1 PROLOG

"Tidak ada tanda-tanda aktivitas musuh. Mungkin kita masih bisa bergerak lima sampai sepuluh kilometer ke depan. Ada lembah di sana."

"Benar, lembah Solv merupakan medan pertempuran yang menguntungkan. Selain itu, tak jauh dari sana ada bekas pertambangan mitril yang bisa digunakan untuk beristirahat."

"Ya, itulah yang kumaksud. Ayo jalan"

Ada lebih dari tiga ratus prajurit berzirah yang menunggangi kuda dengan gagah perkasa. Pedang-pedang mengilap tersandang di pinggang mereka—dalam balutan sarung dari kulit binatang—siap menghunus seberapa banyak pun musuh yang datang.

Menduduki posisi paling depan, Sang Panglima perang bernama Rig Valle tampak menyiagakan pandangan di balik helm besinya. Mereka tengah menyusuri hutan lebat, dengan pepohonan beringin raksasa beserta tumpukan suplir di setiap batangnya. Untuk sekarang, kondisi terkesan aman-aman saja. Hanya ada cericip burung, juga decit tupai yang berlarian di atas mereka.

"Sepertinya musuh kita mengalami kendala di perjalanan. Mereka seharusnya sudah tiba, atau paling tidak derap langkahnya sudah terdengar." Rig bicara pada seorang pria yang menunggang kuda di sampingnya.

"Kuharap mereka semua habis di perjalanan," sahut si pria seraya tertawa kecil. "Aku ingin pulang dan menemui Tuan Puteri Veronica secepatnya. Dia pasti sedang mencariku."

"Aku rindu suasana Sears, kota kita," ujar Rig.

"Benarkah? Kukira kau merindukan Suster Grace, biarawati yang kau taksir itu." Si pria terkekeh kegelian.

"Sudahlah, Thane. Jangan menggodaku. Kita ada di hutan belantara, dan sampai sekarang masih belum ada serangan atau semacamnya. Ini mencurigakan."

Kavaleri di bawah pimpinan Rig terus bergerak ke barat, berusaha mencapai lembah Solv sebelum senja. Mereka melintasi anak sungai, kubangan lumpur, tanah berbatu, hingga akhirnya bisa mencapai ujung hutan beringin yang menyeramkan.

Matahari masih bertengger di langit tatkala Rig dan pasukannya berkumpul di tebing lembah Solv. Mereka hendak mencari lereng landai untuk turun dan memasuki hutan cemara yang ada di bawah.

"Ayo, ada jalan untuk turun di sana!" Rig memberi komando.

Seluruh kavaleri bergerak mengikuti Panglima mereka. Satu per satu kuda dipandu menuruni tebing. Rig dan Thane yang turun lebih awal mencoba berjalan lebih jauh untuk memeriksa keadaan di sekitar mereka. Namun, sesaat kedua prajurit itu baru menarik tali kekang kudanya, pepohonan cemara di depan mereka tiba-tiba bergoncang.

"Apa itu?" gumam Thane, cemas.

"Lebih cepat!" Rig menegur pasukan kavaleri yang sempat terpatung kaget. "Siagakan diri kalian!"

Pohon-pohon cemara terus bergoncang, seolah ada raksasa iseng yang sengaja mempermainkannya. Selama sepersekian detik, Rig dan rekannya terpaku menyaksikan kejadian tersebut, hingga suara mencurigakan sampai ke telinga mereka.

"LARI!" teriak Rig.

"Berpencar!" Thane menyusul.

Para kavaleri yang telah turun langsung memmacu kuda mereka ke dalam hutan, sementara sisanya berlomba menuruni tebing. Suara yang sampai ke telinga Rig dan pasukannya mirip seperti derak kayu yang ditekuk. Itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa mereka tengah disergap.

Rig menyusup dari satu batang pohon ke batang pohon lain bersama kudanya, sedangkan sejumlah prajurit juga mengikut di belakang. Mereka berusaha pergi sejauh mungkin dari asal suara mencurigakan tersebut. Di sisi lain, Thane mengambil arah yang berbeda. Ia berkuda ke sebelah kanan, berusaha mengintari lereng tebing.

Tepat satu menit setelah suara mencurigakan terdengar, batu-batu raksasa pun berlompatan ke langit. Jumlahnya sekitar lima buah, siap menerjang ke segala arah. Pasukan kavaleri yang tidak sempat menuruni tebing sontak berbalik arah demi menyelamatkan diri. Sayang, beberapa prajurit harus meregang nyawa saat bebatuan itu menimpa mereka.

"Mereka punya pelontar!" protes Rig yang menyaksikan batu besar melintasi kepalanya. "Bagaimana bisa?!"

Pria berbadan tegap itu terus memacu kudanya melintasi hutan cemara. Berulang kali debum nyaring terdengar, menandakan bahwa batu-batu itu sudah mendarat ke tanah. Rig harus putar otak guna menyiasati situasi kurang menguntungkan ini. Musuh mereka jelas tak hanya menyiapkan lima buah batu.

Hamparan hutan cemara yang luas sebenarnya dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi mereka. Rig bisa mengambil jalan memutar untuk menyergap para pemilik pelontar itu, atau ia bisa berbalik arah ke belakang untuk menemui Thane, lalu bersama-sama menyerbu musuh selagi mereka mengisi amunisi.

Namun, Panglima dua puluh empat tahun itu masih punya pertimbangan lain. Ia sama sekali tidak tahu berapa jumlah pasukan musuh dan di mana mereka bersembunyi. Atau, apakah sekarang mereka masih di perjalanan, sementara pelontar-pelontar besar itu dipersiapkan terlebih dahulu. Terlalu banyak spekulasi, tetapi hanya ada satu konklusi. Rig harus bertindak.

"Ikuti aku!" Ia berseru pada pasukan di belakangnya.

Rig terus melaju ke depan. Ia punya rencana kecil yang terbilang penuh risiko. Sedari tadi bebatuan yang dilempar pelontar hanya mengarah pada kavaleri yang masih di atas tebing dan pasukan Thane yang mengitari tebing. Rig bersama prajuritnya tidak tersentuh sama sekali, seolah dilupakan begitu saja. Berdasarkan keanehan itu, ia dapat mengasumsikan sesuatu.

"Kemungkinan besar para prajurit musuh ada di sekitar sini," batinnya.

Jadi, Rig berencana untuk membawa pasukannya bergerak lebih jauh sampai ke titik tertentu di mana mereka bisa berbalik arah tanpa diketahui. Titik yang disebutnya ambang kematian. Mereka akan menunjukkan diri kepada pasukan musuh terlebih dulu, kemudian lari menuju wilayah di mana pelontar besar berada. Kekacauan akan terjadi, sehingga Thane dan pasukan yang tersisa punya waktu untuk lolos.

Peperangan yang tidak seimbang ini, memang seharusnya ditinggalkan. Meski berat hati, Rig musti mengambil keputusan. Ia akhirnya sepakat untuk membuat rencana pelarian yang mungkin akan menurunkan martabatnya di hadapan musuh.

"Aku akan membalas kalian lain kali. Dasar prajurit Elloria sialan!" gerutu Rig.

Sesaat mereka telah cukup jauh masuk ke dalam hutan, tiba-tiba pepohonan cemara berderak nyaring. Teriakan orang-orang sontak bergemuruh. Satu-dua detik kemudian pepohonan cemara itu bertumbangan, memblokade jalan Rig dan pasukannya. Kuda-kuda mereka meringkik ketakutan, enggan melanjutkan langkah.

"Bantai semuanya!"

"Ambil semua persembahannya!"

"DEMI RAJA IBLIS!"

Ratusan prajurit menyebar dari sisi kanan dan kiri hutan. Satu hal yang membuat wajah Rig yang pemberani dihinggapi pucat pasi; musuh mereka bukanlah manusia, melainkan selegiun jerangkong yang membawa pedang-pedang besar.

Rig dan pasukannya terkepung. Mereka tidak punya pilihan lain, selain balas menyerang. Ini adalah pertempuran paling buruk sepanjang sejarah Vestaria, kerajaan tempat Rig dilahirkan. Manusia melawan pasukan kerangka berjalan, siapa yang akan menang?

"Angkat pedang-pedang kalian!" Panglima itu berteriak garang, bersambut seruan para pasukan.

"SERANG!"

(TBC)

avataravatar
Next chapter