap Narotama mewakili yang lainnya. "Sudah tidak ada harta kekayaan seperti emas dan batu-batu mulia di istana ini. Kelihatannya semua dibawa pergi oleh Panuda dan bala tentaranya."

Airlangga agak kecewa. Setelah penaklukan-penaklukan yang dilakukan, ia mulai terbiasa mendapat rampasan perang.

"Sebagian penduduk kota juga mengungsi ke hutan-hutan sekitar. Kelihatannya mereka mengantisipasi serangan kita."

"Lanjutkan."

"Lumbung-lumbung beras dan kandang ternak juga dikosongkan," kata Narotama. "Entah dibawa penduduk yang mengungsi atau bala tentara Panuda."

Airlangga mengelus-elus dagunya.

"Bagaimana dengan persediaan makanan kita sendiri?"

"Masih cukup," jawab Narotama. "Kita memang sudah mempersiapkan apabila harus menghadapi peperangan yang panjang."

"Jadi… berapa lama kita akan bertahan di sini?"

"Setidaknya sampai kita tahu apa rencana Panuda. Kita tak bisa melanjutkan ekspedisi selama orang itu masih melanglang buana di luar sana membawa bala tentara."

Airlangga mendengus. Berapa lama lagi ia harus menunggu? Kalau saja Panuda langsung menghadapi mereka secara jantan, pertempuran ini tak perlu diulur-ulur.

"Kurasa ada baiknya santai sejenak," ucap pemuda itu seraya merebahkan punggung di singgasana. "Tapi ingat, tetap waspada dan jaga sopan santun."

Malamnya bala tentara Medang makan-makan di alun-alun kota. Mereka juga mengajak penduduk untuk ikut bersenang-senang. Biar bagaimanapun penduduk Lewa tidak memiliki kesalahan. Perebutan kekuasaan adalah permainan para raja dan pejabat.

Dekat api unggun, Narotama dan seorang prajurit sedang mengadu lawak—lebih tepatnya saling ledek sampai salah satu kehabisan kata-kata. Airlangga tertawa-tawa menyaksikan keahlian Rakryan Kanuruhannya itu. Bahkan Sri Dewi sampai menutupi mulutnya dengan tangan agar tawanya tak tersembur.

"Huuuuu! Huuuuu!"

Penonton bersorak saat seorang lagi prajurit gugur di depan tajamnya lidah Narotama.

"Ayo, siapa lagi? Siapa lagi?" tantang sang juara.

Lalu seorang anak muda mengacungkan jari. Tumanggala memutuskan turun ke medan laga, guna membalaskan dendam rekan-rekannya. Para prajurit pun kembali heboh.

"Hahaha, kadang aku masih tak percaya. Semua ini seperti mimpi," ujar Airlangga pada Sri Dewi. "Rasanya baru kemarin kau menyusulku ke pertapaan."

"Iya, Sri Raja."

"Aku yang dulu akan langsung ketakutan begitu mendengar nama Aji Wurawi. Sekarang, aku membawa puluhan ribu prajurit mendatangi kediamannya."

Sri Dewi terkekeh geli.

"Tapi, andai aku berhadapan satu lawan satu dengan Aji Wurawi, tanpa prajurit-prajurit ini, tanpamu, tanpa Narotama… apa aku masih berani?"

Sri Dewi melihat kelebat ketakutan di mata sang raja. Kadang sebuah trauma di masa lalu akan terus membekas. Tak peduli meski orang itu sudah berubah menjadi segagah apapun, akan ada satu bagian di hati kecilnya yang mengingat luka tersebut.

Di sisi lain, ingatan baik juga akan terus membekas.

"Saya yakin Aji Wurawi saat ini sama takutnya. Dia tidak akan mengira Sri Raja bangkit dari kubur hanya untuk mengejarnya."

"Seperti dihantui dedemit."

"Betul."

"Apanya yang betul? Maksudmu aku mirip dedemit?"

"Eh—tidak!"

"Ahahahaha, aku cuma bercanda."

Belakangan Airlangga jadi semakin sering mengerjai Sri Dewi. Lama-lama gadis itu tak bisa berdiam diri.

"Tidak salah lagi, maksudku."

"Hah?!"

Airlangga tercengang. Lalu ia dan Sri Dewi tertawa bersama-sama.

Sri Dewi benar. Jika ia dan Aji Wurawi sama-sama takut, maka tidak ada alasan baginya untuk takut, kan?

***

Beberapa hari sejak bala tentara Medang menduduki Lewa, datanglah bala tentara lain. Namun, mereka bukan milik Panuda. Prajurit yang mendekat mengibarkan panji-panji Aji Wurawi yang berwarna merah darah. Dan sang raja sendiri yang memimpin di baris depan, menunggangi kudanya yang perkasa.

Begitu Airlangga mendengar kabar tersebut, ia segera paham waktu yang ditakdirkan sudah tiba. Ia cepat-cepat bergabung dengan bala tentaranya di dinding kota, siap bertempur.

avataravatar
Next chapter