4 BAB IV Andai Aku Seperti Mereka

Ketika mendengar Denias bercerita tentang apa yang sudah dilaluinya, ada rasa sedih sekaligus bangga kepadanya. Anak sekecil itu dimana ia seharusnya mendapat kasih sayang dan perhatian penuh dari orang tua serta keluarganya malah harus berjuang sendiri bertahan hidup menghidupi dirinya di luar sana. Aku pun tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya ketika ia pertama kali harus bertahan hidup di lingkungan pasar. Bagaimana ia melewati dingin mencekamnya malam ketika yang lain tidur dengan selimut tebal? Bagaimana ia mengisi perutnya ketika kelaparan dan kehausan?

Denias kecil awalnya begitu ketakutan dengan perubahan lingkungannya yang tiba-tiba itu. Ketika perasaan disayang dan dilindungi berganti menjadi kesunyian dan ketakutan. Denias tak bisa apa-apa kecuali menangis dan meneriakkan nama pamannya. Seorang paman sekaligus penolongnya kala ibunya akan membuangnya ketika baru lahir. Ayahnya entah ada dimana. Pamannya yang bekerja sebagai Marbot masjid mengurusnya dengan sangat baik. Ia selalu mencoba memenuhi segala kebutuhan Denias. Upah yang didapatnya tidak seberapa tetapi kebaikan hatinya dan keramahannya membuat jamaah masjid dan masyarakat sekitar seringkali berbagi makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya kepadanya.

Karena kesehariannya selalu dilewati bersama pamannya, Denias pun tumbuh menjadi anak yang rajin dan ramah. Denias juga diajak belajar mengaji oleh ustadz yang mengajar mengaji di masjid itu. Baru beberapa hari belajar mengaji ia sudah menjadi kesayangan ustadz dan teman-temannya. Daya tangkapnya yang cepat dan ketangkasannya mengikuti irama sang ustadz membuatnya terpilih mewakili masjidnya untuk berpartisipasi dalam lomba MTQ balita. Meski hanya meraih juara harapan tetapi sudah sangat membanggakan bagi masjidnya.

Sayangnya semua itu tidak berlangsung lama. Sang paman bertemu dengan pujaan hatinya dan memutuskan untuk menikah. Karena pamannya begitu sayang pada gadisnya sehingga ia rela untuk murtad dan melepas Denias. Meskipun pamannya berusaha untuk mempertahankan Denias tapi sang kekasih menolak dan mengancam tidak akan menikah dengannya. Alasan sang kekasih karena ia tidak mau terbebani dengan anak kecil apalagi anak itu bukan anaknya ataupun keluarganya. Ia ingin hidup puas berdua dulu sebelum memutuskan untuk punya anak.

Setelah menikah, paman Denias dan istrinya lalu mengatur waktu untuk meninggalkan Denias di pasar. Sebelum menjalankan aksinya, kerap kali Denias kecil dipukul dan dicubit oleh istri pamannya. Ia juga sering tidak diberi makan. Semua pekerjaan rumah diserahkan ke Denias. Tubuh kecilnya gemetar kala menahan lapar dan kelelahan karena bekerja. Untuk menghilangkan rasa laparnya, Denias berinisiatif meminum air putih banyak-banyak agar perutnya terisi.

Hari ketika Denias dibuang di pasar, Denias sudah berusaha kembali dengan mendatangi semua tempat yang biasa didatangi oleh paman dan bibinya tetapi tetap tidak menemukan mereka. Dia juga berusaha bertanya ke orang-orang yang dekat dengan paman dan bibinya tetapi mereka hanya menjawab bahwa paman dan bibinya sudah pergi tinggalkan desa ini. Mereka tidak ada yang tahu kemana paman dan bibinya pindah.

"Denias, yang bikin ko sedih tuh apa?" tanyaku padanya.

"Trada pu keluarga itu yang bikin sa sedih. Kalo sakit saja tong tratau mo bilang dan minta tolong ke sapa. Sa pernah menangis dan marah sama Tuhan. Sa bilang Tuhan tuh tra adil, Tuhan kasih orang lain keluarga tapi tidak kasih ke sa. Sa juga mau bah pu keluarga, ada mama, ada bapa, kaka, ade, bapa tua, mama tua, bapa ade, mama ade, nene, tete, semua sudah. Tapi sa lebih ingin pu mama yang sayang sama sa karena pak ustadz de bilang surga itu di telapak kaki ibu. Kalo sa tra ada mama, bagaimana sa akan bisa ke surga? Sa selalu pikir begini 'Andai sa seperti mereka, yang pu keluarga lengkap, pasti sa akan bahagia sekali'. Tapi ah hidup ini tidak adil betul," jawab Denias dengan raut wajah sedih.

"Denias, ko jang berpikir begitu. Dulu sa pu ustadzah de bilang begini 'Tuhan itu de uji kita sesuai dengan tong pu kemampuan. Itu tanda Tuhan de sayang kita. Hidup ini juga penuh ujian jadi kita harus tegar dan sabar, kalo trada ujian itu berarti bukan hidup, tetapi itu latihan soal'. Ko harus bersyukur karna sampai sekarang ini ko masih baik-baik saja. Betul ka tra?" ucapku padanya.

"Beh, ko nih pintar juga e. Pasti ko ikut mama to jadi ko bisa dengar ceramah itu? Betul yang ko bilang, itu sudah. Tapi .... sa pu sedih ini macam susah hilang kah," ucapnya lagi makin sedih.

"Ba .... jang sedih begitu. Kalo ko sedih sa juga sedih ini e. Sa bersyukur dapat teman macam ko. Kemana-mana ada teman. Kalo mama dan papa sibuk juga ada ko yang temani sa. Yang paling penting itu tong bisa belajar sama-sama jadi tong akan pintar sama-sama. Iya to?" tanyaku padanya.

"Ah betul. Sa juga senang dapat teman macam ko. Tong bisa belajar, main, mengaji, pokoknya hampir semua itu tong sama-sama. Tapi ... yang bikin sa paling bersyukur sekali itu sekarang sa pu mama dan papa ada, baru dong paling sayang sa sekali e ..." ucap Denias dengan menekankan kata-kata terakhirnya.

"Beh, tunggu dulu. Ko salah sangka ini. Mama dan Papa itu dong paling sayang sa sudah melebihi apapun di dunia ini. Ko tuh nomor dua dari sa. Sa tra terima e ko bilang begitu!" ucapku penuh emosi. Satu hal yang membuatku merasa aneh adalah Denias tidak marah dengan ucapanku tetapi justru tertawa besar.

Mendengar tawanya, aku baru sadar kalau Denias sedang mengejekku. Melihat langkahku yang akan mendekatinya, ia segera berlari. Akupun segera mengejarnya. Lama kami saling kejar-kejaran di taman belakang rumah. Karena lelah akupun berhenti lalu duduk berselonjor kaki di atas rumput taman sambil mengatur nafasku. Melihatku berhenti mengejar, Denias juga melakukan hal yang sama denganku. Kami lalu saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak sampai berbaring di atas rumput.

Tanpa kami sadari mama dan papa sedari tadi memperhatikan tingkah kami. Mereka pun senang dan terharu melihat keakraban kami. Ternyata mama sudah menyiapkan teh dan sepiring cemilan untuk kami. Setelah puas memperhatikan kami, mama pun segera memanggil kami.

"Monika! Denias! Ayo sini tong minum teh dulu. Ini ada cemilan yang kam juga suka. Cepat, kalo tidak Papa kasih habis ini."

Aku dan Denias tidak buang-buang waktu lagi dan segera berlari menuju mereka. Di taman belakang terdapat meja bundar yang di kelilingi beberapa kursi dan beratapkan payung kayu. Dari jauh akan terlihat menyerupai pondok kecil. Disini adalah tempat favorit kami menghabiskan waktu santai dan bercanda ria. Disini juga tempat yang aku dan Denias sukai saat mengerjakan tugas sekolah.

avataravatar
Next chapter