1 AYG: 1[Orang Lain]

Bagaimana perasaan kalian ketika ditinggal pergi oleh orang yang kamu sayangi untuk selamanya? Sudah dapat dipastikan perasaan sedihlah yang akan kamu alami. Dan perasaan itu kini tengah dialami oleh Vano setelah ditinggal pergi Alana untuk selamanya.

Sikap Vano menjadi berubah semenjak Alana pergi. Ia menjadi dingin, pendiam, dan menutup diri dari sekitarnya kecuali teman-temannya. Rasa bersalah, itulah yang menjadikan sikap Vano berubah.

Vano menganggap dirinya lah yang mengakibatkan Alana pergi. Pergi meniggalkannya dan orang-orang yang menyayanginya untuk selamanya.

Kacau, keadaan itulah yang kini tersemat pada diri Vano. Seperti sekarang, dengan rambut yang berantakan, Vano bersandar pada kusen jendela kamarnya dengan sebatang rokok yang bertengger manis di bibirnya.

Rokok? Yah rokok, rokok yang dulu Vano anggap sebagai benda yang anti untuk ia sentuh meski ia dicap sebagai anak nakal, kini menjadi pelampiasan dan penenang sesaat baginya.

Namun, meski Vano berubah 180 derajad teman-teman Vano tetep setia menjadi teman Vano. Bahkan tak jarang mereka juga berusaha membantu Vano untuk move on dari Alana.Seperti kali ini.

“Ayolah Van, ini sudah hampir dua tahun. Lo harus move on, come on. Dia udah tenang disana bro.” kurang lebih kata itulah yang Dino lontarkan. Prihatin melihat temannya yang kini berubah.

Vano tidak menghiraukan ucapan Dino, ia malah tetap memandang ke luar jendela dengan menghisap rokok yang menyelip di sela-sela jarinya.

“Van lo nggak boleh kaya gini terus,” Dino mengambil rokok yang Vano hisap dan langsung mematikannya.

“Lo nggak usah sok kuat deh kalo lo kek gini, gue tau walau pun lo nggak mengeluarkan air mata lo ketika Alana dimakamkan, tapi gue tau kalo hati lo saat itu juga menangis.” Dino kini merangkul Vano dengan mengelus-elus bahu Vano, berharap dengan seperti itu setidaknya dapat menyalurkan rasa sedih Vano.

“Tapi ini semua karena gue Din, dia pergi karena gue.” gumam Vano pelan dengan menenggelamkan kepalanya kelekukan lututnya.

“Itu bukan salah lo, kematian itu sudah takdir dari Tuhan.” nasihat Dino.

Vano hanya bungkam seribu bahasa dengan pemikiran yang tak dimengerti Dino.

Secara mengejutkan, Vano langsung turun dari jendelanya dan berjalan ke rak mejanya. “ Lo mau kemana Van?” tanya Dino yang melihat Vano mengambil sebuah kunci motor.

“Gue mau ke makam Alana, dan jangan ikutin gue.”

“ Ok. Hati-hati di jalan.”

Vano keluar dari kamarnya, dan terus berjalan keluar. “ Gue pergi dulu sebentar, kalo kalian masih mau di sini nggak papa.” ucap Vano yang mendapati teman-temannya di ruang tengah rumahnya.

Dino dan yang lainnya tak pernah mengikuti Vano jika ia pergi ke makam Alana. Itu mereka lakukan karena mereka mengerti kalo Vano perlu waktu. Waktu untuk sendiri dan menenagkan dirinya.

Dengan membawa setangkai bunga mawar putih, Vano berjalan sendiri menuju makam Alana. Sempat Vano berpapasan dengan seorang gadis seumuran dengannya yang juga sendirian. “Apa mungkin juga ada orang lain yang bernasip sama sepertiku? Yang ditinggal pergi oleh pacarnya.” sempat terlintas fikiran tersebut dibenak Vano ketika berpapasan dengan gadis tersebut.

Meletakkan mawar putih di atas batu nisan, itulah yang Vano lakukan setiap kali pergi ke tampat peristirahatan Alana . begitupun kali ini. Namun ketika meletakan mawar ada sesuatu yang terasa janggal dibenak Vano. “Selain aku, apa mungkin ada orang lain yang baru saja dari sini?” tanya Vano pada dirinya sendiri ketika mendapati bunga mawar putih yang masih segar selain yang ia letakan di atas batu nisan Alana.

Karena tujuan awal ia kesini untuk berziarah, akhirnya Vano pun tak ingin mempermasalahkan siapa yang baru saja datang ke makam Alana. Mendoakan Alana agar tenang di alam sana sudah Vano lakukan, kini saatnya ia mengutarakan apa yang ingin ia utarakan.

“Hai Na, gu…aku. Sorry aku hampir lupa kalo kamu minta sama aku buat ngomong sama kamu pake aku kamu.” kata Vano pada gundukan tanah yang sudah memisahkan alam antara ia dan Alana. “Aku barusan sudah mengirimkan doa untukmu, semoga kamu tenang di alam sana. Walaupun kita berbeda alam.” kata Vano.

“Aku mahu ngomong sama kamu, sebenarnya aku masih mengharapkan kamu kembali lagi. Bahkan aku berharap semua yang terjadi ini hanyalah sebuah mimpi buruk dalam tidurku. Dan aku berharap ketika aku terbangun aku masih dapat bersamamu.” Vano menghela nafas dengan mengalihkan pandangannya dari batu nisan yang bertuliskan nama Alana untuk menguatkan dirinya.

“Namun seiring berjalannya waktu aku sadar bahwa semua ini adalah nyata. Aku benar-benar kehilangan kamu.” rahang Vano seketika mengeras, ia masih tidak percaya bahwa ia benar-benar sudah kehilangan Alana.

“Tapi sampai saat ini masih ada satu hal yang masih aku harapkan. Aku masih berharap bahwa kamu akan kembali lagi padaku. Walupun itu tidak mungkin. Kamu pasti sekarang akan bilang aku egois, iya aku memang egois.” Vano mencengkram batu nisan Alana.

“Tapi lebih egois kamu. Kamu pergi tanpa mengajakku. Janagankan mengajakku, berpamitan pun tidak.” Vano tersenyum kecut kearah batu nisan Alana. Nafasnya mulai menderu tanda butuh asupan oksigen.

“Ternyata kamu masih sering pergi kemakam Alana.” Kata arya yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Vano. “Sejak kapan Kakak disini?” tanya Vano dengan berdiri dan berbalik badan kearah arya. “Santai aja, aku baru saja datang.” jawab arya yang kini ganti berjongkok di samping makam Alana.

“Kamu juga tahu kalo Alana suka mawar putih?” tanya arya yang juga meletakkan mawar putih di atas makam Alana. “Iya. Apa kakak pernah lihat orang lain pergi ke makam Alana ?” tanya Vano yang kemudian kembali lagi berjonggkok di samping makam Alana.

“Maksud kamu?”

“Apa kakak pernah lihat orang lain ke makam Alana ini dan melakukan hal yang sama seperti yang barusan kita lakukan.” perjelas Vano.

“Maksud kamu menaruh mawar?” tanya Arya dengan melirik beberapa tangkai mawar di atas batu nisan Alana.

“ Heeemmm.” jawab Vanno dengan menganggukan kepalanya.

“Kalau lihat sih belum pernah, tapi kalo ada orang lain yang naruh bunga apa nggak aku juga nggak ngerti.” kata arya dengan gelagat yang entah mengapa seperti terlihat berbohong. “Kakak bener nggak tahu?” Vano kembali bertanya.

“I_ya,” Arya langsung berdiri. “Aku pergi duluan, kamu juga harus segera pergi dari sini. Nanti keburu hujan.” pamit Arya dengan melirik awan yang sudah menggumpal di atas langit. “Iya kak, hati-hati di jalan.” sahut Vano yang masih belum beralih dari samping makam Alana.

“Aku yakin pasti ada sesuatu yang kakak sembunyikan dariku.” Gumam Vano kemudian dengan memandangi Arya yang semakin menghilang dari pandangannaya.

avataravatar
Next chapter