10 Bab 10

Airlangga duduk bersila dikelilingi oleh sejumlah orang. Ada Hasin dan orang-orang kepercayaannya di Laskar Hitam—yang sekarang resmi menjadi prajurit Medang. Kemudian sekelompok arsitek dan ahli tata kota yang didatangkan guna membangun ibukota baru. Pandita Terep dan Sri Dewi juga hadir bersama beberapa pandita dari desa sekitar. Semuanya menatap sang raja, menanti pemuda itu bicara.

"Ah… em… salam." Airlangga mengatupkan telapak tangan.

Orang-orang itu mengikutinya, balas memberi salam. Lalu Airlangga berusaha mengingat lagi, apa yang harus ia lakukan. Mendadak ia jadi pikun.

"Sri Raja!" bisik Narotama dari sampingnya. "Tanya perkembangan perekrutan prajurit pada Hasin."

"Oh iya!" ujar Airlangga. "Hasin, bagaimana?"

"Ya, Sri Raja?" pria itu mengangkat kepalanya. Ekspresinya bingung. "Maaf Sri Raja, apa yang Sri Raja maksud dengan bagaimana?"

"Psst, Sri Raja, bicara yang lengkap!" desis Narotama.

"Eh, iya, Hasin, bagaimana perkembangan… perekrutan?"

"Cukup baik, Sri Raja," jawab Hasin. "Sejak panji-panji Sri Raja Airlangga dikibarkan, banyak pemuda yang tergerak hatinya untuk bergabung. Sekarang ada tak kurang tiga ratus orang yang sudah bergabung dengan pasukan Medang. Meski saya harap bisa lebih banyak…"

"Bagus," Airlangga menganggukkan kepala, lalu terdiam.

"Sri Raja! Tanya lagi!" desis Narotama.

"Tanya apa lagi, Mpu?"

"Proses pelatihannya bagaimana? Apa persenjataannya sudah tersedia? Lalu bagaimana dengan logistik?"

"Ee…" Airlangga tak mampu memprosesnya. Ia berdeham. "Mpu, coba minta kejelasannya langsung pada Hasin."

Narotama menghela napas, "Baik, Sri Raja. Hasin, bagaimana dengan proses pelatihan?"

"Berjalan dengan baik. Ada beberapa bekas prajurit Kemaharajaan Medang, dan mereka sangat membantu saya dalam melatih prajurit-prajurit baru."

"Bagaimana dengan persenjataan?"

"Kami sudah memanggil pandai-pandai besi. Tapi permasalahan ada pada bahan baku. Kami tidak punya cukup uang untuk membelinya."

Narotama bisa memahaminya. Pajak yang ia tarik dari penduduk Kahuripan dan Pasuruan tidaklah seberapa. Terlebih lagi selama ini orang-orang itu sudah ditindas, jadi tidak mungkin pemerintahan baru mengulangi kekejaman yang sama seperti Laskar Hitam.

"Dan sebenarnya ada lebih banyak pemuda yang ingin bergabung menjadi prajurit," lanjut Hasin. "Tapi kita tak bisa membiayainya."

"Kita pikirkan sambil jalan," ucap Narotama. "Bagaimana dengan logistik?"

"Kami sedang membuka lahan-lahan persawahan baru. Kami berharap bisa mencukupi kebutuhan paling tidak lima ribu prajurit. Tapi… yah…"

"Kekurangan modal?"

"Betul."

"Maaf, boleh saya bicara?" tanya Sri Dewi.

"Ya, silakan," jawab Narotama.

"Apakah mungkin… jika Sri Raja meminta bantuan ke Bedahulu?"

Mustahil. Ada satu alasan kenapa setelah Mahapralaya Airlangga lebih memilih sembunyi di pegunungan daripada pulang ke Bedahulu. Ia tidak ingin kembali ke tempat itu. Lagipula Udayana tak akan membiayai pihak yang kelihatannya tak berpotensi.

Airlangga menggeleng.

Diskusi menjadi buntu. Airlangga memasang wajah serius, pura-pura berpikir, padahal kepalanya kosong. Ia tak ada ide.

Namun, Sri Dewi segera berbicara lagi. "Kalau bahan baku logam, saya tahu satu tempat yang memiliki bijih besi. Kepala desa di sana masih memiliki hubungan keluarga dengan Romo."

"Maksudmu Qomar?" ucap Pandita Terep.

"Iya, Romo."

"Benar juga, kalau dia pasti bisa membantu," Pandita Terep mengelus-elus janggutnya yang bijaksana. "Awas saja kalau dia menolak permintaan Sri Raja."

"Saya akan mencoba untuk berbicara dengan beliau," lanjut Sri Dewi.

"Bagus sekali!" seru Narotama. "Saat ini kita tidak memiliki uang, maka dari itu harus memaksimalkan seluruh sumber daya yang ada. Kau sangat hebat, Sri Dewi!"

Pembicaraan terus berlanjut, dan Airlangga hanya mengangguk-angguk saja. Sesekali ia memberi persetujuan saat Narotama bertanya, meski ia tahu itu tak lebih dari formalitas. Wajar saja, karena mereka adalah orang-orang yang berpengalaman.

"Sri Raja, Sri Raja menginginkan desain istana yang seperti apa?" tanya seorang arsitek.

"Ah! Uh…" Airlangga tidak siap memberi jawaban. Sama sekali tak ada gambaran dalam benaknya, "yang bagaimana ya…"

"Maaf, boleh saya berpendapat?" Sri Dewi mengangkat tangannya.

"Oh, iya, silakan."

"Menurut saya, yang terpenting sekarang adalah fungsinya. Istana bisa diperbagus nanti setelah Medang memiliki sumber daya yang lebih banyak."

Sri Dewi berbicara dengan tegap dan tertata, padahal ia adalah yang paling muda di tempat itu. Bisa dibilang cuma anak kemarin sore. Namun, para arsitek mempertimbangkan masukan-masukannya. Hingga tanpa sadar ia sudah mengambil alih diskusi dengan para arsitek. Mereka berbincang sampai titik di mana Airlangga merasa keberadaannya tak bermakna—selain sebagai simbol. Tidak ada ide-ide cemerlang yang bisa terpikir olehnya.

Perasaannya pun menjadi pilu. Ia merasa gagal.

Kalau dipikir, prestasi apa yang sudah ia capai selama ini? Cuma memenangkan satu pertarungan melawan Hasin. Tentu saja membangun kerajaan lebih dari sekadar duel. Ada banyak hal yang harus dipikirkan—yang sebagian besar diurus oleh Narotama.

Kalau begini, kenapa bukan Narotama saja yang menjadi raja?

Jika tiba-tiba Narotama melakukan kudeta, bisa jadi tak ada perubahan berarti.

Semua orang akan segera melupakan Airlangga, dan pembangunan Medang akan terus berlanjut.

Toh selama ini memang Narotama yang mengatur semua.

Kegelapan semakin menggerogoti jiwa Airlangga.

Ia jadi ingin bertapa ke tempat sunyi sampai moksa.

"Sri Raja! Sri Raja!"

"Ya?!" Airlangga tersentak dari lamunannya.

Pandita Terep rupanya sedang mencoba berbicara padanya.

"Apa apa, Pandita?"

"Ada hal yang perlu saya sampaikan. Mengenai alasan yang membuat dukungan yang diterima Sri Raja belum maksimal," ujar Pandita Terep.

"Apa itu?"

"Berdasarkan garis keturunan, dan berdasarkan getih anget yang Sri Raja miliki, Sri Raja memanglah pewaris tahta Kemaharajaan Medang yang sah."

"Lalu kenapa, Pandita?"

"Maaf bila saya lancang, tapi sebagian besar rakyat Medang semenjak Sri Maharaja Sanjaya adalah penganut Siwa. Sementara Sri Raja Airlangga adalah penganut Wisnu. Itu sebabnya penduduk masih menimbang-nimbang sebelum memberi dukungannya."

Airlangga merenung sebentar, lalu mengucap dengan hati-hati, "Betul demikian. Tapi baik Siwa ataupun Wisnu, bukankah kita masih satu akar?"

"Tidak semudah itu, Sri Raja."

Airlangga terenyak. Ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.

"Apa saya harus berganti menganut Siwa?"

"Jangan!" hardik Narotama. Airlangga sampai nyaris terjungkal. "Itu menunjukkan kelemahan. Rakyatlah yang harus mengikuti keyakinan rajanya, bukan sebaliknya."

"Tapi… saya tak terlalu peduli—"

"Tetap tidak bisa. Raja adalah panutan. Harus berpendirian."

"Mpu Narotama benar," timpal Pandita Terep.

Airlangga jadi malu telah mengatakan hal yang salah semudah itu. Namun, kalau memang kebenarannya seperti itu, lantas apa yang harus ia perbuat?

"Apa solusi dari Pandita?" Narotama menyuarakan isi hati Airlangga.

"Yang dikatakan Sri Raja sejatinya memang benar. Penganut Siwa dan Wisnu memiliki akar yang sama. Oleh sebab itu saya akan mengumpulkan pandita-pandita Siwa dari seluruh tanah Jawa, lalu Sri Raja harus meyakinkan mereka.

"Para pandita memiliki pengaruh yang kuat. Apabila seorang pandita di satu desa menyatakan dukungannya pada pemerintahan Sri Raja, maka seluruh penduduk desa akan mengikutinya. Dengan begitu saya yakin bisa meningkatkan pendapatan pajak kerajaan."

Airlangga mengerutkan keningnya, "Bagaimana cara saya meyakinkan mereka?"

"Sri Raja harus berbicara di depan mereka. Saya bisa membantu, tapi pada akhirnya semua bergantung Sri Raja."

"Mereka itu berapa? Ada berapa pandita di seluruh tanah Jawa? Ratusan?"

"Ribuan."

Airlangga hampir pingsan mendengar itu. Ia bahkan kesulitan untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia adalah orang yang tepat. Bagaimana caranya meyakinkan ribuan orang yang berbeda keyakinan dengannya?

"Apakah Sri Raja sanggup?" tanya Pandita Terep. Airlangga tergagap.

"Jangan menanyakan pertanyaan bodoh!" hardik Narotama. "Tentu saja Sri Raja sanggup!"

"Ah, maafkan kelancangan saya."

Tidak, Pandita Terep sama sekali tidak lancang. Orang tua itu sudah lama mengamati tingkah polah Airlangga, dan wajar saja jika ia ragu Airlangga bisa melakukannya.

"Kalau begitu saya akan segera mengirimkan pesan untuk berkumpul."

***

Satu minggu setelah pesan dikirim, pandita-pandita dari tanah Jawa—khususnya wilayah timur—mulai berdatangan ke Watan Mas. Minggu kedua, para pandita terlihat banyak berlalu lalang di jalan. Di minggu ketiga, seolah Watan Mas menjadi kota para pandita. Mereka semua datang menghadiri undangan Pandita Terep, untuk mendengar apa yang akan diucapkan Airlangga.

Namun, tiap kali melihat orang-orang suci tersebut, kecemasan Airlangga kian meningkat. Semakin banyak pandita yang berlalu-lalang di jalanan, semakin banyak waktu yang dihabiskan Airlangga mengurung diri di kamarnya.

Pemuda itu berdoa siang dan malam, berusaha untuk berbicara pada leluhur. Ia berharap Mpu Sindok tiba-tiba merasukinya saat ia berdiri di atas podium, lalu menggantikannya bicara.

"Permisi, Sri Raja!" pintu pondokan Airlangga diketuk pada satu ketika. Ia mengenali suara itu, milik Sri Dewi.

"Masuk."

Gadis itu datang membawakan air dan baki makanan. Lalu ia melihat bekas sarapan yang sama sekali belum disentuh.

"Maaf jika saya lancang, tapi Sri Raja harus makan," ucapnya.

"Aku tidak nafsu." Airlangga sedang berusaha untuk meditasi.

"Sri Raja. Apa saya perlu bicara pada Romo, agar Romo saja yang berbicara dengan para pandita?"

"Tidak, tidak, jangan," jawab Airlangga. "Mpu Narotama akan marah. Seorang raja tidak boleh terlihat lemah."

"Baik. Kalau begitu saya undur diri—"

"Tunggu," cegah Airlangga. "Sri Dewi, jujur saja aku selalu kagum padamu. Menurutku kau sangat hebat. Aku ingin jadi sepertimu. Karena itu… aku tidak akan menyerah."

Sri Dewi pun teringat malam itu, saat seharusnya mereka berpisah di tepi sungai. Kenyataannya Airlangga kembali dan memenangkan pertarungan melawan Hasin. Kali ini pun, ia percaya pada sang raja.

"Aku akan makan," lanjut Airlangga.

Sri Dewi pun undur diri.

Airlangga langsung menyerbu makanannya, menghabiskan semua yang disediakan. Terlepas dari kata-katanya yang terdengar keren barusan, ia tetap merasa cemas.

"Mpu Sindok, datanglah…" Ia memusatkan energi pada getih angetnya. Tapi sang leluhur tidak datang, sebab memang bukan itu kegunaan dari getih anget.

"Sri Raja!" Narotama mengetuk pintu.

"Masuk!"

Pria itu datang dengan terburu-buru, lalu ia bersimpuh. "Sri Raja, saya baru pulang setelah mengumpulkan sisa pajak dari daerah-daerah terluar. Apa yang sedang Sri Raja lakukan?"

"Menyusun kata-kata. Saya harus memenangkan hati para pandita…"

"Sri Raja, sungguh saya telah lalai meninggalkan Sri Raja dalam kesulitan seperti ini! Maafkan saya!" seru Narotama, bersujud seraya menangkupkan kedua tangannya.

"Tidak usah berlebihan," gumam Airlangga.

"Nyatanya saya terlalu sibuk mengurus berbagai hal sampai-sampai melupakan yang sangat penting!" lanjut Narotama.

"Kalau memang penting ya tak bisa ditinggalkan," jawab Airlangga lesu. Hanya dia yang tidak melakukan apa-apa.

"Justru itu! Karena hal-hal penting tersebut, saya jadi lupa dengan yang terpenting!"

Airlangga mulai curiga jangan-jangan Maksud Narotama sebenarnya adalah Airlangga tidak penting.

"Saya akan mengajarkan senjata rahasia pada Sri Raja!" lanjut Narotama.

Airlangga segera terpercik rasa penasarannya. Silat, kanuragan, pemerintahan, strategi perang, Narotama sudah mengajarinya macam-macam. Memangnya masih ada senjata yang belum pria itu berikan?

"Saya menunggu," ucap Airlangga.

"Senjata ini wajib dimiliki para penguasa," jelas Narotama. "Senjata ini bisa menghancurkan, sekaligus menyelamatkan."

"Senjata apakah itu, Mpu?"

"Pidato seorang raja."

Sekali lagi Narotama datang untuk menyelamatkan Airlangga.

avataravatar
Next chapter