webnovel

Prolog

Pada awalnya, hanya ada cahaya. Lalu sejenak, muncul sensasi yang begitu lembut, seolah seperti melayang. Terasa sebuah kehangatan, dan juga sedikit ketegangan, seolah mengajakmu untuk melupakan dirimu.Melupakan dirimu? Benar, aku sudah melupakan sesuatu. Tapi apa itu? Apa yang mungkin sudah aku lupakan?

Sebelum sempat memikirkannya lagi, 'ia' tiba-tiba menggigil. Sebentar kemudian, pikirannya mengirim sensasi dingin. Rasa dingin yang menembus kulit. Seperti halnya perkenalan seorang bayi yang baru saja terlahir dengan udara yang dingin di luar rahim ibunya. Tidak ada waktu untuk sempat menyadarinya.

Sensasi yang begitu asing namun begitu familiar yang datang tiba-tiba membuatnya panik. la mulai menggeliat geliat putus asa, berusaha sekuat tenaga untuk bernafas. Rasa sakit yang luar biasa menerjang ketika paru-parunya (seluruh organnya, hingga ke setiap selnya) kekurangan oksigen. Tanpa mampu untuk tetap tenang, ia hanya mampu menggerak-gerakkan badannya.

Semua indera perasanya yang didera rasa sakit luar biasa membuatnya hanya mampu menggeliat kesakitan. Tercekik oleh itu semua, ia akhirnya kehilangan kesadarannya. Sepenuhnya terbebas dari semua emosi manusia yang membatu, tubuhnya dengan sendirinya terisak-isak.

Kesadarannya semakin buram, dan konsep tentang diri semakin kabur. Ketika terbangun, ia melihat langit kelabu. Dunia yang samar-samar... Atau mungkin, itu semua karena pandangannya yang kabur? Semuanya nampak terdistorsi, seolah semua dilihat dari kaca-kaca pecah yang berserakan.

Meskipun sudah begitu lama tak bersentuhan dengan emosi manusia, ia sendiri merasa tak nyaman dengan pandangannya yang berkabut. Rasanya mustahil bahkan untuk membedakan bentuk-bentuk dasar.

Setelah mengalami tiga tahun masa pengamatan, setelah akhirnya mulai mampu merasakan kesadaran akan dirinya, ia kini mengalami kebingungan yang mencekam.

Apa ini? Apa yang terjadi kepadaku? Tubuh ini tidak dapat mempertahankan kesadaran dalam waktu yang lama, dan ingatan ketika terlahir dalam badan ini masih belum juga muncul. Jadi ketika ia menangis dengan kesadarannya yang samar-samar, ia merasa tangisannya begitu memalukan namun ia sendiri tidak tahu mengapa.

Mungkin karena orang dewasa tidak menangis, namun bayi jelas menangis. Bayi-bayi sudah selayaknya dijaga dengan baik dan diberi perhatian yang layak, tidak untuk dibenci. Sehingga, dengan rasa lega yang mendalam, ia melepas rasa malu itu ke sudut pikirannya, lalu menyalahkan itu semua karena begitu buramnya kesadarannya.

Pada waktu kemampuan memahaminya sudah samar samar muncul, ia sungguh terkejut. Kalau ingatannya benar, ia kini harusnya berada di stasiun Yamanote. Namun setelah muncul lagi, entah bagaimana ia kini berada di dalam bangunan bergaya barat yang sangat besar, dengan mulutnya yang kini diusap oleh seorang biarawati yang nampaknya bertugas merawatnya. Kalau tempat itu adalah rumah sakit, maka bisa saja barusan terjadi kecelakaan. Pandangannya yang kabur bisa juga dijelaskan sebagai akibat dari suatu kecelakaan.

Kini matanya sudah mampu melihat dengan jelas dalam penerangan yang terlihat remang-remang, ia kini dapat melihat dengan jelas suster-suster yang berpakaian ala model lama. Dan sinar yang remang-remang itu... nampaknya datang dari lampu gas, kecuali kalau ternyata itu semua berbeda dari apa yang mampu ia lihat.

"Ciel putri kecil ku, ayo buka mulutmu...."

Pada waktu bersamaan, ia menyadari betapa anehnya kondisi sekitarnya yang minim peralatan elektronik. Dalam masyarakat yang sudah maju tahun 1945, ruangan ini malah nyaris tanpa peralatan elektronik dan justru dipenuhi oleh barang-barang yang pada tahun itu terbilang antik. Apakah mereka orang-orang barat? kulit mereka pucat, Tapi... Mengapa? Apa yang aku lakukan di tempat ini bersama mereka?

"Ada apa putri kecil ku, apa kamu tidak mau makan?"

Situasi ini sungguh sulit di pahami, memikirkannya hanya membuatnya semakin bingung.

"Aduh~ sepertinya putri kecil ku tidak lapar ya?"

Aku tidak mengerti. Itulah masalahnya. Itulah mengapa ia tidak menyadari sendok yang disodorkan oleh wanita cantik itu. Namun tetap saja. Bahkan jika ia mampu, seumur-umur ia tidak pernah bermimpi memakan makanan yang ditawarkan orang lain. Tentunya sendok itu punya arti ini.

"Baiklah, aku paham, bagaimana kalau kita jalan-jalan di taman?"

Sementara semua pikiran itu bermunculan, wanita cantik itu akhirnya menaruh makanan yang ia bawa di tangannya ke meja. Dengan senyum manis menggendong bayi di pelukannya, berjalan ke pintu terbuka.

"Teresia, aku akan pergi ke taman dengan Ciel"

"Baik, Yang Mulia Ratu"

Wanita itu berbicara seolah dia adalah penguasa, ia berbicara dengan santai di depan dengan pembantu sedangkan sebaliknya berbicara dengan formal.

"Ciel Putri ku yang manis~ ayo kita pergi ke taman"

Nyanyian itu di nyanyikan oleh Wanita itu, namun bagi dirinya arti di balik nyanyian itu lebih mengejutkan. 'Dengan kata lain, aku adalah.... Ciel'.

Dengan demikian muncul sebuah lah tangisan dari lubuk jiwa nya yang terdalam 'Mengapa?'.

"Aduh, Putriku Ciel kenapa kamu menangis?"

Wanita itu sempat panik, namun dia melihat jendela di sampingnya. Memperlihatkan pada Bayi yang dia bawa ke jendela di sampingnya. Memperlihatkan sebuah pandangan yang menakjubkan 'Sungguh kota yang indah'

Bentuk bangunan yang kuno namun elegan dan tertata dengan rapi, langit malam yang indah dengan bintang-bintang bersinar 'Dimana ini'.

Tangisan tidak terdengar lagi, tangisan bayi yang tadinya menggema di sebuah lorong Istana berubah menjadi senyuman kecil paling manis yang pernah di buat oleh seorang bayi.

"Indah bukan? Ini adalah Ibu Kota Negara Iblis, Sheria"

Kebingungan terus menjadi-jadi, dimana, kenapa, dan bagaimana orang dewasa bisa berada di dalam tubuh mungil dan rapuh ini.

Namun kebingungan itu sirna setelah melihat pemandangan yang memukau, membuat hati tenang, 'membuat.... diri ku mengantuk'

Pandangan menjadi pudar, dan semakin gelap kesadaran semakin hilang, bayi kecil itu tertidur dalam gendongan sang Ibu.

"Wajahnya saat tidur benar-benar manis"

Next chapter