3 2

2

Andre mengusap peluh yang bercucuran di wajahnya, membiarkan tubuhnya berbaring di lantai untuk merasakan kesejukan dan dinginnya lantai. Di tatapnya langit langit ruang utama dengan pandangan kosong.

Beberapa saat setelah tubuhnya terasa tenang dan nafasnya tidak tersengal-sengal lagi, ia segera memasuki kamar mandi kamarnya dan membasahi tubuhnya yang baru saja berkeringat.

Setelah menghabiskan waktu 20 menit, Andre segera keluar dengan pakaian santainya, ia melihat arlojinya sejenak sebelum akhirnya menuju dapur karena jam sudah menunjukkan angka 06.00

Tanpa banyak berfikir, Andre dengan lihainya menyiapkan segala keperluan memasak. Sudah biasa baginya seperti ini, setiap hari minggu dan sabtu lari pagi, setelahnya memasak tanpa Bik Ana.

Ia selalu memberikan perintah kepada wanita itu agar tidak mengunjungi rumahnya tiap weekend. Lagian sudah terlalu biasa bagi Andre mengalami hal seperti itu.

Pekerjaan pekerjaan rumah bukanlah hal sulit lagi bagi Andre, ia bahkan sudah terbiasa sejak usia 15 tahun mengerjakan segalanya.

Setelah Andre menjalani rutinitas sarapan sendiri, ia segera membawa sepiring nasi yang memang sengaja disipakannya untuk istrinya beserta segelas air putih dan susu hamil. Ia juga menyediakan vitamin yang dianjurkan dr.Dava kemarin padanya untuk memperkuat janin.

Bertepatan saat Andre meletakan nampan itu di sebuah kursi yang sengaja ia letak di sisi kiri dinding kamar Kana, wanita itu membuka pintu kamarnya.

Sungguh mengejutkan bagi Andre melihat Kana membuka pintu tepat disaat ada keberadaannya di depan kamar wanita itu. Ia bingung sendiri harus melakukan apa. Ini pertama kali baginya bertatapan langsung dengan istrinya setelah acara pemberkatan mereka.

"Saya hanya meletakkan sarapan" ucapnya untuk pertama kalinya.

Kana tampak diam menatap Andre yang yang juga diam di depannya .Ia kemudian melirik nampan yang telah di letakan Andre di atas kursi. Tanpa membalas ucapan Andre ataupun mengucapkan terima kasih, Kana membawa nampan itu ke dalam kamarnya.

Andre menghembuskan nafas lega setelah lama menahan diri untuk tidak meninggalkan Kana lebih dulu.

Tadinya ia ingin membahas kehamilan Kana agar di periksakan ke dokter kandungan lebih lanjut, namun ia khawatir jika saja Kana akan marah karena tak suka dengan topik yang satu itu.

"Saya ngga suka tinggal disini"

Andre kembali terkejut mendengar suara tiba tiba itu, suara milik Kana. Ia membalikkan tubuhnya, menatap Kana singkat kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Kamu mau tinggal dimana?"

"Di dekat apartement sahabat saya" ujarnya begitu lugas tanpa ragu.

Andre mengerjap sebentar, lantas menganggukan kepalanya pertanda setuju. Andre sendiri sebenarnya tak tahu dimana keberadaan apartemen sahabat istrinya itu, namun demi kenyamanan Kana, maka ia bersedia melakukannya. Lagi pula sepertinya ia mulai sadar jika istrinya membutuhkan seorang sahabat di saat yang paling sulit seperti itu untuk menjadi tempat keluh kesahnya.

"Bisa kita bicara sebentar?" akhirnya pertanyaan yang tertahan sedari tadi itu, keluar dari bibir Andre.

Kana tampak tak menjawab, namun melangkahkan kakinya menuju ruang tamu, sehingga Andre mengikutinya dari belakang. Setelahnya, keduanya duduk saling berhadapan, yang di batasi sebuah meja kaca.

"Saya tau kamu benci sama saya, tapi saya mohon untuk tidak menyiksa diri kamu sendiri. Kalau kamu terlalu stress, akan berdampak buruk untuk kandungan kamu"

Andre mengerjap beberapa kali sambil meneguk salivanya yang tertahan melihat tatapan tajam dari Kana. Ia benar benar sudah menduga jika reaksi Kana akan seperti itu.

"Ya, saya sangat membenci kamu" tekannya pada kata membenci "Lagipula untuk apa saya mempertahankan kandungan ini, jika saya sendiri tidak menginginkannya" desis wanita itu membuat Andre tertegun.

Andre merasa tubuhnya bergetar, dadanya juga terasa begitu sesak seolah pasokan oksigen tidak lagi tersedia baginya. Tangannya tanpa sadar bahkan meremas sebuah gelas kaca yang tersedia di depannya. Beberapa gelas yang memang selalu disediakan di atas meja tamu itu.

Pyarrrr

Gelas kaca itu hancur dalam genggaman tangan Andre, mengakibatkan beberapa serpihannya menempel di tangan kanan pria itu. Tetes tetes darah segar juga mengalir dari tangannya.

Kana terkejut bukan main, ia bahkan sampai membekap mulutnya sendiri karena tak percaya melihat Andre melakukan hal itu. Tubuhnya menegang hebat, jantungnya terpacu dengan cepat, air matanya keluar dari persembunyiannya tanpa di minta.

"Masuklah ke kamar" ujar pria itu memerintah.

Kana mengangguk beberapa kali dengan kuat, merasa takut membuat Andre semakin marah. Ia segera meninggalkan Andre sendirian, meskipun tidak rela melihat tangan pria itu di lumuri darah segar yang terus keluar.

Dengan segera Kana menghubungi bik Ana pembantu rumah tangga Andre. Menyuruh wanita paruh baya itu untuk memeriksa tangan Andre dan memerbannya. Namun ternyata, bik Ana sedang mengurus cucunya yang sakit. Bahkan wanita tua itu juga izin untuk tidak datang selama beberapa hari.

Sekarang Kana tak tau harus menghubungi siapa lagi, sebab ia hanya mengenal bik Ana sebagai orang terdekat Andre.

Di tengah kebingungannya, ia memutuskan untuk mengintip keadaan Andre. Pria itu masih duduk diam di sofa tanpa memerdulikan darah yang terus keluar dari tangannya. Pandangannya juga sepertinya tampak kosong, melihat bagaimana pria itu tak bergeming dari posisinya.

Kana mengusap pipinya yang terus basah, air matanya masih tak mau berhenti. Ia memilih menghampiri suaminya itu dengan segala konsekuensi yang ada. Jika seandainya pria itu akan membentaknya, ia mencoba tak akan masalah soal itu.

Setelah mencari cari letak kotak p3k, Kana baru benar benar mendekati Andre. Ia meraih tangan pria itu dengan tangan gemetaran, kemudian mencabut serpihan kaca yang menempel di dalam daging pria itu.

Air matanya semakin membanjir melihat bagaimana Andre tak bergeming mengucapkan sakitnya.

Kana menyiramkan alkohol untuk membersihkan darah di tangan Andre, sampai tangan itu benar benar hanya menunjukkan goresannya tanpa darah barulah kemudian Kana meneteskan obat luka di kapas dan mengusapkannya di tangan suaminya. Tidak butuh waktu lama, Kana segera membalut luka itu dalam perban.

"Tolong jaga dia sampai keluar dari rahimmu, setelah itu kamu bisa menceraikan saya" Kana menganggukkan kepalanya.

Pagi ini, Andre kembali melanjutkan aktivitasnya seperti biasa meski dengan tangan terluka. Ia juga menyiapkan sarapan untuknya dan Kana. Tak lupa, susu hamil untuk istrinya minum demi kesehatan jabang bayi.

Setelah meletakkan sarapan itu di atas kursi depan kamar Kana, Andre segera pergi untuk menuju kantor. Lagipula tidak ada yang perlu ia khawatirkan karena sebentar lagi bik Ana akan datang mengerjakan tugasnya.

Sesampainya di kantor, Andre di suguhi pemandangan tak suci. Boy dan Leo berbaring di atas ranjangnya dengan bertelanjang dada. Jelas saja hal itu membuatnya bergidik ngeri dan segera menunjang bokong kedua orang itu hingga keduanya jatuh ke lantai.

Andre hanya memandangnya tanpa belas kasihan, ia juga beberapa kali menggelengkan kepalanya sambil mengusap dadanya. Kedua temannya meringis sambil mengusap bokong masing masing.

"Assshhh..sakit banget" ringis Boy

Leo berdiri dari lantai dan segera memakai kemejanya "Temen ngaku temen ya gitu" dengusnya.

"Heh, gue cuma ngga mau lapak kerja gue jadi lapak kerja buat homo" labrak Andre tak suka.

"Kita juga baru datang sejam yang lalu, ngga usah lebay. Kalo bukan karena dikunciin di luar sama Elena, gue ngga mau dateng ke sini" cerca Leo.

"Gue juga"

"Juga apa?" bentak Andre pada Boy.

"Papa ngga ngasih gue masuk sebelum gue nerima perjodohan sama Melly" adunya tampak menunjukkan wajah tak terima.

"Kalau udah tau sering dikunciin di luar, seharusnya lo berdua beli apartemen khusus buat kabur kaburan bukan jadiin kantor gue tempat penginapan orang ngga mampu" protes Andre tak terima kantornya di jadikan tempat tidur para gelandangan malang seperti Leo dan Boy.

"Yaudah, kalo gitu, lain kali kita bakal ke rumah lo aja" usul Leo yang diangguki semangat oleh Boy.

"Please deh lo berdua jangan nambahin beban hidup gue" dengus Andre pada akhirnya.

avataravatar
Next chapter