2 PR matematika udah?

Omelan mama di pagi ini berhasil membangunkanku dari mimpi indahku.

"Shit! Dikit lagi gue ciuman sama om Joong Ki," kesalku.

Teriakan dari mama masih belum aku hiraukan. Aku bergelung di kasur. Mencari posisi yang nyaman untuk melanjutkan mimpiku lagi. Sialnya tidak bisa.

Dengan terpaksa aku bangun dan langsung menyeburkan diri ke kamar mandi.

Hari ini weekend, waktunya aku bermalas-malasan. Tapi mama dengan seenaknya menyuruhku ke supermarket untuk belanja bulanan. Biasanya juga mama yang belanja. Entahlah. 

Aku malas. Sungguh.

"Kamu tuh sekali-kali weekend keluar, bantu mama. Ga cuma nonton myul mang myul mang terus. Anak perawan kok malesnya naudzubillah. Wifi-nya mama cabut tau rasa kamu."

Kalau mama sudah ngomel panjang dan mengancam untuk mencabut wifi, mana bisa aku menolak.

"Mama traktir Ai es krim loh ya, Ai gamau tau," sengaja aku pura-pura untuk sedikit merajuk. Huh, bukan aku sekali.

"Terserah mau belanja apa. Kamu mau beli baju juga monggo," mama the best.

Dengan setelan sweater crop top abu-abu dan training hitam, aku siap untuk membelikan mama kebutuhan bulanan. Sebenarnya enak juga sih kalau disuruh keluar begini, bisa refreshing.

Troliku sudah hampir penuh denan belanjaan mama. Masih kurang membeli mentega juga mozzarella. Selepasnya, aku pergi mencari es krim dan yogurt. Aku sempat membeli beberapa buah juga tadi. Masih pakai kartu mama, aman.

BRAK

Aku tidak sengaja menabrak seseorang dengan troliku. 

Ampun dah cemilannya jatuh semua.

"Aduh maaf, mas, saya ga lihat tadi," aku masih punya nurani untuk membantunya memungut cemilannya yang jatuh.

Lagian kenapa sih tidak pakai keranjang saja. Walaupun cuma sedikit tapi kan biar tidak ribet untuk membawanya.

"Saya tadi juga ga lihat kok, mbak, saya minta maaf juga," astaga suaranya deep sekali. Mirip suara Roronoa Zoro. Aku mleyot.

Aku tersenyum kecil dan mengangguk.

"Pakai keranjang aja, mas, biar ga terlalu ribet bawanya," baik buka aku memberi saran?

Mas itu hanya terkekeh. "Iya, mbak. Terimakasih ya?"

Sekali lagi aku mengangguk. Aku berlalu untuk mengambil beberapa cemilan juga. Mumpung masih pakai kartu mama.

Jangan kalian pikir setelah aku bertemu mas-mas berwajah tampan itu aku langsung stalking dimana-mana. Aku tidak segabut itu kawan-kawan. Aku hanya terkagum dengan suaranya saja.

Mungkin akan lain ceritanya jika aku mengajak Daisy, dia pasti akan berkoar-koar. Entah itu menanyakan instagram atau twitter.

Selesai urusan belanja aku tidak berniat untuk nongkrong-nongkrong lagi. Aku sudah rindu dengan kasur dan wifi di rumah. 

"Mamaaa. I'm home," tarzan! Suka sekali berteriak. Jangan dicontoh ya.

Mama langsung berjalan menghampiriku. Diambilnya kantong belanjaan di tanganku. "Anak mama cantik banget. Mana kartunya," yaelah baru juga bahagia pegang kartu mama, sudah diminta lagi aja.

"Mama mau bikin apa sih?"

"Dimsum mozzarella," mataku langsung berbinar. Tumben sekali mama mau ribet masak dimsum. "Ai bantuin mama ya?"

Mama mengangguk. Tentu saja mama mau sekali aku bantu karena memang jarang aku turun ke dapur untuk bantu mama. Berhubung ini makanan kesukaanku, jadi aku semangat untuk bantu mama.

Kayaknya memang mau ada acara di rumah. Mama membuat dimsum banyak sekali. Atau mungkin mama memang lagi pengen aja?

.

.

Seperti biasanya, malam adalah waktu yang sangat-sangat pas untuk menonton drakor. Tapi biasanya, kalau tidak ada drakor yang aku tonton aku lebih memilih untuk mendengarkan musik. Entah itu music indie, pop, jazz, kpop, semua aku dengarkan. Jika menurutku itu memang bagus.

Papa Thanos hari ini tidak pulang, mama juga sedang pergi ke rumah sepupu. Aku kesepian di rumah. Ya walaupun aku memang suka suasana ini. Aku jadi bebas untuk bermalas-malasan. 

Kadang aku suka heran dengan diriku sendiri. Aku ingin maju, tapi aku minim usaha.

Di sekolah, aku bukanlah murid pintar ataupun rajin, aku juga tidak cantik. Ya walaupun tubuhku memang bisa dibilang bagus. Aku ini tukang tidur. Kalau bosan suka main game, bukan mobile legend, free fire, ataupun PUBG. Aku ini manusia biasa yang bisanya cuma main water color sort. Hahaha.

Aku tidak memiliki banyak teman, di kelas pun aku hanya sanggup untuk akrab dengan beberapa orang saja. Kalau untuk teman dekat, jawabanku tentu Daisy. Dia adalah satu-satunya teman untuk berkeluh kesahhanya dia satu-satunya.

TRIIIING TRIIIING

"Halo, Ra. PR matematika udah?"

"Yoh jelas. Belumlah. Gila kali."

"Kata anak-anak banyak. Minta contekan sana."

"Dih, nyontek. Gue ga enak sama yang gue maintain contekan. Mending ngerjain sendiri."

"Emang lo bisa?"

"Kampret"

"Ya udah sana kerjain! Besok dateng pagi gue nyontek. Bye!"

TUT

Ada ya teman begitu?

Ya memang nyatanya ada.

Aku dan Daisy memang seperti itu. Kami jarang bertukar pesan. Lebih enak untuk langsung telepon saja. Lebih simple dan tentunya tidak bertele-tele.

Setelah mendapat peringatan dari Daisy, aku membuka modul matematika dan menyiapkan kamera ponselku untuk searching di aplikasi. Itu juga termasuk usaha, kan?

"Tau begini, dari dulu gue pake ni aplikasi. Ga usah repot-repot ngikut bimbel," gerutuku.

Aku memang anak yang kurang bersyukur. Sudah enak orang tuaku akan memberikan sarana dan prasarana yang aku butuhkan demi masa depanku, tapi aku masih saja bergantung pada teknologi yang tentunya membuatku semakin bodoh dan malas.

Terkadang aku berpikir bagaimana perasaan orang tuaku mempunyai anak useless seperti ini. Terkadang pula aku menyesal, tapi tetap aku ulangi. On repeat.

Mama papa maafkan anakmu ini.

Kalau sudah larut begini, kebiasaanku bukannya tidur tapi malah overthinking. Pikiranku berkelana ke masalalu. 

"Ai, jadi kebanggaan mama papa, ya"

"Ai harus menjadi hebat"

"Ai jangan buat mama papa kecewa, ya"

"Ai mama dan papa sayang sama Ai, apapun yang Ai mau pasti mama papa berikan"

Air mataku mengalir begitu saja ketika perkataan mama dan papa terngiang di kepalaku. Selama 17 tahun aku hanya bisa memberikan rasa syukur karena mama dan papa punya aku. Tapi, aku sama sekali belum bisa membanggakan mereka seperti yang mereka mau.

Seperti aku bukanlah harapan yang baik untuk masa depan yang sudah menanti. Bagaimana bisa aku hanya berleha-leha tanpa usaha sedangkan mama dan papa berkerja untuk memenuhi kebutuhanku, terutama pendidikanku.

Aku yakin mereka pasti akan menyesal suatu saat nanti karena mempunyai anak hopeless seperti aku.

Aku selalu mengulangi kegiatan nostalgia dan perenungan diri itu setiap hari. Tapi nyatanya aku masih saja mengulanginya. Menakjubkan bukan?

Sungguh aku juga ingin seperti teman-temanku yang rajin, pintar, dan selalu membawa rasa bangga untuk orang tuanya.

Iri? Tekadang aku merasakannya.

avataravatar
Next chapter