17 Bab 17

Setelah bermalam di kaki gunung, Sri Dewi tiba di ibukota Wengker. Berbeda dengan daerah luar baris pegunungan yang diselimuti hutan belantara, bagian dalamnya merupakan dataran luas. Ada banyak pemukiman penduduk dan hamparan lahan pertanian. Beberapa anak sungai mengalir, dan nyiur kelapa melambai-lambai bersama tiupan angin nan sejuk. Siluet pegunungan sekitar yang tertutup kabut pastilah sebuah pemandangan indah yang menjadi makanan sehari-hari bagi warga Wengker.

Tapi apabila diamati lebih dekat, sebenarnya situasi ibukota tak jauh dari desa-desa di luar pegunungan. Tiada penduduk yang menampakkan batang hidung, kecuali yang harus bertani atau menggembala ternak. Kadang beberapa manusia babi berlalu-lalang di jalan dengan memasang ekspresi seram. Mereka seenaknya minum air dari kendi depan rumah warga atau menangkap ayam jago yang melintas.

Tumanggala memperhatikan was-was makhluk-makhluk tersebut.

"Apa Wengker tak punya prajurit manusia?" bisiknya.

"Sepertinya demikian," jawab Sri Dewi.

Aki Tirem menunggangi kudanya begitu gagah, tak peduli meski para gadis susah-payah berusaha mengikutinya. Ia membawa mereka ke sebuah kompleks bangunan yang terletak di tepi danau. Dinding pagarnya dibuat dari bata merah, panjang membentang menutupi seluruh kompleks. Tampak dua manusia babi berjaga di satu-satunya gerbang memasuki tempat tersebut.

"Inilah istana harem milik Sri Raja Wijayarama yang tersohor," Aki Tirem turun dari kuda, lalu menyerahkan tali kekangnya untuk diurus salah satu manusia babi. "Mulai sekarang di sinilah kalian akan tinggal."

Pria itu masuk ke dalam, diikuti para gadis. Sri Dewi dan Tumanggala tak ketinggalan. Tapi tiba-tiba Aki Tirem berbalik seraya mengacungkan telapak tangannya. "Kau! Berhenti sampai di situ! Istana harem ini cuma boleh dimasuki gadis-gadis perawan selir Sri Raja Wijayarama!"

Tumanggala tersentak. Ia tak mengira kedoknya terbongkar secepat ini. Otot-otot tubuhnya langsung menegang, bersiap kalau-kalau pertarungan tak bisa dihindari.

Lalu satu manusia babi mendengus-dengus kecewa. Ia hampir ikut masuk bersama para gadis, kemudian pergi menjauh.

"Dasar makhluk tak beradab," desis Aki Tirem. "Ayo ke dalam."

Rupanya Tumanggala salah paham.

Aki Tirem mengajak mereka ke halaman depan istana yang ditumbuhi berbagai jenis bunga dan pepohonan. Ada guci-guci gerabah berukiran arca, juga patung-patung dewi berukuran kecil. Suasananya benar-benar rindang dan asri.

Setelah melewati taman, mereka bisa melihat sebuah bangunan panggung yang cukup besar. Kayu-kayu penopangnya tampak kokoh. Aki Tirem menapaki anak tangga memasuki bangunan tersebut, yang berupa satu ruangan sangat luas. Ada dua orang gadis yang sudah berada di sana, dan cepat-cepat bersimpuh.

"Ini adalah Pondok Putri, tempat kalian tidur," jelas Aki Tirem. "Di sebelah barat ada kolam pemandian. Tiap hari pelayan akan datang mengantarkan makanan, juga kebutuhan lainnya. Kalau perlu sesuatu tinggal bilang saja pada pelayan. Tapi kalian dilarang meninggalkan kompleks istana harem sampai diambil sebagai selir oleh Sri Raja."

"Kenapa?" celetuk Sri Dewi.

Spontan pria itu menatap nanar Sri Dewi. Meski wajahnya hampir pucat seperti kurang darah, tatapannya benar-benar mencekam.

"Maafkan kelancangan saya!" Kelihatannya terlalu lama berada di dekat Airlangga perlahan mengikis sopan santun Sri Dewi terhadap pejabat. "Maksud saya… Kanjeng Patih, bolehkan saya bertanya?"

"Ya," jawab Aki Tirem ketus.

"Mengapa kami tak boleh keluar?"

"Istana harem ini sejatinya adalah tempat penyucian," ujarnya. "Hanya gadis yang sudah bersuci yang boleh tinggal di istana Wengker. Sri Raja akan kemari setiap malam Kliwon, lalu memilih satu di antara kalian. Jadi saya harap kalian bisa merawat diri baik-baik, agar Sri Raja tidak kecewa."

"Saya mengerti."

Sri Dewi pun berpikir. Akan sulit membunuh Wijayarama apabila mereka dipingit dalam istana harem. Kesempatannya adalah ketika Wijayarama datang memilih selir. Itu pun ia harus terpilih agar bisa cukup dekat untuk melakukan eksekusi.

"Ah—maaf Kanjeng Patih, bolehkah saya bertanya?" ucap Gendis.

"Ya."

"Setelah menjadi selir, apakah nantinya…" Gadis itu memilin-milin ujung kain kembennya. "Apa saya bisa bertemu dengan Ayah saya?"

Aki Tirem menelengkan kepala, lalu mengangguk, "Tentu saja."

Tampak kelegaan di wajah Gendis.

"Dan jangan lupa," lanjut Aki Tirem. "Jangan masuk ke candi di bagian belakang kompleks istana. Itu adalah tempat ritual penyucian terakhir yang hanya boleh kalian masuki bersama Sri Raja."

Gadis-gadis itu mengangguk.

"Sekarang istirahatlah. Sri Raja akan datang besok malam."

Usai mengatakan hal itu, Aki Tirem berjalan keluar dari Pondok Putri.

Semua gadis terdiam, mengamatinya melintasi halaman depan. Saat ia sudah tak terlihat, tiba-tiba sebuah tangisan pecah. Anjani meringkuk di lantai, meraung tersedu-sedu. Tumanggala pun bingung. Medengar jerit prajurit di medan perang sudah menjadi makanan sehari-hari baginya, tapi mendengar tangis seorang gadis yang manis?

"Mbak, bagaimana ini?" Ia berbisik.

Untungnya Gendis bertindak cepat. Ia menemani di samping Anjani, lalu mengelus-elus bahunya. "Sudah, sudah, ikhlaskan…"

"Tapi—" Anjani sesenggukan. "Tapi—"

Gendis menyadari kebingungan Sri Dewi dan Tumanggala. Ia segera menjelaskan, "Sebenarnya Anjani sudah hampir menikah dengan pria yang ia cintai. Mereka berusaha melarikan diri saat Kanjeng Patih datang. Tapi pengawal Kanjeng Patih menangkap mereka, sehingga…"

Kalimatnya terhenti. Mungkin ia tidak sanggup melanjutkan.

Sri Dewi segera membayangkan hal buruk macam apa yang bisa dilakukan manusia-manusia babi itu.

Lalu seorang gadis penghuni Pondok Putri mendekati Anjani. Rambutnya benar-benar panjang, hitam dan terurai. Wajahnya lembut, dan bibirnya semerah delima. Ia mengelus punggung Anjani.

"Jangan menangis, malah seharusnya kamu senang bisa menjadi selir Sri Raja," ucapnya. "Tidak semua gadis diberkahi seperti kita."

"Ratih, jangan asal ngomong!" seru gadis lainnya yang sudah menghuni Pondok Putri lebih dulu. "Tidak semua orang mencintai harta dan tahta sepertimu!"

Gadis berambut hitam panjang itu pun memelototi temannya. "Saraswati, jaga bicaramu. Aku melakukan ini bukan semata-mata demi harta. Aku melakukan ini sebagai pengabdian terhadap Sri Raja."

"Hahaha, omong kosong!" decak Saraswati.

Kedua gadis itu pun bertengkar, sementara Gendis berusaha menenangkan Anjani. Danastri yang pendiam cuma duduk di pojokan.

"Tapi aku dengar…" Sri Dewi angkat bicara. "Semua yang dibawa ke sini tak pernah kembali, dan bahkan orang tuanya tidak diperbolehkan bertemu. Apa itu benar?"

Tiba-tiba Gendis menjadi pucat. "Bukannya tadi Kanjeng Patih bilang kita masih boleh bertemu dengan orang tua kita?"

"Mungkin karena tidak sembarang orang bisa memasuki istana," jawab Ratih.

"Sudah berapa lama Wijayarama melakukan ini? Bila setiap malam Kliwon ada satu gadis yang diambil, berarti sekarang sudah ada ratusan selir di istana Wengker?"

"Kudengar Sri Raja memang sangat perkasa."

"Ratih, apa kau pernah berpikir?" sela Saraswati. "Kalau di istana Wengker ada ratusan selir yang cantik, memangnya Sri Raja akan memperhatikanmu?"

Ratih langsung melempar tatapan bermusuhan pada Saraswati.

"Haha, semoga kau cepat jadi selir ya, agar aku tidak perlu melihatmu lagi di sini," Saraswati menyunggingkan senyum sarkastik.

"Sudah pasti! Makanya besok malam aku akan mengajukan diri pada Sri Raja. Lalu aku akan minta Sri Raja untuk membuangmu!"

Saraswati cuma tertawa geli mendengarnya.

Tumanggala terkesan. Apa gadis-gadis itu tidak tahu kalau saat ini bala tentara Sri Raja Airlangga sedang mengepung Wengker, dan tak lama lagi Airlangga yang agung akan memenggal kepala Wijayarama? Cita-cita Ratih akan menjadi mimpi di siang bolong.

***

Malamnya, Tumanggala merasa berdosa kepada Airlangga. Sementara sang raja bertarung sengit menghadapi gerilya manusia babi di hutan pegunungan, ia malah tidur satu atap bersama gadis-gadis cantik. Jantungnya tak bisa berhenti berdebar.

"Tumanggala, kau tidur di luar!" desis Sri Dewi.

"Tapi—nanti aku malah dicurigai!" balas pemuda itu.

"Kalau begitu tidur di pojokan!" desis Sri Dewi lagi. "Jangan macam-macam, ya!"

"Iya, iya, Mbak…"

Tumanggala berjalan lesu ke ujung ruangan.

"Tunggadewi!"

Ia berjalan terus.

"Hei, Tunggadewi!"

Ia merebahkan diri di pojokan.

"Tunggadewi!" bentak Sri Dewi, akhirnya membuat pemuda itu terkejut.

Tumanggala melihat kakaknya dan Gendis sedang menatap ke arahnya. Ia baru ingat bahwa saat ini namanya adalah Tunggadewi, dan sejak tadi Gendis berusaha memanggilnya.

"Anu, kenapa tidur jauh-jauh?" tanya gadis tersebut. "Ayo bergabung dengan kami."

Tumanggala mengibas-ngibaskan tangannya sebagai penolakan. Ia tak bisa membiarkan suara jantannya terdengar.

"Biarkan saja," kata Sri Dewi. "Dia itu sebenarnya penyakitan, jadi lebih baik kita tidak dekat-dekat."

Apa?! Teganya kau Mbak!!!

Gendis terlihat ragu. Tapi kemudian ia bangkit. Ia mendekati Tumanggala, lalu berbaring di sampingnya.

"Tidak apa-apa," ucapnya. "Biar aku saja yang menemanimu."

Manis sekali.

Tumanggala sampai terkejut. Ia melihat Sri Dewi, yang balas memberinya tatapan kode, bahwa kalau ia berbuat tak senonoh maka ia tak akan bisa melihat hari esok. Pemuda itu mengangguk patuh.

"Tidak apa-apa, nanti kau bisa meminta Sri Raja mencarikan tabib terbaik," ucap Gendis seraya memandangi Tumanggala. "Lagipula kau tetap terlihat cantik."

Pemuda itu jadi senyum-senyum salah tingkah. Jantung berdebar makin kencang. Sepertinya malam ia tidak akan bisa tidur.

Berkali-kali ia memohon ampun pada Airlangga dalam hati.

***

Akhirnya Tumanggala ketiduran juga. Dan ia terbangun saat mendengar suara-suara berisik. Ia membuka mata. Hari sudah pagi. Dan para gadis sedang melepas pakaian. Mereka bersiap-siap untuk mandi.

Sri Dewi tiba-tiba menerkam lalu membekap wajah Tumanggala dengan kain.

"Mbak! Mbak! Aku tak bisa napas!" cicitnya tertahan.

"Diam!"

Gendis menyadari kedua orang itu sedang sibuk sendiri.

"Apa kalian mau ikut mandi?" tanyanya.

"Iya, kami akan menyusul!" jawab Sri Dewi. "Tunggadewi ini penyakitan, jadi sebaiknya mandi terpisah!"

"Baiklah."

Setelah gadis-gadis itu pergi ke kolam pemandian, barulah Sri Dewi melepas bekapannya. Tumanggala megap-megap.

"Aku nyaris lewat, Mbak," ujarnya terengah. "Aku nyaris tidak bisa melihat Kemaharajaan Medang bangkit lagi."

"Apa boleh buat…"

"Jadi… sekarang bagaimana?"

Sri Dewi memicingkan matanya. "Terserah, yang penting jangan ke tempat pemandian. Aku akan mengawasimu."

"Huh, Mbak ini galak ya," celetuk Tumanggala. "Tapi kalau di depan Sri Raja kelihatannya lembut sekali."

Sri Dewi pun menjitak Tumanggala.

Lalu keduanya berjalan-jalan mengelilingi kompleks istana harem sambil memikirkan rencana.

"Manusia babi dilarang memasuki tempat ini," tutur Sri Dewi. "Dan sepertinya memang cuma para gadis yang boleh berada di sini. Pelayan yang membawa kebutuhan pun semuanya perempuan."

"Patih itu?"

"Mungkin dia pengecualian," jawab Sri Dewi. "Aku sudah bertanya lebih detail pada Saraswati. Katanya tiap kali Wijayarama datang ia akan bertanya siapa yang mau dijadikan selir secara sukarela. Kalau tidak ada yang mau, barulah Wijayarama yang memilih."

Keduanya tiba di bagian belakang istana harem, di mana terdapat sebuah bangunan candi yang tidak terlalu besar. Dalamnya gelap-gulita.

"Di sini ritual penyucian terakhir dilakukan. Kalau kita mau mengeksekusi Wijayarama, kurasa di sinilah tempatnya. Tak ada pengawal, pertarungan satu lawan satu."

Tumanggala bertolak pinggang, "Biar aku yang lakukan, Mbak. Kita tidak punya senjata, tapi ajian Gelap Nyamparku bisa menghabisinya dengan sekali serang."

"Tapi ini bisa dibilang misi bunuh diri," ujar Sri Dewi. "Katakanlah kita berhasil. Tapi tetap saja kita berada di sarang musuh. Manusia-manusia babi itu akan membalaskan dendam Wijayarama."

"Bukan kita. Cuma aku, Mbak. Mereka kan tidak tahu siapa Mbak."

"Tak bisa begitu."

"Mbak, Mbak masih diperlukan untuk melindungi Sri Raja. Mbak harus keluar dengan selamat dari tempat ini."

Sri Dewi terkesima menyaksikan keteguhan hati Tumanggala. Anak itu telah menjadi seorang pria berjiwa pendekar. Maka ia tak boleh lagi menghalang-halangi. Ia harus menghormati pengorbanan Tumanggala.

avataravatar
Next chapter