27 Bab 26 — Alkemis

Tetes air dari langit-langit gua membuat gema berulang di dalamnya. Ada yang jatuh pada lantai gua berbentuk tonjolan bebatuan, adapun yang jatuh tepat di permukaan danau dengan kilau hijau kebiruan. Penerangan di sana cukup bagus akibat mulut gua yang melebar dan tinggi menjulang.

Di dalam, Hazard sedang duduk bersila dan bertelanjang dada. Kedua netranya terpejam dengan punggung dan telapak tangan saling bertaut. Tetes air seketika jatuh mengenai bahu lebarnya. Kedua mata terbuka perlahan dengan warna biru terang yang sangat menyilaukan. Hazard langsung memuntahkan cairan hitam pekat pada batu yang didudukinya ke samping. Kegiatan meditasi ternyata berhasil, energi hitam keluar dengan sendirinya dalam tubuh Hazard.

Setelah memuntahkan cukup banyak cairan pekat, badannya sangat lemas. Namun, seluruh tubuh jadi terasa lebih ringan. Hazard mengusap bibir dengan punggung tangan, kepalanya sedikit pening ketika memaksakan diri untuk bangkit.

"Shhh...," desahnya seraya memijat pelipis yang mendadak berdenyut.

Hazard mengambil pakaian yang disimpan pada batu stalakmit[1] berujung pipih. Lantas memakainya lagi seperti semula. Syal merah dan kain turban segera dililitkan pada leher dan dahi. Kecuali masker, Hazard tidak memasangnya jika sedang berada di Middle Earth.

"Bagaimana meditasinya, Pangeran? Berhasil?"

Suara elve gadis terdengar menggema, ia berjalan telanjang kaki melewati lantai gua yang dialiri air danau. Elve itu memiliki lingkar pinggang kecil dengan pakaian dari kulit hewan. Rambut biru navy-nya yang panjang diikat seperti ekor kuda. Ciri fisik tidak jauh berbeda dengan elve lain, perbedaan hanya ada pada flek di sekitar mata. Flek tersebut berwarna hitam tidak seperti Ratu Onera atau pun Pangeran Vrede.

"Seperti yang kau lihat, aku berhasil memuntahkan sesuatu berwarna hitam," jawab Hazard, garis matanya mendapati si gadis berjalan menghampiri, memandang penasaran pada muntahan hitam pekat yang menempel di permukaan batu.

Tanpa kata gadis itu melangkah lebar lalu menyenggol Hazard, membuat raut sang pangeran berubah kesal. Kemudian mengambil sempel muntahan dengan kapas yang dibawanya dari rumah dan masukannya ke botol kaca—berisi cairan bening—terikat di pinggang. Botol lekas ditutup menggunakan tutup kayu agar aromanya yang busuk tidak merebak ke mana-mana.

Mendadak bulu kuduknya merinding. Hazard tidak menyangka, gadis itu mengambil contoh muntahannya dengan santai. "Kau gadis yang aneh."

Tatapan tajam langsung dijatuhkan. Si gadis bangkit, seketika menendang tulang kering Hazard membuatnya mengaduh sakit dan jatuh berlutut.

"Akhh hah... sakit! Kau tega sekali memperlakukan seorang pangeran seperti ini," kelakarnya.

"Oh, aku pikir kau pantas diperlakukan begitu," sindirnya melenggang pergi setelah melakukan kekerasan terhadap Pangeran Ukheil.

"Tunggu, Arum! Kau sudah tidak sopan padaku!" teriak Hazard, berjalan dengan tertatih-tatih berkat tendangan gadis bernama Arum cukup kuat dan menyakitkan.

Arum tak memedulikan panggilan Hazard. Ia terus berjalan menyusuri hutan, mengikuti jalan setapak yang sudah dibuat oleh para peri pekerja.

"Kau mau apa 'kan cairan itu?" tanya Hazard. Kakinya sudah tidak pincang lagi.

"Kau pikir mau aku apa 'kan?"

"Ah, Paman Agail yang menyuruhmu?"

"Begitulah, Guruku ingin meneliti energi hitam ini. Beliau tidak percaya seorang dwaft mampu membuat obat penawar seperti cairan yang kau bawa kemarin."

"Maksudmu air rebusan Ametis?"

"Uh'um."

Setelah percakapan itu tak ada yang memulai obrolan. Hingga sampailah mereka di rumah pohon seorang Alkemis[2] bernama Quassir'agail. Ada beberapa bagian rumah pohon yang menempel terpisah di sebuah pohon besar, disambung oleh tangga kayu yang dipasang melingkari pohon. Tujuannya agar lebih mudah berpindah ruang.

Tiba-tiba saja Quassir'agail, guru dari Quassir'arum membuka pintu kayu. Ia segera menghampiri mereka.

"Bagaimana, Pangeran? Sudah baikan?" tanya Agail, tersenyum ramah. Namun, pada setiap detail wajahnya tidak tampak penuaan sama sekali. Agail juga, termasuk Alkemis yang sudah berpengalaman dan hidup lebih lama dari Hazard. Dirinya mengenakan jubah berwarna coklat bercorak pagar kayu, melingkar di sekitar lengan.

"Saya sudah melakukan meditasi, sesuai dengan apa yang paman katakan. Sempelnya ada di Arum."

"Ini, Guru." Arum memberikan sempel dengan kedua tangan. Sedikit membungkuk agar terlihat lebih sopan.

Agail menerima sempel dengan senang hati, rambutnya yang putih tak diikat menjuntai ketika dirinya sedikit membungkuk. "Baiklah, terima kasih Arum. Kau boleh pergi, aku ada urusan dengan Pangeran Hazard."

Arum menatap Hazard, alisnya berkedut agak kesal. Ia ingin protes pada gurunya. "Guru, izinkan saya membantu."

"Kau ingin membantu? Membantu apa?"

"Tentang penelitian itu, saya ingin—"

"Arum ... kau itu perempuan sementara Pangeran Hazard laki-laki. Apa kau melupakan Batasan-Batasan Bangsa Elves?"

"Itu ...."

Agail menghela napas. Sepertinya Arum lupa dengan hukum tertulis bangsa Elve. Tanpa ragu Agail mulai melafalkannya, "Batasan-Batasan Bangsa Elves untuk Para Pemuda dan Pemudi. Pasal 2 ayat 1 berbunyi—"

"Maaaaaf!" Arum memekik. Lengkingan suaranya hampir memecahkan gendang telinga. Saat itu Hazard menjauh selangkah lebih lebar, kupingnya terasa berdenging hampir tuli. Begitu pula dengan Agail, tersenyum paksa untuk menyembunyikan rasa ingin marahnya.

"Ma-maaf ... saya melupakannya ... Gu-ru." Arum tergagap, wajahnya langsung bersemu merah. Ia membungkuk dalam membuat rambut kuncir kudanya menyapu tanah ketika berdiri tegak kembali.

"Saya permisi!" Arum melesat, langsung menghilang seperti angin. Padahal dirinya hanya berlari.

Agail tersenyum memohon maklum pada Hazard, ia berkata, "Maafkan anak didik saya, Pangeran. Ia masih gadis dan sangat polos. Belum pernah sekalipun berteman dengan laki-laki kecuali ayahnya dan saya, gurunya."

"Tidak masalah, Paman. Saya mengerti," balas Hazard, garis matanya membentuk bulan sabit.

"Syukurlah. Kalau begitu, mari masuk. Penelitian ini tidak akan berhasil jika pangeran tidak ikut membantu saya." Agail segera membuka pintu ruangan rumahnya yang berada tepat di atas tanah.

"Baiklah, saya sudah tidak sabar," balas Hazard segera masuk ke rumah Paman Agail sesuai permintaan.

Di dalam rumah, banyak perabotan yang sama sekali Hazard tidak tahu. Padahal baru lantai satu, tapi sudah disuguhkan benda-benda unik. Seperti pada rak kayu berwarna coklat gelap, banyak sekali botol-botol kaca berbagai bentuk berjejer rapih. Ada yang berisi cairan berwarna, ada pun yang tidak. Selain itu, di tengah ruangan ada bangkai kayu hasil pembakaran membentuk lingkaran. Di atasnya ada sebuah panci beralas cembung tergantung tepat di bawah bangkai, mereka biasa menyebutnya arang.

Agail sendiri berjalan menuju meja yang melingkar di sudut ruangan. Di atas meja terdapat botol-botol kaca berbagai ukuran dan warna serta tumpukan buku yang sama sekali Hazard tidak tahu apa isinya.

"Pangeran, tolong duduk sebentar. Saya akan memindahkan sempel dulu," pinta Agail dengan sopan. Ia menatap sebuah bangku kayu tanpa sandaran di sampingnya.

Sesuai permintaan, Hazard duduk dengan tenang di samping meja-meja tinggi tersebut. Dirinya tidak mengerti apa yang sedang di lakukan Agail, yang jelas sempel itu sudah dipindahkan ke dalam panci cembung tadi lalu Agail menyalakan api dengan sebuah batu yang di lempar ke dalam bekas pembakaran.

Bara api berkobar-kobar menghangatkan tubuh Hazard yang sempat kedinginan setelah bermeditasi di dalam gua. Hazard menggosok-gosok tubuhnya sendiri agar kehangatan dari api merata. Yang dilakukan Agail seperti sihir dan dapat di pelajari. Andai Hazard bukanlah seorang Pangeran, mungkin ia ingin menjadi seorang Alkemis juga.

"Permisi, Pangeran."

Mendadak Agail meraih pergelangan tangan kiri Hazard, ia membawa pisau sekecil telunjuk lalu menyayatkannya pada lengan dalam Hazard. Seketika darah segar mengalir keluar secara perlahan—Hazard tidak berekspresi karena sudah terbiasa dengan darah, hanya sedikit meringis akibat rasa sayatannya. Agail berjalan kembali pada meja sambil membawa kain putih lembut—di simpan pada lengan—,kapas, dan botol berisi cairan bening. Ia menyerap darah segar dari lengan Hazard dengan kapas kemudian memasukannya ke dalam botol.

"Ambil ini, untuk menutup lukanya," pinta Agail sembari menyodorkan kain lembut pada Hazard.

Segera, kain itu diambil. Hazard melilitkan langsung pada lengan dan mengikatnya. Ia menyunggingkan senyum pada Agail. "Terima kasih."

Agail berjalan setelah membalas ucapan Hazard dengan senyum tipis. Ia kembali ke meja dan mulai meramu.

Mereka saling diam beberapa lama. Hazard sedikit ragu untuk berbicara. Dirinya menatap kosong pada bara api.

"Jika ada yang ingin Pangeran tanyakan, katakan saja. Saya akan menjawab pertanyaan Anda seakurat mungkin," tutur Agail membuka percakapan.

Hazard melirik ke arah Agail yang sedang meramu. "Berapa lama proses penelitiannya?"

Agail tersenyum sembari mengusap kedua tangannya dengan kain yang sudah tersedia di samping meja. "Sebenarnya, Pangeran tidak perlu menunggu lagi, karena penelitian yang saya lakukan akan memakan waktu cukup banyak. Ada pertanyaan lagi?"

Mendengar hal tersebut Hazard segara bangkit, menatap Agail. "Soal itu, saya kehabisan pil hijau, Paman. Apa paman masih membuatnya?"

"Tentu saja, masih. Tunggu sebentar." Agail berjalan menuju rak kayu hitam. Dirinya mengambil sebuah keranjang kecil di atas rak, kemudian berjalan menghampiri Hazard dan membuka tutupnya.

"Ambillah sebanyak yang Pangeran mau, saya bisa membuatnya kembali jika Pangeran membutuhkannya. Tapi, saya harap Pangeran dapat menggunakannya secara bijak. Karena pil ini cukup berbahaya jika dikonsumsi terlalu banyak."

"Tentu, paman tidak perlu khawatir," jawab Hazard, segera mengambil beberapa lalu menggeser kantong dari belakang tubuhnya ke samping, kemudian memasukkan pil tersebut dan menggesernya kembali pada posisi semula.

"Terima kasih, Paman. Saya harus pergi sekarang. Ratu Tel'onera pasti sudah menunggu," jelas Hazard sembari berjalan mundur kemudian membuka pintu dan melambaikan tangan.

Agail sekadar tersenyum dan melambai pelan. Dirinya berucap, "Ya, hati-hati, Pangeran."

Hazard berlari setelah keluar dari rumah Agail, hampir saja menginjak ular hitam yang sedang menjalar di bawah tanah.

"Oh, ya ampun ...," gumamnya lalu melangkah lebar dan berlari setelah melewati ular tersebut.

Dalam perjalanan, Hazard melihat Furo menjadi guru pelatih bagi para Anima Elve. Mereka tampak duduk di sebuah batu besar dekat air terjun dan bermeditasi di sana. Melihat itu, Hazard tak kuasa untuk tidak tersenyum. Rasa bahagia dan bangga menyelimuti hatinya. Perlahan tapi pasti, rakyatnya mulai sadar bahwa menjaga Ukheil bukan sekadar tugas elves petarung saja, namun rakyat juga perlu ikut serta menjaganya. Tentu saja, demi kedamaian dan kenyamanan bersama.

——————

Ket:

[1] Batuan yang terbentuk di lantai gua, hasil tetesan air dari langit-langit gua, letaknya ada dibawah lantai gua. 

[2] Ahli Kimia.

avataravatar
Next chapter