1 Elna

Kedai kopi cukup ramai dipagi hari. Kebanyakan pembeli adalah mereka yang bekerja, karena kopi adalah sahabat para pekerja. Mungkin itu yang mereka pikirkan, karena setiap shift pagi, kedai ramai dikunjungi oleh para pekerja dan anak kuliahan.

Dan sama seperti hari-hari lainnya, seorang pemuda tampan berwajah bule memasuki kedai kopi.

Dia bernama Elna, paling tidak begitulah nama yang dia sematkan pada cup kopinya. Eh, bukan kopi juga, karena setiap hari dia hanya akan memesan susu coklat hangat.

"Susu coklat hangat." suara itu menyita banyak perhatian. Tapi baik aku maupun Arika, teman satu shiftku pagi ini, sudah bisa menebak apa pesanan pemuda itu.

Menerima kartu pembayarannya, aku memproses pembayaran dan meminta pemuda itu untuk menunggu sebentar, sementara temanku menyiapkan pesanan si Elna ini.

"Pesanan atas nama Elna." dengan suara lantangnya, Arika menyebutkan.

Dengan langkah mantapnya, Elna berjalan menuju Arika, mengambil susu hangatnya dan meninggalkan kedai.

Seolah terbius, aku dan Arika mengamati kepergian Elna. Betapa punggung yang lebar dan tegap itu sangat nyaman untuk disandari. Juga dengan rambut halus yang akan menggelitik jemari. Ah, rasanya aku ingin segera menerkam Elna ketika berpapasan dijalan yang sepi.

Hei stop. kenapa pikiran nakal itu menyusup?!

"Lanjutin nanti mesumnya, sekarang kerja dulu." Arika menyenggol lenganku, menyadarkanku dari lamunan nakal itu.

Sekonyong-konyongnya pipiku memerah. Seolah Arika benar-benar bisa membaca apa yang aku pikirkan.

"Please, gue masih normal. Dan dia terlalu upnormal kegantengannya." balasku.

"Kira-kira dia udah punya pacar belum ya?" Arika memulai pembicaraan. Bukan, bukan pembicaraan melainkan ghibah.

"Kalau udah kenapa, kalau belum kenapa?" aku membalik pertanyaan.

"Ya kalau belum, bisa digebet. kalau udah ya cukup jadi penonton aja."

"Butuh sumbangan kaca?" sahutku cepat.

Yah siapa juga yang mau melihat laki-laki pujaannya berjalan bersama dengan perempuan lain? Meskipun dia hanyalah pujaan hati dalam khayalan. Lucu memang, dan itu membuatku ingin tertawa. Menertawai kehaluan diri sendiri tentunya.

***

Ketika shift berakhir, aku segera mengemasi barangku dan bersiap untuk pulang. Badan rasanya sudah sangat lelah dan meronta untuk diistirahatkan. Nyatanya aku tidak segera memenuhi hasrat untuk beristirahat itu.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku langsung menaiki tangga, menuju ke atap gedung berlantai tiga itu. Kebiasaan itu aku lakukan ketika tidak sengaja menemukan jalan menuju atap. Setahuku sih itu tempat terlarang, tapi selama tidak ada yang memergoki, kenapa tidak?

Peraturan ada untuk dilanggar kan?

Disana, aku bisa memandang ke kejauhan. Mengira-ira, apakah rumah orangtuaku akan terlihat dari atap sini. Yah walaupun aku merasa itu tidak akan terlihat, mengingat jarak yang sangat jauh.

Menikmati kesendirian adalah cara yang tepat untuk melepaskan penat dan lelah setelah seharian bekerja. Bahkan aku bisa berdiri diatap gedung sampai matahari tenggelam. Entahlah, rasanya benar-benar menenangkan melakukan rutinitas ini.

Oh iya, rasanya ada yang kurang. Ternyata kita belum berkenalan.

Namaku Nur Aini Tedjo, biasa dipanggil Aini. Aku berusia 23 tahun sekarang dan sudah bekerja di kedai kopi selama setahun terakhir ini. Sebelumnya aku bekerja disebuah restoran terkenal. Oke, ini bukan riwayat hidup, jadi tidak perlu menjelaskan secara rinci.

Jam menunjukkan pukul 17.30 WIB. Sudah waktunya untuk pulang.

Menghela napas panjang, aku merasa berat hati untuk meninggalkan ketenangan ini. But life must go on. Hidup akan terus berjalan meski kita setengah mati menolaknya.

"Astaga." Ucapku penuh keterkejutan, sembari memegangi dadaku.

Bagaimana tidak, aku pikir sedari tadi aku berada diatap sendirian, tapi ternyata tidak. Ada seorang lagi yang berdiri diatap, menikmati keindahan langit sore sama sepertiku. Mungkin.

"Maaf." Dengan menundukkan kepala, aku berjalan melewati dia. Tak berani menatap kearah pemuda itu.

Demi Ibu yang menangisi kepergiaku dulu! Mimpi apa aku semalam bisa bertemu dengan Elna lagi diatap gedung?

Dari pertanyaan itu akhirnya muncullah pertanyaan lainnya. Kenapa Elna ada di atap gedung? Kalau dia ada disini, kemungkinan pemuda itu tinggal digedung ini. Wow, fakta yang sungguh mengejutkan. Dan tentu saja, Arika akan sangat senang mendengar fakta ini.

Ah sudahlah. Apapun yang dilakukan Elna disini, itu bukan urusan dia. Mungkin dia hanya seperti dirinya, pencari ketenangan untuk mengalihkan segala kepenatan hidup.

Menyadari waktu sudah semakin gelap, aku mempercepat langkah. Bukan takut ketinggalan bus ataupun hantu, karena jaman sekarang ini hantu sudah tidak ada dihargai oleh warga negara ini. Aku lebih takut dengan hantu yang menginjak tanah dan bernapsu. Jujur saja, itulah ketakutan terbesar dalam hidupku.

Ditambah lagi aku pernah memiliki pengalaman buruk yang mungkin tidak akan pernah hilang. Bahkan sampai aku mati.

Tiba-tiba aku merasa ada yang mengikuti. Iya, langkahnya terdengar mendekat. Ketika aku mencoba mempercepat langkahku, langkah kaki itu juga mempercepat langkahnya. Langsung saja pikiranku berkelana. Apa dia memiliki niat yang tidak baik terhadapku?

Hampir saja aku menangis, tapi aku masih bisa menahannya. Ingat, menangis tidak menyelesaikan masalah. Apalagi membuat penjahat kabut ketakutan.

Ya ampun, kenapa juga malam ini jalannya sepi? Batinku sewot.

"Hei." Dia berhasil meraih tanganku.

Terkejut? Jelas. Hal pertama yang aku pikirkan adalah berteriak. Maka dari itu, aku berteriak sekencangnya dan mengayunkan tas yang ada dipundakku. Berharap tas itu akan mengenai dia dan memberikan kesempatan bagiku untuk lari.

Gagal.

Tangan itu terus saja mencengkeram tanganku. Bahkan kini kedua tangan itu memegangi pundakku. Air mata yang berusaha aku bendung pada akhirnya luruh juga. Ketakutan yang berusaha aku tekan, berhasil naik kepermukaan.

Ya Tuhan, apa ini memang jalan hidup yang harus aku jalani? Rasa putus asa itu memenuhi hatiku.

"Hei, ini aku." Suara itu berusaha mengambil alih otakku.

Tunggu. Sepertinya aku kenal suara itu.

Perlahan aku membuka mata. Elna!

Elna?

***

"Maaf, aku nggak bermaksud kasar. Apa masih sakit?" dengan penuh penyesalan aku meminta maaf. Dan Elna hanya menggelengkan kepalanya.

Ingin rasanya aku menyentuh wajah itu, berharap bisa mengobati lebam itu, tapi rasanya itu tidak sopan. Apalagi kalau mengingat akulah orang yang sudah membuat wajah tampan Elna menjadi cedera.

Oke, ini kesalahanku. Karena rasa panik, aku mengayunkan tas yang aku bawa dan berhasil mengenai orang itu. Elna. Tapi siapa sangka, kalau nyatanya wajah putih mulus itu akan dengan mudahnya menjadi lebam hanya karena terkantuk tas. Well, memang ada besi didalam tasku, untuk berjaga-jaga kalau ada kejadian seperti tadi.

Elna lalu menyerahkan pin nama kearahku. Setelah aku menerimanya, dia langsung berbalik untuk pergi.

Ya ampun, lihat pemuda tampan itu. Dia merepotkan diri mengembalikan pin nama kepadaku, tapi apa balasannya? Memberinya timpukan yang membuat wajah tampannya lebam? Great! Aku adalah orang yang sangat tahu bagaimana berterima kasih!

Oke, seharusnya aku mengucapkan terima kasih dengan benar. Karena meski aku hanyalah anak buangan yang besar di panti asuhan, tapi Ibu selalu mengajarkan aku untuk berterima kasih kalau ada seseorang yang membantuku.

Sayangnya Elna sudah berjalan menjauh. Iya kalau Elna memang tinggal di gedung itu, mungkin aku bisa menyusulnya. Kalau tidak? Hanya akan mencari masalah untuk diri sendiri.

avataravatar
Next chapter