3 suka bengbeng

Seperti pagi biasanya, aku menempuh perjalanan ke sekolah dengan menggunakan sepedaku atau ya mungkin terkadang aku berjalan kaki. Jarak antara rumah dan sekolah cukup dekat. Aku hanya mengurangi polusi. Padahal papa juga sudah membelikan scoopy untukku. Tapi, kurasa lebih nikmat dengan bersepeda. Aku bisa merasakan tiupan angin pagi lebih lama. Tentunya juga dengan menikmati pemandangan sepanjang jalan lebih leluasa.

Saat berada di dekat lampu merah, netraku tak sengaja menangkap seorang ibu yang aku kira umurnya 60 tahunan. Beliau menenteng keranjang belanjaannya dengan susah payah. Ketika bus datang, wajahnya berbinar. Seakan rasa lelahnya setelah berbelanja di pasar terangkat begitu saja.

Aku tersenyum dibalik maskerku.

Mataku masih menatap sekeliling. Lalu berhenti pada anak kecil yang menjajakan tissue kepada para pengendara di lampu merah. Aku kembali tersenyum. Apalagi saat melihat wajah bebinar anak itu ketika menerima uang sepuluh ribu.

Entah akan ada berapa banyak syukur hari ini. 

Aku sengaja berangkat lebih pagi daripada biasanya. Aku ingin melihat adek kelas yang sudah merampungkan MPLS minggu lalu dan juga ingin menikmati coklat panas di kantin Bu Ema.

Sepedaku sudah terparkir di tempat yang seharusnya. Selanjutya, aku melangkahkan kaki menuju kantin.

"Bu Em, coklat panas satuuu," ucapku dengan teriakan yang menurutku tidak terlalu keras.

"Siap, Dara," Bu Ema ini cantik. Padahal umurnya sudah 50 tahun. Beliau juga easy going, jadi memang lebih enak untuk diajak bicara. Curhat pun tidak masalah. Asalkan selagi Bu Ema tidak sibuk sekali.

Setelah menunggu lima menit, coklat panas terhidang di depanku, "nih coklat panasnya, special dari Bu Ema beng beng tiga bungkus gratis buat Dara."

Aku tersenyum sumringah. "Wah makasih banyak, bu. Tau aja Dara suka beng beng."

Bu Ema ini momable sekali, beda sama mama yang pelit. Kasih jajan kalau sedang baik saja.

Bu Ema duduk di sebelahku. "Kok ibu lihat kamu tiap pagi pakai masker kenapa, Ra. Apa engga sumpek? Kamu kan naik sepeda, kadang jalan kaki sampai lari-larian lagi."

"Biar ga jerawatan kena debu, bu. Hehehe."

Tentu saja. Aku tidak mau skincare-ku sia-sia. Mahal.

"Bisa aja, Dara." Bu Ema tersenyum menanggapiku.

"Kamu lihat tuh anak-anak baru. Masih kinyis-kinyis ya, Ra?"

"Namanya juga masih baru, bu. Lama-lama juga kelihatan itu stress-nya."

Aku dan Bu Ema tertawa. Kami melanjutkan obrolan sampai 15 menit kemudian aku memutuskan untuk pergi ke kelas. Sebentar lagi akan bel.

Di sepanjang koridor, tak banyak yang meyapaku. Aku juga sebaliknya. Mungkin hanya beberapa adik kelas yang takut kepada seniornya. Dan juga beberapa murid angkatan atas yang mengenal wajahku.

Aku ini tidak populer. Mungkin karena aku tidak ikut organisasi dan keluar kelas hanya untuk ke kantin. Sudah kubilang bukan kalau aku ini no life. Tidak banyak berinteraksi, kalian mungkin bisa sebut aku introvert juga.

Teman sekelasku berebut menyontek PR matematika. Aku santai saja, toh aku sudah mengerjakannya tadi malam.

"Wah, Ra lo parah, ya? Mentang-mentang udah ngerjain terus berangkat siang. Songong!" wajah Daisy terlihat garang.

Aku tertawa saja. "Gue tadi di kantin, lo juga ga nyari. Ga ada whatsapp gue pun."

"Stress emang, bukannya ke kelas malah ke kantin."

Aku makin terbahak. Lalu aku duduk di samping Daisy yang marah-marah. "Udah selesai, kan? Ya udah ga usah ribut."

Kulihat dia hanya menipiskan bibirnya kesal. Ku raih satu bungkus beng beng yang diberikan Bu Ema tadi. Supaya moodnya kembali. "Dih nyogok pakai beng beng." Namun tak urung ia menerimanya juga.

"Bersyukur."

Dia hanya menganggukkan kepalanya sambil membuka bungkus beng beng.

Aku menumpukan kedua tanganku di meja. Niatku inin menaruh kepalaku di atas tumpuan itu terurungkan karena bel sudah berbunyi. Karena ini hari Senin, maka aka nada upacara.

Sepanjang upacara aku dan teman-temanku selalu mengeluh panas. Hari ini memang cuaca cukup cerah. Aku berada di barisan perempuan paling belakang, bersama Daisy dan di tengah kami ada Aksa. Biasanya Nada yang mengisi, tetapi ia tidak masuk.

Selama satu jam itu aku dan teman-temanku di barisan belakang tidak khidmat. Berbicara sendiri dan terkadang berjongkok untuk berteduh. Sesekali mendapat teguran dari guru yang selalu memeriksa barisan.

Hal itu lazim. Sangat.

"Parah, ini udah satu jam lebih lima menit. Amanatnya kapan selesai sih? Panas banget tau," gerutu Aksa.

Tentu aku mendengar jelas. Dia ada di sampingku.

"Lo cowok gentle dikit dong, Sa. Kodrat cowok itu ya panas-panasan. Gitu aja ngeluh," sahut temanku di belakang, Daffi namanya.

"Heh skincare gue nih mahal ya. Jangan sampai luntur. Gue nih pakai merk ternama ga kayak lo pakai minyak bekas goreng mendoan," aku tertawa mendengar itu. Kocak sekali. 

Ezhar agak maju ke depan mendekati Aksa, "nih gue lap biar mampus sekalian," Ezhar menyapukan tissue yang ia pakai untuk mengelap keringatnya.

Aku dan Daisy benar-benar terbahak melihat muka merah Aksa dan muka tengil Ezhar. Sampai terdengar dari arah depan sana. "Itu yang di belakang kenapa berisik sekali? Bisa diam tidak?"

"BISAAA, PAK."

Kelasku memang kompak. Terdengar beberapa cibiran dari kelas sebelahku. Siapa peduli? Kami selalu menikmati kebahagiaan kami denan cara tersendiri.

Di depanku, teman perempuan sekelaku juga asik berbincang. Walau tak seramai yang d belakang. Kulihat kelas lain juga. Lumrah sekali.

Oh, ya. Si Aksa ini dulu pernah menyatakan perasaan kepadaku dan tentu saja aku tolak, tapi kita malah akrab sekarang. Tidak seperti orang lain yang akan terlihat canggung ketika perasaaannya sudah tertolak. Aku cukup senang karena Aksa tidak mempermasalahkan perasaannya. Dia tau kalau itu hanya cinta monyet biasa dari anak umur 16 tahun.

Umurku terbilang cukup muda daripada teman sekelasku. Jika mereka sekarang rata-rata umur 17 tahun, maka aku masih 16 tahun. Muda bukan? Karena itulah wajahku juga terlihat masih seperti anak-anak, ya mungkin karena aku punya babyface juga. Hahaha.

.

.

Suasana kantin terlihat sangat ramai. Aku, Daisy, Ezhar, dan Aksa memilih memesan makanan lalu membawanya ke kelas. Untung saja kelasku dengan kantin sangat dekat. Jadi, tidak apa-apa jika membawanya ke kelas.

Lagipula untuk makan di tempat ramai seperti itu akan terlihat canggung. Kebanyakan pengisinya juga anak laki-laki. Aku kan anak introvert, tidak pandai bergaul, tidak suka keramaian. Maka daripada aku merasa tidak nyaman, lebih baik menghindari bukan?

Di kelas suasananya juga lumayan ramai, tapi setidaknya aku masih bisa makan dengan tenang karena aku berada di wilayahku sendiri. Toh, temanku juga tidak masalah kalau di kelas.

avataravatar
Next chapter