8 kalian jadian kah?

"Lo tau ga, Ra? Gue sempet mau nyoba alkohol saking stressnya. Bodoh banget kan?"

"LO GILA?!"

Tentu aku terkejut dengan apa yang Ezhar ucapkan. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar benda haram itu disebutkan olehnya. Bukan aku ingin marah, tapi tentu saja hal itu tidak baik. Mungkin dia hanya ingin mencoba kala dia sedang stress saja, tapi itu bisa jadi candu kan?

Sore ini, aku dan Ezhar memutuskan untuk pergi ke alun-alun. Mencoba menikmati udara segar yang mungkin bisa saja merilekskan pikiran. Sebenarnya, itu adalah ideku. Melihat Ezhar yang beberapa waktu lalu bertemu denganku dalam keadaan terpuruk, tentu aku tidak mau melihatnya lagi.

Lihat sekarang, dia bahkan tidak melunturkan senyum sedari tadi. Itu tandanya suasana hatinya sudah membaik. 

"Ja, lo ga lupa kan? Kalau sekarang ini gue selalu siap buat jadi tameng lo, buat jadi sandaran lo. Ga cuma sekarang sih, dari kemarin juga iya. Lo nya aja yang ga peka terus milih buat nyimpen semuanya sendiri," ucapku panjang lebar.

Ezhar berhenti melangkah untuk sesaat. Dia berbalik kepadaku—yang ada di belakangnya. "Gue suka kalau lo bawel begitu, Ra."

Senyumnya manis sekali.

"Serius dulu bisa ga?" Aku kesal karena ia malah meluncurkan kalimat gombalan itu. Meski tidak berefek kepadaku.

Ezhar perlahan melangkah kembali kepadaku. Ia menggenggam tanganku erat, seperti anak yang tak ingin kehilangan ibunya di keramaian.

"Ra, thank you ya. Makasih udah mau dengerin keluh kesah gue. Makasih udah mau jadiin diri lo sebagai tempat gue pulang. Makasih udah pinjemin pundak lo yang sebenarnya juga rapuh ini," ucapnya sambil tersenyum, lagi.

Tanganku sontak membalas genggamannnya. Mau tak mau aku juga ikut tersenyum. "Lo makasih lagi gue tampol loh. Udah ga usah mellow mellow lagi. Bosen dari kemarin mellow mulu."

Ezhar tertawa kecil. Itu yang mau aku dengar dari kemarin.

Bola mataku membulat. Tangan yang dari tadi rileks kini menegang. Jantungku juga berdebar terlalu kuat, bahkan ketika aku menghabiskan kopi hitam tiga cangkir sehari jantungku tidak pernah seperti ini. Tapi, anehnya aku merasa nyaman.

Ini adalah kali pertamaku. Kali pertama dipeluk oleh seseorang yang bukan orang tuaku.

Aku tidak menolaknya, aku hanya shock saja. Ini terlalu tiba-tiba. Lihatlah, di sekeliling kami masih banyak orang berlalu lalang. Ezhar bodoh sekali. Haruskah memelukku di tempat umum seperti ini?

"Gue kira bocil kaya lo cuma bisa tengil doang, Ra." Setelah beberapa detik Ezhar akhirnya melepaskan pelukannya dan mengacak rambutku dengan sedikit kasar. 

"Rambut gue jangan diberantakin, Ja," ucapku sedikit memekik.

Ezhar hanya tertawa. Berdosa sekali dia.

.

.

Aku kembali bersekolah seperti biasa. Menghadapi tugas yang tiada habisnya. Bagaimana bisa aku belajar untuk UTBK nanti? Tugasnya saja sudah seperti tumpukan sampah yang menggunung. Berasa seperti kerja rodi.

"Nugas nugas nugas hahahahaha nugas nugas nugas hahahaha." Seolah tak peduli dengan tatapan teman sekelasku, aku terus menyanyikan lirik tersebut dengan volume yang lumayan keras. Stress.

Juna menghampiriku di meja belakang. Dia menyentuh keningku dengan punggung tangannya. Keningnya mengernyit. "Ga panas."

Aku mendengus pelan. Lelah, lelah, stress, stress.

Hari Senin ini sama sekali tidak ada yang menarik. Stan seblak punya Mba Mela tutup, tugas fisika dan matematika yang deadline nya bersamaan, juga hawa panas yang menambah mood semakin hancur. Bagaimana bisa Senin menjadi semenyebalkan ini? Ya Tuhan aku ingin resign saja dari dunia.

Tapi beruntungnya, Bu Meti guru Kimia hari ini tidak masuk dan tidak ada yang menggantikan jam beliau. Setidaknya aku bisa sedikit tenang dan tidur sebentar untuk meringankan pikiran.

"Hoam."

Ngantuk sekali pemirsa. Kurebahkan kepalaku dan selanjutnya menuju ke alam mimpi yang indah. Ya, sangat indah.

Baru memejamkan mata sejenak, ragaku kembali dibangunkan dengan paksa oleh teman terlaknat terkampret yang aku punya. 

"DARA PLIS LO KUDU LIAT INI!!"

"SADAM MALIKI YAUMIDIN! LO GANGGU TIDUR GUE KAMPRET!"

Mungkin kalau didengar-dengar, teriakanku itu sampai ke koridor bawah—saking kerasnya. Aku tidak tau kenapa teriakanku terdengar begitu keras. Atau mungkin karena aku jarang berteriak jadi sekalinya teriak kaya orang utan lagi ngamuk kali ya.

"Pacar lo update ini, Ra. Di twitter. Terus ada yang bilang udah punya akun instagram dia," ucap Sadam menggebu-gebu.

"Gue udah tau. Udah ya? Lo ganggu gue. Karena sekarang gue udah kebangun, lo kudu traktit gue makanan yang pedes."

Sadam meruntuhkan bahunya. "Gue kudu nyari kemana? Seblak Mba Meta tutup. Lainnya ga ada yang pedes lagi, Ra."

"Gue gamau tau. Beliin sekarang! Terserah mau lo nyari sampe ke padang pasir juga oke."

Aku merebahkan kepalaku kembali. Menenggelamkan wajahku di kedua lipatan tanganku. Pusing sekali kalau dibangunkan dengan paksa tuh.

Mungkin ada kisaran 20 menit, Sadam kembali membawakan ghost paper. Ini dia. Ternyata sudah diseduhkan sekalian. Atuh baik sekali temanku ini.

"Aww Sadam, ailabyu. Muah." Aku melakukan kiss bye kepada Sadam.

Sadam mendengus kasar. "Gini aja lo kaga maki-maki gue."

"Diem lu. Gue mau makan."

Sadam menabok bahuku dengan sedikit keras. "Sialan, sakit!"

"Untung gue sabar, Ra. Coba kalo ngga, hari ini juga lo ditemuin sama warga di tong sampah. Badan lo dah kaga lengkap."

Aku menatapnya sambil memasang wajah sok ngeri ku. "Mama atut."

Setelahnya, aku memakan ghost paperku dengan khidmat. Menikmati setiap rasa pedas yang diberikan. Aku yakin, jika seseorang melihat ini pasti ia akan marah besar kepadaku.

Sadam menjambak rambutku dengan sedikit keras. Sial ini sakit sekali, meskipun  mungkin baginya itu tidak seberapa tapi bagiku yang perempuan tarikan itu sangat kuat. Sadam gila!

Aku balas mencubit pinggang dengan sangat keras. Sangat sangat keras. Mungkin besok pagi akan menimbulkan bekas kebiruan.

"Lo gila ya? Kalo rambut paripurna gue rontok semua gimana? Lo mau gue botakin? Hah?!"

"Lo juga gila anjir. Pinggang gue sakit!"

Tak kupedulikan lagi apa yang dilakukan Sadam setelahnya. Aku lapar dan aku ingin makan. Baru mendapat tiga suap, cup ghost paperku direbut seseorang.

Aku melihat ke arah orang tersebut. Kuperlihatkan cengiran khasku. Dia menatapku dengan pandangan kesal.

"Lo kemarin udah makan pedes sekarang makan lagi? Mau dikubur dimana abis ini?" Tajam sekali mulutnya.

"Tega bener."

"Apa tega tega?! Udah dibilangin lambung lo itu sensitif. Batu banget sih!"

Raib sudah ghost paper kebanggaanku. Kali ini aku harus rela. Bagaimana pun juga Ezhar memang benar. Aku harus sedikit kasihan kepada lambungku. Tidak apa-apa, nanti aku bisa mampir ke supermarket dan kembali menikmatinya nanti malam.

"Kalian jadian kah?"

avataravatar