1 Kucing dan Tikus

   Jujur awal kedatangannya membuatku sangat bahagia, karena aku hanya anak semata wayang jadi memiliki adik perempuan itu tak salah. Bahkan aku sangat menyangi dan sedikit over protective padanya namun saat SMA itu berubah saat ia membuat aku putus dengan Naya cinta pertamaku. Sebab ia melihat Naya jalan bersama lelaki lain yang dijelaskan Naya merupakan sepupunya . Ibu yang melihat itu juga berkata sama dan kenapa ibu melihat itu karena dia menunjukkan ke pada ibu.

"Ibu nggak suka sama pacarmu itu, dia kayaknya nakal"

"Nggak bu... Naya anaknya baik dan ibu cuma salah paham".

"Okey, ibu akan kasih kesempatan kamu dengan bawa Naya kerumah dan lihat dia orang seperti apa".

"Makasih bu..."

    Aiman berjalan ke kamar adiknya Syasya yang naman panjangnya Nur Alisya dengan membuka pintu dengan kuat, hingga membuat Syasya beristigfar.

"Bang... ngejutin aja...".

"Lho ... senengkan lihat hubungan gue sama Naya hampir putus".

"Nggak bang.... ".

"Terus ibu bisa lihat itu juga gara-gara lho padahal Naya nggak ada hubungan apa sama cowok itu dia cuma sepupu".

"Mereka itu rangkul-rangkulan dan ketawa kayak pacaran ya..  aku sebagai adik terkejut lah melihat pacar Abang jalan bareng sama cowok lain".

"Nggak usah ngeles, lho itu irikan sama gue gara lho nggak punya pacar dan gue masih ingat pas lho ngasih makanan basi ke gue hingga bikin gue malu di sekolah".

"Nggak kok, itu cuma kelalaian aku dan nggak ada maksud nyakitin Abang...". Aku langsung mengambil salah satu action figurnya dan menginjaknya dengan kakiku.

"Rasain anak resek" ucapku meninggalkannya, Wani melihat action figurnya telah hancur.

Pov Syasya

   Syasya terus menangis, namun menutup mulutnya dengan bantal agar tangisannya tak di dengar oleh ayah, ibu dan neneknya.

"Lufy, maafin aku nggak bisa jaga kamu" ucap wani terhadap action figurnya.

   Saat sarapan pagi matanya sudah bengkak, karena menangis semalaman dan neneknya sangat rusuh.

"Kenapa mata cucu nenek bengkak kayak gini?"

"Kamu nangis tadi malam Syasya" Aiman mulai sedikit cemas, mungkin ini gara-gara perlakuan kasarnya tadi malam.

"Nggak nek... cuma nonton film sedih banget dan nangis, eh pagi mata udah bengkak kayak gini".

"Beneran ... nggak karena abangmu kan?" Kata ayah yang melihat ke arah Aiman.

"Ayah pikir aku nggak ada kerjaan" ucap Aiman sambil memakan nasi gorengnya.

   Wani menyipitkan mata melihat abangnya yang tak punya rasa bersalah dan makan secara lahap.

"Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?"

"Siapa juga yang lihat? Kepedean tingkat akut".

"Udah jangan bertengkar lagi, kamu Aiman cari masalah aja sama adikmu ".

"Maaf nek.."

   Syasya tersenyum penuh kemenangan,. sedangkan Aiman sudah sangat kesal dan ayahnya memintanya mengantar Wani.

"Aiman .... antar adikmu, ayah ada penerbangan ke luar kota jadi nggak bisa antar adikmu".

"Nggak usah ayah, aku naik angkot aja".

"Syasya nggak usah, lagian abangmu kan di beliin mobil juga punya tanggung jawab antarin kamu".

"Tapi ayah aku ada urusan sama temanku".

"Kamu lebih milih teman ke timbang adikmu, sini kasih kunci mobil".

"Apa hubungannya?"

"Aiman jangan bantah ayahmu terus, dia mau keluar kota"

"Baik aku antarin dia".

   Ayah pergi lebih pagi sebab ada penerbangan pagi, bang Aiman terus berteriak dan membunyikan klakson mobilnya.

"Tunggu bentar aku lagi ambil sepatu".

"Cepat nggak nanti gue tinggal lho.."

"Iya...iya dasar bawel"

"Bilang apa tadi?".

"Aku bilang kok abangku ganteng sekali".

"Itu fakta" Syasya serasa ingin muntah dengan perkataan abangnya satu ini dan saat satu kilo lagi hampir sampai sekolah Aiiman memberhentikan mobilnya.

"Turun... turun.."

"Belum sampai sekolah bang..."

"Teman gue udah nelpon dan gue telat gara-gara antar lho..".

"Berhenti in ... aku didepan halte bis aja gimana" .

"Nggak turun gue ada urusan mendesak".

    Syasya turun dan melihat tak ada angkutan umum yang lewat, ia sedikit cemas karena sering mendengar disini banyak preman dan ada korban begal yang sampai mati.

"Bang... jangan disini ya..".

"Bye... gue pergi dulu " Aiman langsung menceburkan mobilnya dan Syasya mulai berjalan mencari angkutan umum namun yang di temukanya orang gila yang sedang ingin mengejarnya.

"Adek ikut Abang yuk...".

"Nggak..."

  Syasya terus berlari dan hingga ia tersungkur namun ia kembali berdiri dan terus berlari tampa melihat sekitarnya dan ia merasakan tangan seorang memegang bahunya.

"Pak ... lepasin aku" Syasya menangis dan suara familiar terdengar.

"Syasya ini aku Hasbi...".

"Hasbi... itu kamu".

"Kamu kenapa?" Hasbi memberikan tisu kepada Wani karena melihat keningnya sudah penuh dengan keringat.

"Tadi aku di kejar orang gila" Hasbi melihat tangan Wani terluka dan sudah berdarah.

"Kamu jatuh tadi ".

"Ia ... tapi nggak nyadar bakalan luka soalnya aku udah ketakutan aja" ucap Syasya sambil tersenyum.

"Kamu naik mobilku aja".

"Nggak ngeropotin".

"Nggaklah, kamu kan teman spesial aku".

"Bisa aja kamu Hasbhi"

   Saat sampai di sekolah, Hasbhi meminta pak Ujang yang merupakan sopirnya mengantarkan Syasya pulang ke rumah.

"Kamu pulang dulu ya..."

"Tapi aku absen dong dan ketinggalan pelajaran".

"Aku izinin dan nanti aku pinjamin kamu catatan aku".

"Makasih Hasbi aku pulang dulu ya.." Syasya juga merasa kurang pede, sebab bajunya sudah kotor dan bau apalagi kakinya terasa sedikit nyeri mungkin karena kakinya juga terluka.

"Makasih mang Ujang".

"Iya sama-sama neng... mang Ujang pergi dulu".

"Okey mang..".

"Syasya kenapa kamu pulang jam segini".

"Aku jatuh Bu... abis di kejar orang gila dijalan".

"Kok bisa, Aiman nggak antar kamu sampai sekolah".

"Antar kok ma... tapi pas aku mau jajan aku ketemu orang gila dan jatuh kayak gini" ucap Syasya untuk agar ibunya tak marah pada abangnya jika terjadi ia juga yang akan kena imbas oleh abangnya yang super sensitif.

"Jangan bohong sama ibu, ibu kenal kamu Syasya jika kamu bohong kamu nggak bisa natap mata ibu".

"Nggak bu..".

   Aku masuk ke kamar dan mengobati luka yang cukup besar di kakiku, nenek masuk ke kamar dan sangat dramatis melihat lukaku.

"Ya Allah ... kenapa cucu nenek sampai luka begini".

"Ada apa ma?".

"Syasya kakinya luka, darahnya banyak". Karena ibu juga ikut datang tambah drama mereka, sedangkan aku bicara tak apa-apa.

"Ini luka biasa nek ... berapa hari juga sembuh"

"Nggak... panggil dokter Robert kerumah".

"Nggak usah nek ... Aku kasih alkhol untuk bersihin kemudian betadin dan sembuh".

"Nurut aja kata orang tua" ucap ibunya yang langsung menelpon dokter Robert.

   Dokter Robert datang dan membersihkan lukaku sambil memberi resep dokter untuk di tebus di klinik.

"Syasya jangan banyak gerak dulu, biar lukanya cepat kering"

"Baik dok.."

    Dokter Robert pulang dan nenek terus menceloteh karena Abang tak mengantarkan aku sampai ke sekolah.

"Nanti kalau abangmu itu pulang nenek Jewel telinganya".

"Lagian dia mungkin ninggalin aku karena ada urusan mendadak".

"Mendadak sampai tinggalin adiknya di tempat seperti itu..."

"Nenek nggak usah marah lagi nanti luka ini juga sembuh kok, kan dokter Robert udah obatin aku".

"Sakit ya.." ucap nenek melihat lukaku dan aku menggeleng, sebenarnya sakit banget sih.

*****

   Aiman pulang sambil bersiul-siul, namun ayah,ibu dan neneknya sudah ada di meja.

"Aiman kemari dulu..."

"Ayah bukanya keluar kota".

"Aiman ayah tadi suruh kamu apa?"

"Antarin Syasya kesekolah".

"Terus kamu antar"

"Aku antarlah"

"Jangan bohong sama ayah" ucap Ayah suaranya lebih tinggi.

"Pasti dia ngadu" ucap Aiman dalam hati.

"Aku antar dia, tapi aku ada keperluan mendesak jadi aku tinggal dia sebelum tiba kesekolah dan jaraknya nggak jauh kok".

"Aiman kamu tau gara-gara kamu ninggalin Syasya disana, dia dikejar sama orang gila sampai dia jatuh dan luka-luka".

"Aiman apa ayah pernah mendidik kamu untuk kurang ajar seperti ini".

"Aku nggak tau kalau disana ada orang gila dan mungkin dia bohong biar aku kena marah sama kalian".

"Aiman nenek nggak percaya kamu ngomong tentang adik kamu sejahat itu".

"Dia bukan adik aku, dia cuma anak angkat" Ayah langsung menampar pipi Aiman dan Aiman terkejut karena baru sekali ini dia di tampar ayahnya.

"Kalian semua cuma sayang sama anak pungut itu..." Ucap Aiman dan langsung menuju kamarnya.

"Aiman...." Teriak ibunya dan ayah menatap tatanganya yang habis menampar Aiman.

"Lho sukanya ngadu.." Aiman membuka pintu kamar Syasya dengan keras dan ia melihat bahwa kakinya adiknya sedang di perban dan kembali keluar kamar.

"Ya ampun... gue benar-benar nggak maksud gitu". Aiman menyesal telah meninggalkan adiknya disana tadi ia hanya ingin mengerjainya dan tak berniat melukainya.

    Ibunya mengetok pintu kamarnya dan Aiman langsung duduk di tempat tidurnya.

"Aiman ibu mau ngomong sama kamu.."

"Iya Bu..".

"Kamu tau ayah merasa sangat bersalah karena nampar kamu tadi dan kamu juga salah karena ninggalan adekmu dan ngomong kayak tadi".

"Iya aku tau, cuma aku merasa ayah, ibu dan nenek cuma sayang sama dia".

"Aiman mana ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya dan tadi ayah nampar kamu karena sayang sama kamu".

"Aiman ngerti dan maafin Aiman udah berlaku kayak tadi".

"Iya ... Ayah, nenek pasti udah maafin kamu sebelum kami minta maaf".

"Makasih ma.. tapi kamu udah minta maaf sama adekmu".

"Belum ma..."

  *****

   Pagi-pagi sekali ada ketok kan pintu dan ternyata Abang Aiman bawa bubur serta jus tomat.

"Makan dulu dek.."

  Aku nggak ngimpikan lihat abangku tiba-tiba berubah gini.

"Udah makan buburnya sana jangan lihat Abangmu terus" aku mengucek-ngucek mataku jangan-jangan aku masih mimpi.

"Kamu lagi ngapain sih? "

"Ini benar-benar abang, biasanya kerjanya marah kayak bapak singa aja".

"Bapak singa" suara Aiman kembali naik dan Wani langsung memakan buburnya.

"Makasih bang ... buburnya enak".

"Jelas enak gue yang beliin, soal kemaren gue minta maaf".

"Aku udah maafin bang"

   Aiman pamit keluar dan Naya menelponnya,

"Sayang kamu jadi jemput aku, soalnya aku ada kuliah pagi".

"Okey aku jemput".

   Aiman langsung berlari ke mobil dan ibunya memanggilnya,

"Aiman kamu mau kemana pagi-pagi begini"

"Aku ada urusan di kampus Bu...."

"Kamu bisa bawa pacar kamu saat kita mau kasih selamat buat wisuda kamu".

"Okey ma..".

avataravatar
Next chapter