20 20. Kompres

Tepat jam 1 malam Audy terbangun dengan agak meringis kesakitan. Ia memang tidak memakai selimut karena Dirga bilang kalau memarnya yang diberi salep tidak boleh tertutup apapun. Gadis itu terbangun gara-gara ia merasa bahwa rasa sakit di kakinya itu semakin parah. Persis seperti dipukuli dengan palu.

Memang tendangan dari kaki Bianca sangat keras sekali. Bianca menganggap kaki Audy layaknya sebuah kardus kosong yang kalau ditendang sangat mudah. Audy meringis lagi dan melihat bahwa sekarang memarnya malah keungunan dan agak membesar alias jadi agak bengkak. Sepertinya tulangnya terlalu sakit.

"Duuuhhh.. sakit banget sih ini. Hiks." Ujar Audy yang memang tidak betah kalau merasa kesakitan. Air matanya turun perlahan karena bingung sendiri harus apa dan bagaimana.

Kalau berada di rumahnya sendiri, ia tak perlu bingung dan segera meminta tolong Vera untuk mengobatinya atau mencari alat yang ia ketahui letaknya di mana. Tapi sekarang? Ia tidak tahu harus apa dan bagaimana. Ini bukan rumahnya dan kalau ia mau mencari kompres letaknya ada di mana coba?

Audy mengusap air matanya dengan pelan. Memilih mencari celana pendek di dalam lemari milik adik Dirga. Lagi pula Dirga juga sudah mengijinkannya untuk berganti pakaian kalau ia sudah merasa risih. Dan sekarang ia merasa risih kalau berkali-kali menggulung kain celana baju tidur yang panjang itu. Jadi, Audy berinisiatif mencari celana pendek yang setidaknya panjangnya mencapai lutut.

Selesai dengan kegiatan berganti celana, Audy memilih keluar dari kamar. Menuju ke area dapur, gadis itu dengan langkah kaki tertitah-titah sedang mencari wadah kompres yang berbentuk kotak dan berbahan karet. Setidaknya ia ingin mengompres kakinya dengan air hangat.

Audy meringis. Dibuat berjalan, betisnya itu tambah sakit dan sepertinya sangat menusuk sampai ke tulang. Audy bersumpah, kalau ia sudah agak sehat ia akan membalas Bianca dengan cara yang lebih sadis. Namun, ia tidak diajari orang tuanya untuk kasar kepada orang lain. Lagi pula, apa benar ia berani melawan Bianca yang gengnya ada tiga orang? Yang ada kalau ribut di sekolah, malah Audy nanti yang kena skors seperti di film-film kebanyakan yang tidak bersalah pasti dihukum.

Audy menggelengkan kepalanya pelan. Gadis itu berusaha membuang pikiran buruknya yang semakin malam terasa semakin aneh. Dalam cahaya remang-remang Audy berhasil meraih panci kecil yang ditaruh di atas laci dapur yang menempel di tembok.

Tentu saja mengambil panci itu butuh usaha keras untuk berjinjit. Audy mencoba mengisi panci tersebut dengan air keran sebanyak setengah panci. Kemudian dengan tertatih ia ingin membawa panci tersebut ke atas kompor listrik.

Tapi belum sampai di hadapan kompor listrik, ia merasakan betisnya lagi-lagi sangat sakit dan... KLONTAAANNGGG!!! Bunyi keras perpaduan dari panci aluminium dengan lantai marmer itu langsung memenuhi di segala ruangan. Menggema dan seketika itu Audy meringis kesakitan karena tubuhnya terjatuh.

Ctak! Bunyi saklar lampu dipencet oleh Dirga. Dan dengan langkahnya yang cepat, lelaki itu berlari ke arah Audy yang terjatuh. "Lo ngapain malam-malam di dapur?" Tanyanya gelisah dan langsung mengangkat tubuh Audy ala bridal style. Membopong gadis itu untuk didudukkan di sofa panjang ruang tamu.

"Sssshhh maaf ya kak. Bikin rusuh.." ujar Audy dengan nada suara yang bergetar.

"Ck. Gak bisa apa diem aja di kamar? Bentar gue beresin yang lo jatuhin." Ucap Dirga agak kesal namun sekaligus khawatir. Lelaki itu langsung mengambil panci dan mengelap air yang tumbah dengan kain keset yang tersedia di situ.

Dirga kemudian kembali dan duduk di hadapan Audy yang masih meringis sambil memandangi bengkak pada kulit betisnya itu. "Kenapa lo di dapur gue? Mau bikin apaan?" Tanya Dirga kemudian.

"A-anu kak.. mau kompres pakek air anget biar gak sakit." Cicit Audy pelan.

"Salah. Kompres beginian itu bukan pakek air hangat. Tapi pakek es batu. Soalnya kan berhubungan sama memar dan tulang. Bentar gue ambilin. Lo diem di sini." Perintah Dirga tegas.

Audy hanya bergeming di tempatnya duduk sambil berusaha menahan sakit. Dapat ia lihat pancaran pandangan dari kedua mata Dirga itu sedikit kesal dan sedikit khawatir. "Ish, bego banget sih gue. Tau gitu tadi gue ambil es batu terus dimasukkin aja ke plastik. Gak nimbulin rusuh gak nimbulin suara. Mana ini rumah orang. Huft.." gerutunya pelan.

Sekitar lima menit Dirga kembali dengan membawa kantong plastik tebal yang sudah diisi oleh bongkahan es batu yang berbentuk kotak. Isinya penuh. Tangan Dirga yang lain memegang gulungan plastik wrap. Tentu saja Audy mengernyit heran.

"Sini kakinya." Ujar Dirga sambil berjongkok di hadapan Audy kemudian meraih pelan kaki Audy yang ia taruh di atas salah satu pahanya.

"Kok pake wrap kak? Gue mau diapain?" Tanys Audy heran.

"Diem aja. Lo mau cepet sembuh kagak?"

Audy mengangguk sebagai jawaban.

"Ya udah diem. Tahan dikit karna mungkin rasanya akan ngilu." Ujar Dirga memerintah.

Lelaki itu menempelkan sapu tangan miliknya sebagai balutan pertama. Kemudian seplastik es batu, lalu langsung diwrap dengan ketat dan rapi. Sapu tangan itu berfungsi sebagai penetral rasa ngilu nantinya agar Audy tidak terlalu merasa ngilu yang berlebih akibat es batu.

"Gimana? Enakan? Masih kerasa nyeri kagak tuh bengkaknya?" Tanya Dirga yang selesai dengan aktivitasnya.

"Eh, i-iya. Lumayan. Jadi dingin doang."

"Biarin begitu sampai es batunya mencair." Ucap Dira yang kemudian duduk di samping Audy.

Di detik kemudian tidak ada perbincangan di antara mereka berdua. Dirga dan Audy tidak saling bertanya. Mereka hanya sama-sama melamun ke arah meja ruang tamu yang kosong.

"Harusnya itu sambil dipijit sih." Ujar Dirga tiba-tiba.

"Hah? Dipijit?" Tanya Audy yang memang tidak tahu.

"Iya. Sini gue pijitin."

"Eh eh gak usah kak.." cegah Audy ketika Dirga hendak memangku kakinya.

Dirga mendongak pada gadis itu dan sedikit melotot. "Lo nurut atau kagak? Besok kalau lo masih kayak gini, tambah gue yang repot dan lo gak bakal bisa pulang." Protesnya.

Audy terdiam. Kemudian membiarkan kakinya diraih oleh Dirga dan dipijit pelan. Rasanya enak, tubuh dan pikiran Audy menjadi sangat rileks dengan perlakuan tersebut. Gadis itu jadi menghadap penuh pada Dirga karena kakinya diluruskan dan dipangku oleh Dirga.

Jarak mereka jadi dekat, hanya ada dua jengkal. Dengan kepala Dirga yang fokus menatap jemarinya memijit, sedangkan kepala Audy yang jadi terpaku menatap wajah Dirga dari samping.

Sekitar sepuluh menit dipijat, rasanya rasa kantuk yang sangat berat itu menyerang Audy. Gadis itu juga beberapa kali menguap dan kedua matanya mulai sulit terbuka hingga...tuk! Kepala Audy mendarat begitu saja ada bahu kanan Dirga. Lebih tepatnya dahi Audy yang bertumpu di sana. Posisinya jadi menunduk di bahu Dirga tapi gadis itu kondisinya terlelap.

Tentu saja Dirga yang merasakan bahunya sebagai landasan rasa kantuk Audy langsung agak tegang. Sejauh ini belum ada perempuan yang berani sedekat ini dengannya. Pergerakkan tangan Dirga yang memijit itu langsung terhenti, perlahan kepalanya menengok dan hidung mancungnya sukses menempel pada rambut kepala Audy yang menunduk.

Harum. Wangi shampoo strawberry seperti milik adiknya. Tidak merasakan risih, Dirga malah menghirup semakin dalam wangi rambut Audy. Hingga dirinya betah-betah saja dengan posisi seperti itu.

***

avataravatar
Next chapter