7 pundak gue ada kalau lo lupa

Sudah beberapa kali aku menuliskan naskah ke media sosial yang kupunya. Namun, mungkin memang tidak semenarik itu untuk dibaca. Ya, walaupun begitu aku tidak mempermasalahkannya. Aku tidak peduli akan seberapa banyak audiens yang menyimak naskah murahanku itu, asal aku sudah mengunggahnya maka bebanku sudah sedikit berkurang.

Minggu ini seperti biasanya aku hanya akan berdiam diri di rumah. Tidak ada hal yang membuatku tertarik untuk melakukannya, selain rebahan di kasur tercinta. Entah sampai kapan aku akan menghentikan kebiasaan buruk ini. Tapi, sebenarnya aku cukup produktif jika memang di kepala kerasku ini sedang banyak ide.

Tapi, sepertinya tidak untuk hari ini.

"Kenapa gabut harus diciptakan di tengah remaja jompo gini?" ucapku pada diriku sendiri. 

"Lelah hayati Ya Tuhan."

Aku meraih laptop yang menyala di meja belajarku dan mulai menuliskan beberapa kalimat yang mungkin nantinya akan berpadu menjadi paragraf yang tidak jelas.

Aku kehabisan ide. Literally kehabisan ide. Akhirnya kalimat kususun kembali kuhapus dan laptop kembali kumatikan. Dan akhirnya kembali merebahkan diri. Astaga minggu ini sangat membosankan. Aku bingung akan melakukan aktivitas apa di minggu ini.

Kring… kring… kring

Ponselku berbunyi menandakan ada seseorang yang ingin melakukan panggilan suara kepadaku.

Ezhar

Tumben sekali dia menelponku di pagi hari. 

"Ra, di rumah ga?" Pertanyaan macam apa ini?

"Menurut lo aja." 

Aku memutar bola mata, malas kali menanggapi orang satu ini. 

Ezhar terkekeh di seberang sana. "Gue tebak si lagi di rumah. Lo kan anak rumahan. Btw, gabut ga? Jalan yuk! Ada café yang baru buka, mayan promonya sis ga bikin dompet kering ini mah."

Boleh juga sebenarnya ide Ezhar ini. Aku bisa sekaligus mengerjakan naskahku minggu ini.

"Boleh, ketemu disana aja, Ja. Gue pengen bawa sepeda," ucapku.

"Oke deh, see u, Ra."

Setelahnya, Ezhar mematikan sambungan telepon denganku. 

Aku juga segera bersiap. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang dan aku sama sekali belum mandi. Memang hari minggu itu adalah waktu yang tepat untuk bermalas-malasan mandi.

Aku segera menuju ke kamar mandi. Mengingat mandiku cukup lama, aku tidak tega jika nanti Ezhar menungguku sendirian disana. Ezhar ini walaupun orangnya menyebalkan, ia tetap selalu menjadi orang terbaik dalam pertemanan. 

Dia selalu mengerti banyak hal yang diinginkan oleh temannya. Dia selalu mengerti perasaan temannya. Apakah ia sedang sedih atau senang, semuanya dia paham. Tak heran jika memang banyak orang yang menyukainya. Dia sangat pengertian.

.

.

Selesai bersiap, aku menuju ke depan meja rias untuk merias wajahku, sedikit. Mengingat beberapa hari lalu anemiaku kambuh, wajahku jadi terlihat sedikit pucat. Aku ingin tampil fresh di minggu yang sebenarnya agak menyebalkan.

Setelan kaos putih, cardigan milo, dan celana kulot cream menjadi outfit-ku hari ini. Jangan lupakan sepatu ventela pemberian sepupu kesayanganku yang jarang sekali aku pakai.

Aku membawa netbook, ponsel, dan dompet dalam totebag-ku. Kalau dilihat-lihat, sebenarnya aku ini sudah cocok menjadi anak kuliahan. Hahaha. Aku menuju garasi untuk mengambil sepeda kesayanganku yang juga lama tidak kupakai. Kalau mengendarai sepeda seperti ini, aku jadi teringat drama-drama korea. 

Menyusuri jalanan yang lumayan ramai di siang ini tak membuatku mengeluh akan panas atau macet. Mungkin setelah membayangkan caramel machiatto membuatku bersemangat dan moodku mulai membaik.

Ternyata café yang dimaksud oleh ezhar adalah "Youth Café" milik teman mama.

Youth Café ini tidak hanya satu di Indonesia, mungkin sudah ada 5 cabang termasuk yang baru buka disini. Dulu semasa aku di Palembang, café ini juga menjadi daya tarik tersendiri. Karena nuansa alam dan remaja yang dipakai sangat memanjakan mata. Belum lagi menu dan kopi buatan café ini yang rasanya sangat memenuhi wish mulut dan perut.

Cukup ramai kalau dilihat-lihat. Padahal ini masih siang. Mungkin karena baru buka dan banyak promonya kali ya?

Aku melangkahkan kakiku dengan riang menuju meja 05 yang diberitahu Ezhar tadi. Kulihat disana Ezhar dengan kaos putih dan celana creamnya sedang bermain hp. Di meja sudah tersedia vanilla latte dan caramel machiatto yang kutebak baru saja diantar.

"Hai, Ja!" sapaku sambil menepuk pundaknya. Ia terkejut. "Pas banget minumannya baru aja dateng."

Aku yang baru saja mendudukkan tubuhku menoleh ke arahnya. "Iya kah? Mantap kalo gitu, gue ga perlu nunggu lagi hehe."

"Nyengir lo. Ngapain bawa laptop, Ra?"

"Init uh netbook, bukan laptop. Beda," cibirku.

Ezhar hanya memutar bola matanya. "Bodoamat kek mau laptop mau netbook, ngapain dibawa? Ada tugaskah?"

Aku menggeleng. "Terus?"

"Sengaja gue bawa kesini, mau bikin naskah. Kasian nih readers gue udah nungguin naskah manjalita dari gue," ucapku dengan penuh percaya diri.

"Hilih."

Aku mulai mengetikkan sesuatu ke dalam netbook ku. 

Ezhar memanggilku. "Ra."

"Hm."

Kudengar suara kursi berderit. Ezhar mendekatkan kursinya ke meja. "Tujuan gue kesini tuh mau ngobrol bukannya didiemin terus ngang ngong ngang ngong liatin lo naskahan."

Aku terkekeh. "Sorry deh my only one Eja."

"Sial gue keselek."

Tawaku bisa terdengar sampai ke bar. Lucu sekali Ezhar ini. "Apaan sih gitu doang."

"Gue tuh sebenernya mau lo ajak kesini karena gue butuh inspirasi buat naskahan."

"Kalo mau naskahan mah mending pergi sendiri, miris banget gue ngajak temen biar ada yang diajak ngobrol eh malah ditinggal pacaran sama laptop."

Muka Ezhar terlihat tidak seceria biasanya. Mungkin ada masalah? Aku kembali menutup netbook-ku dan kembali memfokuskan diri ke Ezhar. "Ada masalah kah?"

Ezhar menatapku. Lalu ia menunduk. "Paham banget lo. Biasa, orang tua gue, Ra."

Aku yang paham apa yang dimaksud Ezhar kini beralih tempat duduk di sampingnya. Aku ingin lebih bebas menenangkan dia.

"Kali ini ada apa, Ja?"

Ezhar mulai menceritakan apa yang menjadi maslaahnya bersama orang tuanya. Aku mendengarkan dengan baik kata demi kata yang ia ucapkan. Sampai pada akhirnya, suara Ezhar terdengar sangat lemah. Isakan mulai keluar dari bibir tebalnya.

"Pundak gue ada kalau lo lupa," ucapku.

Dia masih diam di tempat. Kutarik kepalanya hingga menyender di pundakku. 

"Ja, gue ngerti lo capek. Gue disini ada buat apa sih? Buat dengerin lo cerita kan, buat dengerin kalau lo lagi ga baik-baik aja kan? Lo juga gitu sama gue. kalau ada apa-apa langsung cerita aja. Jangan dipendem dulu terus kalau sakitnya udah kerasa banget baru lo mau cerita."

Ezhar hanya mengangguk dan tanganku kini mulai aktif mengelus rambutnya.

Aku mulai berkata lagi. Mengucapkan hal yang mungkin bisa membuatnya lebih tenang. Walau, aku belum tau apakah itu benar atau tidak.

avataravatar
Next chapter