1 BAB I Prolog

BRAK!

"Kau pilih aku atau dia?!" Teriak Alvian sambil menggebrak meja saat melihat Denias datang menghampiri kami.

Aku tak mengerti apa yang Alvian katakan, "Apa maksudmu, sayang?"

"Heh, sahabat?! Persetan dengan persahabatan kalian karena persahabatan kalian tidak murni!" teriaknya lagi sambil menunjuk Denias.

"Sayang, sebenarnya ada apa ini? Kenapa kau marah pada Denias?" tanyaku benar-benar bingung.

Denias hanya berdiri mematung menatap kami bergantian. Saat tatapan kami bertemu, ia lalu menundukkan kepalanya dan memalingkan wajahnya. Tangannya mulai menggaruk-garuk kepala belakangnya. Pose ini, aku kenal betul.

"Denias, tatap sa dulu. Sebenarnya ini ada apa? Kenapa Alvian de bilang begitu?" tanyaku pada Denias karena dari tingkahnya aku tahu dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku.

Denias hanya berdiri diam di tempatnya. Alvian tersenyum mencibir sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Kenapa diam? Kau takut kan? Dasar Pengecut!" ucap Alvian dengan pandangan menghina ke arah Denias. Sedang Denias tetap tenang di tempatnya.

"Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan orang tidak tahu diri sepertimu. Siapa Monika dan siapa kamu, apa sudah pernah kamu pikirkan? Kalian ini umpama langit dengan bumi. Dan kau Denias, kau sangat tidak layak untuk Monika. Kau tahu kenapa? Karena kau seorang Pe-nge-cut, apa yang bisa diandalkan darimu, he?!" ucap Alvian penuh penekanan.

"Hentikan, Alvian! Apa yang terjadi padamu?! Kenapa kau seperti ini ke Denias? Dia itu sahabatku, jangan lupa itu," ucapku penuh emosi.

Mendengar suaraku yang meninggi justru menyulut emosi Alvian. Dia maju mendekatiku dan meremas kedua rahangku dengan kuat, sedang tangan kirinya juga meremas lengan kananku sama kuatnya. Aku meringis karena sakit. Ucapannya tertahan menahan emosinya, "Kau berani membentakku?! Apa kau lupa kalau aku tidak suka ditentang, he?! Berapa kali kukatakan jangan berhubungan lagi dengannya tapi kau tidak mendengarkan! Dia itu tidak anggap kamu sahabat! Itu hanya kedoknya untuk dekat sama kamu. Dia suka kamu. Kamu saja yang bodoh!"

"Lepaskan dia, Alvian!" ucap Denias penuh emosi.

"Kenapa? Kau juga terluka?" tanya Alvian menyeringai. "Akan kubuat kau lebih terluka."

Tiba-tiba saja Alvian menarikku dalam pelukannya dan mendaratkan ciumannya di bibirku, sedikit menekan lidahnya untuk memaksa membuka bibirku. Tanpa sadar aku mendorong dan menamparnya. Air mataku tak bisa kutahan lagi. Aku tak percaya Alvian melakukan ini padaku bukan saja di depan Denias tapi juga di depan banyak orang. Aku mengambil tasku dari kursi dan berlari meninggalkan mereka.

"Monika, tunggu!" Teriak Denias sambil berlari menyusulku.

Aku terus berlari hingga kurasakan tak ada lagi orang yang memperhatikan dan berlalu lalang, lalu berhenti di bangku panjang pinggir pantai yang sepi. Aku duduk dan menangis sejadinya. Aku tak pernah membayangkan akan mendapat perlakuan seperti ini oleh orang yang sangat kucintai. Meski ruang makan yang tadi kami tempati adalah jenis privat room tapi seluruh dindingnya adalah kaca dan aku yakin tadi semua orang di restoran itu bisa melihat dan mendengar jelas pembicaraan kami. Aku sangat malu dan kecewa mengingat kejadian tadi. Aku duduk di bangku, menangis sambil kedua tanganku menutupi wajahku, kedua sikuku kuletakkan di pahaku sebagai penopang.

"Monika..." suara Denias khawatir.

Ia lalu berjongkok dan memeluk diriku. Hal yang selalu dia lakukan saat menenangkanku. Tangisanku semakin kencang dan sulit dikendalikan. Bersamaan dengan itu kurasakan pelukan Denias pun makin erat, satu telapaknya menepuk-nepuk belakangku.

"Wah wah wah, Luar biasa. Benar-benar luar biasa persahabatan kalian sehingga aku malu mendapati hubungan kalian sebagai sahabat, " ucap Alvian penuh cemohan sambil bertepuk tangan.

Mendengarnya, aku berdiri dan berbicara dengan nada tinggi, "Katakan, apa yang ingin kau katakan! Bukankah katamu aku bodoh? Jadi langsung saja katakan apa maksudmu biar aku mengerti. Kau tidak seharusnya memperlakukanku seperti ini, Alvian. Aku kekasihmu, bukan orang lain!"

"Kau puas, Denias?! Ini yang kau harapkan bukan?!" teriak Alvian menatap tajam Denias.

"Cukup, Alvian! Monika tra tau apa yang tong maksud. Jadi stop salahkan Monika! Kalo ko mo marah, ko marah sa saja karna ini sa yang salah" jawab Denias.

"Denias, sebenarnya ada apa ini? Kenapa ko bilang kalo ko salah?" tanyaku pada Denias.

"Trada, Monika," jawabnya singkat. Tapi aku tahu ada yang dia sembunyikan.

Aku lalu beralih menatap Alvian, "Alvian, coba kau yang jelaskan sudah. Kalian kenapa sampai begini?"

Bukannya menjawab pertanyaanku tapi Alvian malah menarik tanganku dan mengajakku pergi, "Sudahlah, ayo kita pergi."

Aku menghentikan langkahku dan berusaha sekuat tenaga melepas genggaman tangannya, "Lepaskan aku, Alvian! Jangan memperlakukanku seperti ini."

"Kenapa? O.... jadi kau lebih pilih dia dari pada aku?" tanya Alvian sambil menunjuk Denias.

"Bukan begitu. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dan kau tiba-tiba kasar padaku, seolah-olah aku sudah buat kesalahan. Aku ingin sendiri dulu menenangkan diri," ucapku dengan nada lelah.

"Sendiri? Bilang saja kau ingin bersamanya?" ucap Alvian.

"Hentikan Alvian, aku lelah," ucapku lagi.

Denias menghampiriku, "Sa ke kamar dulu. Kalo ko butuh apa-apa nanti telpon atau sms sa saja e?" Sambil menepuk pundakku, ia lalu berjalan meninggalkan kami berdua.

"Mulai sekarang jangan berteman lagi dengan dia," ucap Alvian melihat kepergian Denias.

"Alvian, aku tahu kamu itu kekasihku tapi Denias hadir lebih dulu dari kamu. Dari kecil dia sudah ikut kami. Kami tumbuh sama-sama dan sekarang kau minta aku menjauhinya? Bukankah sebelum jadian kau sudah tahu semua ini? Dia itu sahabatku sekaligus saudaraku. Mama dan Papaku juga membawanya tinggal bersama kami karena mereka juga sayang pada Denias. Dia berbeda dari saudaranya yang lain di kotanya, dia punya semangat belajar yang tinggi dan potensial. Karena itu Papaku membawanya dan memenuhi semua kebutuhannya agar dia juga bisa mewujudkan mimpinya dan menjadi contoh yang baik serta bisa memotivasi saudaranya yang lain," jelasku.

"Terserah padamu. Yang jelas aku tidak suka padanya. Dan kuingatkan sekali lagi, jauhi dia. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hubungan kita," ucap Alvian sambil berjalan meninggalkanku.

Aku kembali duduk di bangku panjang yang tadi kududuki sambil mengingat kembali kejadian tadi di restoran, sikap Denias yang tenang meski aku tahu dia gelisah, perubahan sikap dan emosi Alvian sampai dengan kata-kata terakhir yang diucapkannya. Aku harus cari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang pasti aku tidak bisa memilih salah satu diantara mereka karena mereka adalah orang yang sangat kucintai, tentu saja dengan arti cinta yang berbeda. Tapi tunggu, sepertinya ada yang kulewatkan? Apa itu? Ah, tadi Alvian bilang Denias suka aku. Bukannya memang kami saling menyukai karena kami sahabat. Apa aku salah mengartikan maksud Alvian?

avataravatar
Next chapter