19 Bab 19

Sri Dewi memberi Wijayarama beberapa pukulan samping, lalu tendangan menyapu. Pria itu mampu menangkis semuanya. Ia lompat untuk menghindari tendangan Sri Dewi, kemudian balas menendang pinggang gadis tersebut.

Sri Dewi pun tersentak. Wijayarama bisa merasakan lecutan kakinya memberi hantaman yang menyakitkan di daging dan tulang gadis tersebut. Namun, di luar perkiraannya, tiba-tiba Sri Dewi mengapit kakinya erat. Ia bahkan tak bisa menariknya.

"Hei, lepas!"

Wijayarama mencoba memukul Sri Dewi. Di saat bersamaan, gadis itu mengerahkan segenap kekuatan untuk menarik kaki Wijayarama. Membuat pria itu terseret hingga jatuh. Sri Dewi lekas menyergap Wijayarama yang masih terduduk di tanah. Ia akan melakukan kuncian.

Wijayarama segera menepis tangan Sri Dewi, lalu menghentak kakinya agar lepas dari cengkraman gadis itu. Tapi Sri Dewi masih bersikeras memegangi kaki Wijayarama. Ia memutarnya untuk melakukan teknik kuncian berikutnya.

Keduanya bergulat, saling membongkar dan berusaha mengunci satu sama lain.

Dalam keadaan biasa, mustahil Sri Dewi mengimbangi kegagahan Wijayarama dalam beradu gulat. Maka gadis itu mengeluarkan semua yang ia punya, agar bisa melampaui Wijayarama walau hanya sesaat. Dan ia berhasil. Ia menyelinap ke belakang Wijayarama, mengaitkan kedua tangannya dari bawah ketiak pria itu, lalu menyatukan kepalannya di belakang tengkuk Wijayarama. Pria itu tak bisa memutar bahunya untuk meraih Sri Dewi. Ia juga dipaksa berlutut, hingga dadanya sama sekali tak terlindung.

"Tumanggala! Sekarang!"

Sang pemuda yang sudah menanti-nanti saat ini segera menyalakan ajian andalannya. Ia bertolak seperti angin ribut. Tangan kanannya siap menyambarkan petir.

Wijayarama langsung meronta. Ia tahu bahaya sedang mengejarnya. Sayangnya ia masih juga tak berhasil melepaskan diri dari kuncian Sri Dewi. Kemarahannya melambung.

"Sial! Bocah-bocah gendeng!"

Tumanggala melompat. Telapak tangannya mengeluarkan percikan guntur.

Ajian Gelap Nyampar!

Tumanggala menghantam Wijayarama tepat di jantungnya. Pria itu berteriak tersedak. Ia dan Sri Dewi jatuh tersungkur. Aroma gosong segera tercium di udara. Tak mungkin ada manusia yang bisa selamat dari serangan semacam itu.

Masalahnya Wijayarama bukan manusia—paling tidak ia mendapat kekuatan dari siluman yang sangat sakti.

Pria itu menggeram. Ia mengangkat kepalanya. Sepasang matanya yang kemerahan memelototi Tumanggala. Sedetik kemudian, ia menerkam dari posisi jongkok. Ia melesatkan tinju. Tubuh Tumanggala yang masih berat usai ajian Gelap Nyampar tak mampu menangkis tepat waktu. Perutnya terhantam keras. Darah segar pun menyembur dari mulutnya. Ia rubuh menyusul Sri Dewi yang sudah tak sadarkan diri.

"Hampir saja… kukira aku akan mati," Wijayarama bergidik. Ia memperhatikan lawan-lawannya yang terkapar. Para pengganggu itu sudah menerima ganjaran. Saatnya ia menunaikan perintah Kanjeng Gusti Halimun.

Ia jalan beberapa langkah, lalu berhenti saat menyadari sesuatu.

"Kau perempuan asli, kan?" Wijayarama mendekati Sri Dewi untuk memastikan. "Kau masih perawan, kan?"

Tentu saja Sri Dewi tidak bisa menjawab.

"Tidak ada waktu."

Wijayarama memutuskan untuk menyerahkan Sri Dewi pada Halimun. Ia memanggul tubuh gadis itu di bahunya. Ia segera menuju bangunan candi dengan agak terpincang.

Tumanggala menyaksikan hal tersebut, dan ia tidak ikhlas. Mana bisa ia membiarkan kakak perempuannya dijadikan tumbal siluman babi.

"Mbak…" Pemuda itu memaksa tubuhnya berdiri meski perutnya sakit bukan main. Ia menarik napas dalam-dalam, "Jangan berani-berani!!!"

Suaranya parau. Wijayarama cuma menoleh singkat, kemudian menganggap Tumanggala sudah tak berdaya. Karena untuk tegak saja kedua lututnya gemetaran.

Tapi pria itu salah.

Tumanggala tetap menerjang meski lututnya gemetaran. Tinjunya penuh keyakinan, sama seperti sebelumnya. Wijayarama terpaksa berputar, lalu menendang Tumanggala. Pemuda pun terpental.

"Jangan ganggu lagi!" seru Wijayarama. Ia meludah, lalu melanjutkan langkah.

"Tidak bisa…" erang Tumanggala. Pemuda itu berdiri lagi. Baginya lebih baik mati daripada menyaksikan hal buruk menimpa Sri Dewi. Ia menerjang.

Dan lagi-lagi Wijayarama menendang pemuda itu sampai terpental. Pria itu benar-benar sengit. Tumanggala seolah tidak kenal kata menyerah. Mungkin otaknya sudah miring. Daya tahannya seperti kecoa. Untungnya sedikit lagi Wijayarama mencapai pintu candi.

"Tidak bisa…"

Tumanggala menerjang lagi.

Wijayarama bersumpah kali ini akan menendang anak itu sampai mati. Namun, tujuan Tumanggala saat ini berbeda. Serangannya bukan ditujukan pada Wijayarama, melainkan untuk Sri Dewi. Kalau pemuda itu tak bisa menolong Sri Dewi, maka ia akan membunuhnya. Lebih baik mati ketimbang jadi pengantin siluman babi.

Wijayarama lekas menyadari niat tersebut. Ia terpaksa berputar untuk melindungi Sri Dewi. Akibatnya punggungnya sendiri yang terhantam tapak Tumanggala. Tulang-belulangnya serasa mau remuk. Tapi kemarahannya menggelegak. Ia mengangkat kakinya, kemudian menghantam dagu Tumanggala menggunakan tumit. Pemuda itu ambruk. Kali ini ia tak bergerak lagi. Mungkin mati. Akhirnya Wijayarama bisa menyunggingkan senyum puas.

Pria itu segera meniti anak tangga candi sang siluman babi.

Sedikit lagi.

Selangkah lagi.

Tapi tiba-tiba ia berhenti. Seperti ada sesuatu yang mengejutkannya, yang membuat kedua matanya terbelalak. Tubuhnya menjadi kaku, dan Sri Dewi jatuh dari panggulannya. Ia terhuyung. Ia berusaha berpegangan pada dinding candi, namun tangannya meleset. Ia terjengkang ke belakang, terguling hingga ke anak tangga paling bawah.

"Kanjeng Gusti… Kanjeng Gusti…" cicitnya kesakitan. "Tolong Kanjeng Gusti… beri waktu… sedikit lagi…"

Ia berbicara entah pada siapa. Tumanggala yang setengah sadar melihat pria itu sedang ketakutan, menatap sosok tak kasat mata yang hanya bisa dilihat pria tersebut.

"Kanjeng Gusti… itu…" Wijayarama menunjuk Sri Dewi. "Sudah di depan pint—"

Kalimatnya tenggelam oleh jerit kesakitan. Suaranya melengking tinggi. Laksana orang yang sukmanya sedang dicabut dari ubun-ubun. Bola matanya berputar sampai-sampai yang terlihat hanya putihnya saja.

"Kan… jeng… Gus… ampun…" rintihnya di sela jeritan. Bahkan Tumanggala jadi tidak tega menyaksikannya.

Tapi itu sama sekali bukan proses sakaratul maut. Malahan jauh lebih mengerikan.

Tiap jengkal tulang Wijayarama bergemeletak, berdeformasi. Tubuhnya pun perlahan berubah bentuk, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang meremuk-remukkan lalu menyusun ulang. Kulitnya ditumbuhi rambut-rambut hitam yang lebat. Wajahnya mengeluarkan moncong, dan sepasang taring tumbuh dari rahangnya. Sorot matanya perlahan kehilangan kewarasan, berganti dengan tatapan liar seekor binatang hutan. Ia berubah menjadi seekor babi, makhluk yang selama ini melayaninya.

Dahulu Wijayarama adalah manusia biasa. Ia memperoleh kekuatan setelah bertapa memohon kesaktian pada sang siluman babi penguasa Pegunungan Halimun. Siluman itu pun memberikan kepadanya sebuah mustika ajaib bernama Rantai Babi. Mustika yang begitu dikenakan membuat Wijayarama memiliki ilmu kebal tiada tanding. Ia juga bisa mengendalikan para babi hutan di Pegunungan Halimun, juga menjelmakan mereka menjadi manusia babi jadi-jadian.

Namun, sang siluman babi memberinya syarat yang sangat berat. Setiap malam Kliwon ia harus menyerahkan tumbal berupa gadis perawan. Dan sekali saja ia gagal, maka seperti inilah yang akan terjadi.

Wijayarama jatuh derajatnya dari seorang raja menjadi seekor babi hutan. Di saat yang sama, manusia-manusia babi di Wengker pun berubah kembali menjadi babi biasa. Alangkah kagetnya Aki Tirem menyaksikan hal tersebut. Firasatnya jadi tidak enak. Spontan ia berlari memasuki istana harem. Pertama ia melihat Pondok Putri yang dihuni empat orang gadis. Selanjutnya ia menuju candi. Ia mendapati dua orang yang tergeletak penuh luka dan seekor babi hutan. Babi itu berdiri di samping mustika yang biasanya dikenakan Wijayarama.

Mengertilah sang patih mengenai apa yang telah menimpa sang raja.

Wijayarama gagal menjalankan tugas sehingga kesaktiannya sirna. Dua gadis yang Aki Tirem temukan di hutan bukanlah orang tersesat, melainkan mata-mata Medang. Dan dengan bodohnya ia mengajak para pembunuh itu memasuki Wengker. Tanpa pertahanan manusia babi, bala tentara Medang akan sampai di ibukota esok hari.

Pria itu pun memutuskan untuk kabur, sejauh-jauhnya. Ia tak mau dipenggal Airlangga atas dosanya.

Wijayarama—yang telah menjadi babi hutan—juga melarikan diri. Ia menguik-nguik ketakutan. Sejak saat itu tidak ada yang pernah melihat sang raja lagi.

***

Pada hari keempat bala tentara Medang berusaha menembus Pegunungan Halimun, mereka terheran-heran karena sama sekali tidak mendapat perlawanan dari para manusia babi. Narotama sendiri tak mengurasi kewaspadaan. Ia khawatir sedang memasuki jebakan. Tapi nyatanya mereka berhasil keluar dari hutan sebelum petang.

Airlangga memimpin prajurit-prajuritnya yang lelah dan lapar, yang berjalan seperti gerombolan mayat hidup. Mereka terus mengawasi sekitar, kalau-kalau ada sergapan mendadak. Namun, hingga mereka tiba di daerah pemukiman, tak tampak satu manusia babi pun.

Maka sang raja mengumandangkan seruannya.

"Wahai rakyat Wengker! Saya, Airlangga, datang untuk membebaskan kalian dari tirani Wijayarama!"

Ia terus seperti itu sampai mereka tiba di depan gerbang istana—yang tak dijaga satu orang pun. Hasin lekas memerintahkan prajuritnya untuk menduduki istana. Mereka menyerang dengan ganas. Tetapi ternyata tempat itu sudah hampir kosong. Sebagian besar pejabat melarikan diri, sementara para abdi dalem berlutut memohon ampun.

Kemenangan yang antiklimaks, pikir Airlangga.

Sejujurnya pemuda itu sudah membayangkan pertarungan sengit satu lawan satu dengan Wijayarama. Hanya saja kemana pun mereka mencari, tidak ketemu Raja Wengker tersebut. Tapi ya sudahlah. Sekarang tinggal satu hal yang mengganjal di benaknya. Setelah ini ia akan menyuruh seluruh prajurit mencari Sri Dewi. Kalaupun kemungkinan terburuk terjadi, ia menolak menerimanya sebelum melihat jasad gadis itu dengan kedua mata kepalanya sendi—

Pemuda itu terperangah saat melihat sepasang muda-mudi jalan tertatih mendekati halaman istana tempatnya berada. Mereka adalah Tumanggala dan Sri Dewi yang saling memapah. Sekujur tubuh mereka penuh luka memar. Lima orang gadis mengikuti di belakang mereka.

Entah bagaimana badan Airlangga bergerak dengan sendirinya. Ia berlari menyambut Sri Dewi dan Tumanggala, lalu memeluk mereka erat.

"Kalian selamat!" serunya hampir menangis.

Tumanggala gelagapan karena dipeluk oleh seorang raja, sementara Sri Dewi berbisik serak, "Dewata masih melindungi kami, Sri Raja…"

Tumanggala menceritakan semua yang ia alami, juga nasib Wijayarama. Narotama lekas menginstruksikan pasukan untuk menyebarkan berita kekalahan Wijayarama ke penjuru ibukota. Tirani sudah berakhir. Pelan-pelan penduduk pun keluar dari rumah mereka masing-masing untuk membuktikan sendiri bahwa Airlangga telah membebaskan mereka. Sekarang tak ada lagi yang perlu ketakutan anak gadisnya dirampas secara tidak adil.

Airlangga memerintahkan para prajuritnya menghancurkan istana harem beserta candinya, karena itu adalah simbol kekejaman dan kesesatan. Ia juga mengambil mustika Rantai Babi yang ditinggalkan Wijayarama. Mustika itu tak bisa dihancurkan, jadi ia pergi ke atas pegunungan lalu menguburkannya sangat dalam. Ia harap tak ada lagi orang-orang sesat semacam Wijayarama. Ia harus menegaskan bahwa praktik penumbalan manusia akan mendapat hukuman yang sangat berat darinya.

Dua dari lima raja Tanah Jawa telah gugur. Kini tinggal tiga tersisa—yang menanti pembalasan Airlangga.

avataravatar
Next chapter