5 BAB V Kehangatan Yang belum Pernah Dirasakan Denias

Sepanjang sore kami habiskan dengan bercanda ria sambil menikmati teh hangat dan cemilan favorit kami. Aku dan Denias gantian bercerita tentang aktivitas keseharian kami di sekolah. Aku selalu menantikan dan sangat menikmati saat-saat kami berbagi cerita kepada Mama dan Papa karena tidak jarang mereka pun mengeluarkan pendapat bahkan menasehati kami bila ada salah yang kami buat dari cerita hari itu. Meskipun Mama dan Papa sibuk, tetapi berkumpul bersama dan mendengar cerita kami di sore hari adalah prioritas utama mereka. Selain agar hubungan kami selalu harmonis, juga agar mereka mengetahui aktivitas dan perkembangan kami.

Awalnya Denias tidak mau bercerita karena malu dan menurutnya ceritaku sudah mewakili ceritanya karena kami selalu bersama. Tapi, lama kelamaan ia mulai berani bercerita. Saat ia bercerita, kami pasti selalu dibuatnya tertawa. Entah karena pengucapannya yang kadang salah, tapi juga karena dialegnya yang masih kental.

"Ta pu teman …" ucap Denias yang langsung kupotong.

"Bukan 'ta' tapi 'sa', Denias!" ucapku sambil ketawa karena lucu.

"Bo …, kalo begitu ko yang bicara sudah, Monika," ucapnya sedikit kesal karena selalu kuprotes.

"Aih tong tegur sedikit saja su marah. Tra lama jadi kakek-kakek baru tobat," ucapku dengan wajah cemberut.

"Sudah, sudah, nanti bertengkar lagi. Denias, ayo lanjut," ucap Papa melerai kami. Denias pun kembali bercerita tapi kali ini lebih memperhatikan penyebutan kata-katanya.

"Beh, tong asyik cerita begini tapi hari su mulai gelap ini. Lebih baik tong siap-siap mandi sudah baru maghrib sama-sama," ucap mama mengingatkan kami karena hari mulai sedikit gelap. Kami pun segera bangkit dari tempat duduk kami, bergegas mandi lalu sholat maghrib berjama'ah dan tak lupa mengaji setelahnya. Biasanya kami akan mengaji sampai masuk waktu sholat isya kemudian lanjut sholat isya berjamaah. Setelah itu kami makan malam bersama. Kami memilih waktu makan setelah sholat isya, sekitar jam setengah delapan malam agar perut kami tidak cepat lapar mengingat udara pada sepanjang malam hari sangatlah dingin menusuk sehingga memungkinkan pada tengah malam perut kami akan lapar.

"Ma…, sa bantu bawa makanan ini ke meja makan e?" ucapku sambil mengangkat mangkuk berisi sup.

"Sa yang atur piring sudah," ucap Denias.

"Papa duduk disini ya? Mama disini. Sa disini, Denias disini. Ayo duduk!" ucapku sambil menarik kursi satu per satu.

"Bo …, Mama pu makanan ini pu enak apa. Sa mau tambah banyak-banyak. Apalagi tup ini," ucap Denias bersemangat.

"Sup, Denias. Bukan tup," ucapku sambil memutar bola mataku.

"Ssttt, makan jang ribut. Tong makan cepat sudah baru tidur," sela Papa. Kami pun makan dengan lahap karena udara makin dingin.

"Denias, Monika, jang lupa kam minum susu e? Ada di meja dapur itu," ucap Mama mengingatkan kami yang akan segera berlari ke kamar kami masing-masing. Kami pun segera berbalik menuju dapur dan menghabiskan susu kami. Setelah itu kami meletakkan gelas kami di wastafel bersama peralatan makan lain yang kotor. Peralatan makan yang kotor akan dicuci pada pagi atau siang hari bila tidak terlalu dingin. Hal ini karena bila udara dingin, air akan sedingin es batu.

"Yeskon! Ah, kenapa sa bisa lupa kalo besok sa latihan bola?! Sa sepatu ada kotor lagi," teriak Denias sambil memukul testanya. Aku terkejut dibuatnya.

"Denias, ko nih bikin sa jantung hampir jatuh," ucapku sambil memukul punggungnya, "Makanya, sore tuh jang ingat main saja. Sana, lebih baik ko kasih bersih sepatu itu dari pada besok ko dapat hukum".

Denias melangkah malas menuju rak sepatu dan mulai membersihkan sepatu bolanya. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Karena sangat mengantuk, aku tidak membantunya. Saat menuju kamarku, aku berpapasan dengan Papa.

"Monika, Denias mana?" tanya Papa heran.

"Papa, Denias de lupa bersihkan sepatu bolanya jadi de ada bersihkan itu. Sa su ngantuk jadi tra bisa bantu. Monika tidur dulu e, Papa?" jawabku dan mencium pipi Papa sebelum masuk ke kamar.

"Sio…, iya Monika tidur sudah, biar Papa yang bantu Denias dia," ucap Papa sambil mengelus rambutku dan berjalan menuju Denias.

"Denias, sini Papa bantu. Denias pi tidur sudah, su malam ini," ucap Papa yang masih kudengar dari dalam kamarku.

"Jangan Papa, Denias su lupa tadi jadi trapapa," ucap Denias.

Papa duduk bersila di depan Denias. Ia mengambil sepatu beserta sikat dari tangan Denias. Tersenyum pada Denias dan mulai menyikat sepatu Denias.

"Denias pi tidur sudah. Papa belum mengantuk juga jadi biar Papa yang bersihkan sepatu ini," ucap Papa lembut.

"Tapi Papa, ini Denias pu kesalahan, jadi ...," ucap Denias terpotong.

"Sudah, malam ini Denias jadi anak baik e. Dengar Papa. Ini juga su dingin sekali jadi cepat pi tidur. Papa tra mau papa pu jago sakit, jadi sana tidur," ucap Papa.

"Baik, Papa. Terima kasih banyak, Papa. Denias tidur dulu," ucap Denias.

Papa tersenyum, menaruh sepatu dan sikat ke lantai lalu mengulurkan kedua tangannya pada Denias. Denias awalnya ragu-ragu, kemudian berlari ke pelukan Papa. Papa memeluk dan menepuk-nepuk punggung Denias. Denias sampai terharu dibuatnya. Air matanya pun jatuh.

"Sudah sudah, sekarang Denias tidur e," ucap Papa disertai anggukan Denias. Denias pun segera berjalan menuju kamarnya.

"Tuhan, sa terima kasih sekali karna Tuhan su kasih Papa, Mama dan sodara yang baik macam Monika. Sa tra tau mo bilang apa lagi. Baru sekarang sa rasa begini. Sa bahagia sekali, Tuhan," ucap Denias sambil berbaring memeluk bantal gulingnya. Air matanya pun mengalir membasahi bantal. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasakan kehangatan keluarga yang sempurna. Begitu sempurna hingga mampu mengganti semua penderitaannya selama ini. Tanpa terasa ia pun tertidur dengan hati bahagia.

Saat subuh tiba, Papa membangunkan kami dan shalat subuh berjamaah. Karena masih mengantuk, aku dan Denias kembali tidur setelah sholat. Mama mulai menyibukkan diri di dapur dibantu Papa. Mereka berbagi tugas.

Pagi harinya diawali dengan langit yang cerah. Burung-burung berkicau saling bersahutan membuat suasana penghuni rumah penuh dengan semangat dan ceria. Setelah sarapan siap di meja makan, semua pun makan dengan tenang dan lahap. Karena waktu menunjukkan masih terlalu pagi, kami pun tetap duduk sambil bercanda di meja makan.

"Eh, Denias, baru sepatumu su siap kah? Jang bilang belum lagi," ucapku mengingatkan Denias.

"Ko tenang saja, su siap dan su mengkilat," ucapnya bangga.

"Iya kah? Bagus sudah. Baru, kenapa ko mata bengkak begitu? Ko begadang sampe jam berapa jadi?" tanyaku lagi.

"Ah, sa tra begadang. Papa bantu sa jadi sa tidur cepat," jawabnya sambil menunduk malu.

"O ... Jang bilang mata bengkak ini karna ko terharu to?" tanyaku mengejek.

"Monika, ko stop ganggu sudah. Sa tra teman ko nanti baru," ucapnya malu-malu.

Kami pun tertawa melihat ekspresinya. Papa dan Mama mengelus lembut rambutnya. Melihat itu aku bukannya iri melainkan aku turut bahagia untuknya. Denias pantas disayangi dan dicintai.

"Ya sudah, ayo semua siap-siap berangkat. Hari cerah begini bagus kam jalan dari sekarang biar bisa dapat vitamin D banyak-banyak," ucap Mama.

Kami pun bergegas mengambil tas dan memakai sepatu.

"Ado, ini tali de kenapa ini?" ucap Denias yang masih bingung cara mengikat sepatunya.

"Mamayo, ikat tali sepatu saja tra bisa tuh. Ado ...," ucapku sambil memukul testaku. Aku pun membantu Denias mengikat tali sepatunya.

"Yo, begitu baru bagus. Denias, Monika, Papa harap kam dua selalu saling bantu dan saling jaga e," ucap Papa pada kami. Kami mengangguk bersamaan. Setelah itu kami menyalami dan mencium pipi Mama sebelum berangkat sekolah. Papa berjalan bersama kami. Setelah tiba di depan sekolah, kami menyalami dan mencium pipi Papa lalu beranjak masuk ke dalam sekolah. Sedangkan Papa melanjutkan perjalanannya. Kantor Papa tidak jauh dari sekolah kami.

avataravatar