webnovel

1 Ceroboh

Namaku Nita Alesha Candra, biasa dipanggil Nita. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki yang menurutku super duper nyebelin, namanya Riko. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk selalu menceramahiku padahal dia sendiri tidak luput dari yang namanya nakal.

"Nita!! Sudah berapa kali aku bilang jangan pulang larut malam!!" katanya sewaktu aku pulang dari party teman sekolahku.

"Ini masih jam sebelas malam Bang, belum jam dua belas!" protesku padanya.

"Kamu itu adik aku, bukan Cinderella yang batas waktunya jam dua belas malam Nita!! Kenapa sih punya adek satu aja susah banget dibilangin! Kamu tau nggak sih kalau cewek itu harus pintar jaga diri. Zaman sekarang ini banyak banget orang-orang jahat di luar sana," imbuhnya tak mau kalah.

"Aku pulang dianterin temen bang... nggak sendiri aja, tenang aja sih," ucapku membela diri.

Bang Riko melihatku dengan tatapan menyelidik mendengar jawabanku. Dalam hati aku mengumpat diriku sendiri yang keceplosan bicara. Bisa gawat kalau sampai aku salah bicara lagi.

"Dimas??" tanyanya tepat sasaran.

"Bukan kok!! Aku dianterin sama Kayla," ucapku terpaksa berbohong.

"Nita!!" Bang Riko menatapku tajam tanpa berpindah dari tempatnya berdiri.

"Beneran Bang!! Kalau nggak percaya telepon aja si Kayla, nih.." kataku seraya menyodorkan handphone milikku.

Dalam hati aku merasa sangat bersalah telah membohongi abangku, tapi di satu sisi aku tak mau kejadian dulu terulang lagi. Sungguh aku merasa malu mengingat bang Riko yang tiba-tiba saja menggandeng tanganku dari atas panggung. Padahal saat itu sekolahku sedang mengadakan pentas seni perpisahan kakak kelas.

"Ya udah kali ini aku percaya. Tapi ingat satu hal!! Satu kali saja aku lihat si Dimas itu ngedeketin kamu lagi, abis…!!" kata bang Riko dengan satu tangannya bergerak menyamping melewati depan lehernya.

Aku bergidik ngeri melihatnya dan memilih untuk segera menuju kamarku yang berada di lantai dua. Segera ku ambil baju ganti di lemari pakaian untuk ku pakai selepas mandi. Rasanya tubuhku sangat lengket setelah tadi berpesta di rumah teman sekelasku yang merayakan ulang tahunnya.

Aku mulai berendam di dalam bathtub untuk menyegarkan badanku sejenak. Rasanya penat dalam tubuhku hilang seketika karena aku menggunakan aromaterapi lavender yang menjadi favoritku. Satu rutinitas wajib yang harus aku lakukan jika merasakan letih di sekujur tubuhku.

Setelah ku rasa cukup, aku pun segera mengeringkan tubuhku dengan handuk yang terletak tak jauh dari bathtub. Barulah aku mengenakan baju yang telah ku siapkan tadi. Rambutku yang panjang ku biarkan tergerai bebas begitu saja. Aku duduk di depan cermin dan mulai menggunakan krim pelembab tanpa menggunakan riasan apapun tentunya karena tujuanku sekarang adalah tempat tidur.

Ranjang king size milikku adalah tempat ternyaman yang tidak akan ada duanya. Satu-satunya tempat yang bisa aku gunakan untuk mengekspresikan semua perasaanku. Saat aku menangis sambil telungkup di sana, saat aku lelah merebahkan diri di sana. Bahkan saat aku bahagia, aku akan berguling-guling di sana.

"Halo Moci…" aku mengambil boneka kucing yang ada di sisi ranjangku.

Moci adalah boneka yang berbentuk kucing hadiah ulang tahun dari bang Riko saat aku berumur lima belas tahun. Boneka berwarna kuning keemasan itu masih tetap menjadi boneka kesayanganku meskipun aku sudah hampir beranjak tujuh belas tahun.

Ku peluk boneka berukuran besar itu sambil memainkan handphone. Banyak notifikasi chat yang masuk dari beberapa temanku. Aku mulai scroll dari atas ke bawah untuk mengetahui siapa saja yang menghubungiku. Ibu jariku pun berhenti ketika membaca sebuah nama, Dimas.

"Aku udah sampai rumah nih. By the way makasih ya udah izinin aku buat nganterin kamu pulang. Aku sebenarnya nggak enak sama abang kamu karena hanya mengantar sampai depan gang rumah kamu, tapi mau gimana lagi kalau kamu udah memaksa. Selamat beristirahat ya.. sampai ketemu besok senin di sekolah.."

Aku tersenyum sendiri membaca pesan dari Dimas. Dia adalah seorang kapten tim basket di sekolah. Banyak cewek-cewek di sekolah yang berlomba mendapatkan perhatiannya, tapi entah kenapa justru aku yang selalu dikejarnya. Padahal aku hanyalah seorang adik kelas yang pendiam, upsss...maksudku nggak banyak omong kalau tidak saling kenal.

"Aku cuma malas kalau harus mendengar ceramah abangku.. sampai ketemu juga besok.."

Setelah membalas chat dari Dimas, akupun membuka chat dari Kayla yang khawatir jika aku dimarahi oleh abang. Kayla adalah fans berat bang Riko sejak pertama kali melihatnya menjemputku di sekolah. Padahal aku sendiri kalau disuruh menilai berapa nilai abangku sendiri, aku nggak mau dan nggak akan pernah memberinya nilai sempurna mengingat kebiasaannya yang suka balap motor.

"Tenang aja. Semua aman terkendali. Udah malam mendingan kita tidur," balasku.

Baru saja aku ingin merebahkan tubuhku di atas kasur, si abang mengetuk-ngetuk pintu kamarku dengan seenaknya. Aku ingin mencoba mengabaikannya tapi bang Riko malah makin kencang memanggil namaku berulang-ulang.

"Nita!! Hooii...Nita!!!

Tok!! Tok!! Tok!!

"Apa lagi sih bang!!" omelku yang akhirnya tak tahan juga untuk keluar dari kamar mendengar suara berisik yang dibuat olehnya.

"Kamu udah tidur??" tanyanya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Ya gimana mau tidur kalau Abang berisik terus!! Kenapa sih?" tanyaku kesal.

"Aku laper nih.."

"Lha terus???" tanyaku tak percaya dengan apa yang ku dengar.

"Bikinin mie instan dong.." pintanya sambil memainkan handphone miliknya.

"Ogah!!" kataku seraya menutup pintu.

Tapi bukan bang Riko namanya kalau tak berhasil memaksaku untuk menuruti permintaannya. Bang Riko masuk ke kamarnya yang berada di sebelah kamarku. Entah apa yang dilakukannya di dalam, tapi yang jelas aku mendengar suara dentuman keras di balik dinding kamarku.

"Abang ngapain sih malam-malam begini hah?? Berisik tau nggak??" teriakku dari dalam kamar.

"Laper!!"

"Hah?? Apaan??!!" kataku tak percaya.

"Laper!!"

"Mana ada orang laper bisa hiperaktif kayak gitu!!" kataku.

"Ini lagi ngikutin cacing dalam perut yang lagi joget-joget!!" sahutnya.

Aku memijit keningku sambil geleng-geleng kepala. Dan hal yang ku bisa sekarang hanyalah menuruti kemauannya. Aku beranjak dari kamarku dan menuju ke dapur untuk membuatkan bang Riko mie instan seperti yang dia mau. Tak lupa kusiapkan cabai rawit sepuluh biji karena memang bang Riko doyan pedas.

Setelah ku nyalakan kompor dengan panci berisi air di atasnya, aku mulai mencuci cabai rawit tersebut dan mengirisnya tipis. Ku ambil sebutir telur dari dalam kulkas juga beberapa lembar selada. Saat kembali ke kompor, kulihat airnya tak kunjung mendidih juga. Alhasil ku lihat ke tungkunya yang tidak mengeluarkan api sama sekali. Ku periksa lagi regulator gas yang ada di bawah kompor.

"Shit!! Gasnya habis! Duh aku nggak bisa ganti gas sendiri lagi. Gimana nih??" tanyaku pada diri sendiri.

Aku ingin meminta bantuan bang Riko untuk mengganti gas yang habis, tapi saat aku mengetuk pintu kamarnya, tak ada jawaban. Terpaksa aku pun berusaha menggantinya sendiri. Mungkin setelah ini aku akan meminta bi Asih untuk menginap di sini saja. Bi Asih adalah asisten rumah tangga di sini yang sudah aku anggap seperti keluarga. Sejak kecil bi Asih yang mengasuhku dan juga bang Riko. Hanya saja bi Asih tak mau menginap karena masih harus mengurus ibunya yang sudah renta.

Ceklek!!

Aku mencoba menyalakan kompor setelah mengganti dengan gas yang baru. Namun sampai percobaan ketiga, api kompor tak kunjung menyala juga. Aku mulai mencoba mengubah posisi regulator gas dan yang ku dapat malah bunyi aneh diikuti bau gas yang menusuk hidung.

Psssshhhhh!!!

Bunyi itu tak kunjung hilang ketika aku menekan ke bawah di bagian regulator gas. Aku mencoba berjongkok berharap dengan posisi itu lebih mudah memasangnya karena aku tak mau menyerah sampai di situ. Aku mencoba berulang kali namun masih saja gagal. Saat aku ingin berdiri dari posisi berjongkok, kepalaku terasa sangat pusing. Dapur terasa seperti sedang berputar-putar tanpa henti.

Aku menepuk kepalaku, siapa tahu bisa mengurangi pusing yang melanda. Namun yang ku rasakan malah sebaliknya, pandanganku makin kabur. Dan untuk berjalan rasanya aku tak mampu menggerakkan kakiku. Aku berusaha memegang apapun yang ada di dekatku untuk menopang tubuhku.

"Bang…"

Aku mencoba memanggil bang Riko, siapa tahu dia sudah kembali ke kamarnya. Tapi sepertinya percuma karena suaraku pun tak bisa keluar dengan sempurna. Tenagaku seperti telah terkuras habis.

Saat tanganku berhasil bersandar di dinding dapur, samar kulihat sosok tinggi berlari ke arahku sambil berteriak memanggil namaku.

Bruukk!!!

Next chapter