36 Ever After

Aini's POV

Siapa bilang kalau menikah itu adalah akhir dari perjalanan cinta?

Menurutku, itu adalah awal dari sebuah kehidupan yang baru. Itu sebabnya ucapan pernikahan adalah 'selamat menempuh hidup baru', karena memang hidup baru menanti kita.

Hidup yang bagai rollercoaster. Kadang diatas, kadang juga dibawah. Kadang berjalan sangat cepat, tapi kadang juga berjalan sangat lambat. Benar-benar tidak ada yang bisa menebak.

Setelah menghabiskan waktu 2 bulan untuk bulan madu, akhirnya aku dan Ara menetap di Jerman, lebih tepatnya di kota Koln. Bukan dipusat kota, melainkan dipinggiran kota yang masih penuh dengan hamparan hijau dan minim polusi. Minim polusi? Bahkan aku tidak bisa mencium asap kendaraan ketika kami berada di kota.

Oh, for your information, Koln berjarak 6 jam perjalanan dari Berlin.

Ara sudah menyiapkan sebuah rumah mungil untuk tempat kami tinggal. Rumah yang cukup berumur dengan 2 lantai. Dengan pekarangan yang tidak terlalu luas. Cukuplah bagi kami yang akan tinggal berdua. Karena Ara bilang tidak ingin terburu-buru memiliki momongan.

Dan ucapan Ara dikabulkan oleh Tuhan.

Ulangtahun pernikahan kami yang kesembilan, aku baru bisa menghadiahi Ara dengan testpack. Ara tentu saja tahu alat apa itu, tapi ketika dia berulang kali menatapku dan tespack secara bergantian lalu meneteskan air mata, aku merasa bahwa Ara benar-benar bahagia dengan apa yang terjadi dalam hidupnya.

Arael Narendra, suamiku yang sangat baik. Dia memperlakukan aku dengan cara yang sangat spesial. Dulu sebelum menikah Ara tidak rewel, maka ketika menikah dia menambah sifatnya menjadi romantis. Ketika anak laki-laki kami sudah besar, Ara tetap memperlakukan aku dengan spesial. Berpuluh-puluh tahun setelah pernikahan kami.

"Karena Ayah memberi kami contoh seperti ini." ucapnya ketika aku bertanya kenapa dia tetap memperlakukan aku dengan sangat spesial.

Ah, Ara selalu bisa membuatku meleleh dengan kata-kata romantisnya.

Ara benar-benar berbeda. Aku berpikir kalau Ara akan tetap menjadi pribadi yang kaku dan terlihat cuek. Nyatanya, dia adalah suami teromantis yang pernah aku temui. Dia juga menjadi Ayah yang baik bagi Marc Wajrapani Narendra.

Bahkan sampai diakhir hayatnya, dia tetap menjadi suami yang membanggakan.

Aku tidak pernah menyampaikan isi hatiku, tentang aku yang mengagumi Ara. Aku hanya berani menuliskannya di buku diary yang selalu aku simpan. Meski Ara tahu aku menulis buku diary, tapi Ara tidak pernah mau membukanya.

"Dear Suamiku, Arael Narendra,

Terima kasih sudah menjadi suami dan ayah yang baik bagiku dan juga Marc. Terima kasih karena kamu mau menerimaku apa adanya meski aku memiliki masa lalu yang suram. Aku nggak tahu apa jadinya aku tanpa dirimu. Aku berharap untuk kesehatanmu dan umur panjang untukmu, agar kamu bisa selalu mendampingi setiap langkahku dan langkah Marc. Aku sangat bangga menjadi istrimu, aku sangat bersyukur bertemu dengan Elna yang selalu memesan susu coklat hangat di kedai tempatku bekerja dulu. Terima kasih. Aku sangat menyayangimu."

***

Ara's POV

Meski kami sudah lama menikah, Aini tetap saja merasa rendah diri kalau mengingat fakta bahwa dia sudah tidak perawan lagi. Aku berulang kali mengatakan bahwa hal itu bukan masalah bagiku. Aku menerima dia apa adanya. Bahwa ketika aku melamar dia untuk menjadi istriku, aku akan menerima apapun keadaannya dan masa lalunya.

Dan gara-gara pemikiran sialan itu, kami harus menunda malam pertama kami. Well, bukan masalah sih, tapi sebagai pasangan yang sah secara negara dan agama, apa salahnya menikmati istri kan?

Oke, disinilah kesabaranku diuji.

Dan kesabaran tidak akan menghianati prosesnya. Aku sangat menikmati malam pertama kami. Dan membuatku ketagihan.

Oke, lupakan.

Sama seperti kehidupan rumah tangga lainnya, kehidupan rumah tangga kami juga mengalami pasang surut. Dan menurutku, selain komunikasi, menjaga ucapan itu hal yang harus benar-benar dilakukan.

You know what, aku pernah bilang ke Aini bahwa aku tidak mau segera memiliki momongan. Bukan karena nantinya aku akan terganggu dengan kehadiran manusia lain di dalam keluargaku. Aku hanya merasa belum siap untuk berbagi Aini dengan orang lain, meski itu anakku sendiri.

Kenapa ya aku bisa berpikiran seperti itu? Oh, karena beberapa temanku mengatakan hal itu. Ketika kamu memiliki anak, otomatis semua perhatian istri akan berpindah ke anak. Tidak hanya istri, bahkan semua orang yang mengenalmu akan lebih perhatian ke anak. Aku berlebihan ya?

Tapi begitu melihat Aini yang sedih ketika dia tidak kunjung hamil membuatku merasa sedih juga. Beruntungnya, penantian kami berakhir ketika ulangtahun pernikahan kesembilan kami. Ketika sedang menikmati mata hari terbenam di Den Haag, Aini memberiku sebuah kotak persegi panjang yang kecil. Aku awalnya mengira kalau Aini menghadiahiku pena, tapi untuk apa pena itu?

Membuka kotak, aku terkejut dengan benda pipih panjang yang diikat dengan pita warna pink. Aku tahu apa benda itu, tapi tetap saja aku bergantian memandang Aini dan benda pipih itu. Ketika Aini menganggukkan kepala, air mataku tidak bisa dibendung. Aku benar-benar bahagia. Karena Aini juga bahagia.

Menemani perjalanan kehamilan Aini membuatku merasa bahwa aku bukanlah laki-laki yang kuat. Aini jauh lebih kuat berkali-kali lipat. Bagaimana rasanya mual dan muntah setiap pagi diawal kehamilan. Bagaimana rasanya kesulita melakukan hal kecil ketika perut membuncit. Bahkan bagaimana ketika Aini berjuang untuk melahirkan Marc untuk bisa menghirup udara dengan kemampuannya sendiri.

Hal itu membuatku semakin jatuh cinta kepada Aini. Lebih jatuh cinta dari sebelumnya. Aku tampak seperti seseorang yang menjadi budak cinta ya?

Melihat perjuangan itu, aku sekali lagi berkata yang seharusnya tidak aku katakan.

"Marc is enough." ucapku, ketika memandangi makhluk kecil yang terbungkus selimut.

"Kenapa?" Aini bertanya.

"Aku nggak mau lihat kamu menderita lagi." jelas kan maksudnya?

Memang Aini baik-baik saja, tapi setelah bertahun-tahun berlalu, ketika Marc sudah besar dan menginginkan seorang adik, kami tak juga bisa mengabulkan permohonan itu. Membuat Marc marah kepada kami. Tidak hanya Marc yang sedih, Aini pun sedih. Aku pun juga sedih.

Beruntungnya kesedihan kami teralihkan karena kelahiran keponakan kami. Anak kembar Bima, juga anak kembar Ilham. Dan juga anak Angga. Yang kesemuanya adalah laki-laki. Yak, Narendra memang diberkati dengan penerus keluarga yang tampan.

Dimasa tua kami, kami menikmati hidup. Masih dengan tinggal di Jerman, masih di Koln juga. Tapi kami sudah berpindah dari rumah awal kami. Rumah yang lebih asri dan juga lebih hijau dari rumah kami dulu. Menikmati masa tua berdua, terkadang kami juga mendapat kunjungan dari Marc dan keluarga kecilnya.

"Aku nggak pernah menyesal menikahimu, karena nyatanya aku bahagia hidup bersama denganmu." bisikku ditelinga Aini.

"Apa ini rayuan?"

Ya ampun, lihat Aini. Bahkan sekarang dia sudah tidak bisa membedakan mana yang rayuan dan mana yang pujian.

-END-

avataravatar