29 Chapter 28 : Inko Midorya

"Dia mengeluarkan aura hitam setiap dia berjalan. Dan cantiknya itu... dia terlalu cantik sampai rasanya itu cuma ilusi jahat."

Wonderwork's Prodigy - Ginger Elyse Shelley

< - - - - - >

Bakugo POV

"Katsuki..."

"Katsuki-Kun."

"Katsuki-Kun!"

"DIAM BODOH! WAJAH BUNDARMU MENGANGGU PEMANDANGANKU!"

Gadis berambut coklat itu terus menjulurkan wajahnya di depanku. Menggembungkan pipinya dengan bibir mengkerut jelek. "Jangan membuat wajahmu semakin besar untuk menggangguku!"

"Oh ayolaahh! Aku sudah susah payah ke sini." Katanya sambil berkacak pinggang.

"Siapa yang menyuruhmu ke sini?!" Aku balas membentak. "Dari mana kau dapat alamat rumahku?"

Gadis itu langsung memalingkan wajah, berpura-pura tidak tahu kalau aku sedang marah besar. Bagaimana aku tidak marah? Dua puluh menit yang lalu dia tiba-tiba datang mengetuk pintu rumahku. Si nenek tua kebetulan sedang rajin membuka pintu dan tidak menendang bokongku untuk menggantikannya. Alhasil gadis itu duduk manis di ruang tamu dengan kaus putih dan celana pendeknya.

"Aku meminta Kirishima-San bertanya pada Aizawa-Sensei." Katanya masih dengan wajah tidak bersalah.

"Bisa-bisanya rambut merah aneh itu!" Aku meledakkan keringat ditanganku.

PLAK!

Kepalaku seperti di hantam palu besar. Nenek lampir dengan rambut berantakan dan kardigan putih memasuki ruang tamu membawa persembahan. Dua gelas jus jeruk dan sepiring besar biskuit coklat.

"Temanmu sudah susah payah kemari. Kenapa kau malah marah-marah?!" Geramnya sambil menaruh nampan dengan senyuman manis.

Pandangannya berubah sinis ketika meletakkan minumanku. "Jaga sikapmu, anak sialan!" Katanya sebelum melengos kembali ke dapur.

"Aish! Dasar nenek tua!" Aku menyeruput ringan jus jeruk, sementara si gadis bundar sudah melahap dua buah biskuit.

"Biskuit buatan Ibumu enak, aku tidak pernah makan biskuit seenak ini." Katanya dengan mulut penuh dan pipi menggembung. Menonjolkan semu kemerahan di pipinya yang seperti tomat segar.

"Dengar, habiskan biskuit ini dan jus itu. Lalu keluar dari rumahku, sebelum aku meledakkan wajahmu lagi." Ancamku.

Gadis itu langsung diam, memainkan kedua jarinya kesal. "Aku hanya mengajakmu menjenguk Midorya-Kun. Aku dengar dia sudah pulang dari rumah sakit." Katanya memohon.

Aku mengacak rambutku frustasi. Si bodoh yang terkena masalah besar itu memang keluar dari rumah sakit hari ini. Tapi aku tidak yakin dia ingin gadis ini tahu rumahnya. Jika saja ketahuan aku membawanya ke sana secara suka rela, aku pasti akan diamuk habis-habisan olehnya.

Aku tidak takut, tentu saja. Siapa yang harus kutakutkan, di saat diriku sudah cukup menyeramkan?

Deku tidak akan membunuhku. Iya kan?

Memikirkannya saja sudah membuatku ingin meledeakkan wajah itu. Belum selesai mimpi buruk selama magang kemarin, aku tidak ingin menambah masalah yang akan mempengaruhi kondisi kejiwaanku. Brengsek!

"Aku tidak bisa membawamu ke rumah Deku! Aku sudah bilang, kami tidak sedekat itu!" Bentakku lagi, kali ini seraya menghempaskan tanganku di meja ruang tamu. Membuat barang-barang di atasnya bergetar.

"Kau antarkan saja aku ke depan rumahnya, aku akan bilang dapat alamat dari Aizawa-Sensei." Ujar gadis itu keras kepala. Tidak biasanya dia berbohong seperti ini.

Kau akan mati, sesuka apa pun Deku denganmu.

< - - - - - >

Setelah semua rayuan dan bujukan yang ku tolak mentah-mentah. Akhirnya gadis itu menyilangkan kembali tas selempang kecil berbahan rajut miliknya dan berjalan lesu di pekarangan rumahku. Aku memandangi sambil bersandar pada ambang pintu, menunggu hingga dia benar-benar pergi dari rumahku.

"Kau tidak perlu mengusirnya begitu." Komentar seseorang yang sudah mengintip percakapan kami sejak awal.

"Haahh..." Aku menghela nafas dan kembali mengacak-acak rambutku. Mengetukkan kakiku tidak sabar pada lantai.

"Aku hanya perlu menyapa Deku kan? Lagi pula, dia tidak akan membiarkan kami masuk." Kataku sambil memakai sepatu terburu-buru.

Si nenek lampir tersenyum senang, mulutnya bergerak ingin mengatakan sesuatu namun urung. Aku keluar dari ambang pintu, hendak menyusul gadis yang sekarang sedang berjalan seperti mayat hidup.

"Sekalian melihat keadaan Inko-San, bukan?" Kataku sambil lalu. Aku tahu, Ibu sedang tersenyum lega mendengar ucapanku.

< - - - - - >

Sekarang aku menyesal bersikap lembut pada si nenek tua. Gadis disebelahku dengan riang melompat-lompat selama perjalanan. Aku berusaha fokus pada ponsel dengan mengirimkan pesan singkat pada Deku.

[Hei, si gadis bulat mau datang ke rumahmu. Sebaiknya kau sambut dengan baik.]

Selama beberapa menit hingga akhirnya sampai di kompleks apartemen Deku, aku tidak kunjung mendapat balasan darinya. Pasrah, aku menekan bel sebelum memasuki lobi apartemen. Jika Deku tidak membuka pintunya, berarti dia belum sampai ke rumah.

Tidak memakan waktu lama, tanpa ada suara di intercome, pintu terbuka. Kami menaiki lift dan berhenti pada lantai 7. Setelah berbelok di salah satu koridor, aku terus berjalan lurus. Menuntun gadis yang sedang memperhatikan interior mewah balkon dan koridor apartemen Deku. Kamar 7010 sudah di depan mata, aku membunyikan bel dengan tidak niat.

Ding Dong!

Sambil menunggu, aku mengecek ponsel sekali lagi. Merasa aneh kenapa Deku tidak kunjung membalas pesanku. Jika memang dia mengizinkan, pasti dia akan muncul di depan pintu dan menunggu kami.

Perasaanku mengatakan ada yang tidak beres. Sudah beberapa minggu ini Deku menyuruhku berdiri di luar apartemen, tidak mengizinkanku masuk atau naik ke lantai 7. Jika memang dia di rumah, bukankah dia akan melakukan hal yang sama?

Klak!

Pintu terbuka, sebuah perasaan takut menjalar ditengkuk. Aku membalas tatapan seorang wanita muda dengan celemek biru tua yang menatap kami sambil tersenyum. Wanita berambut hijau itu membuka lebar pintu, seolah memaksa kami untuk masuk ke dalam.

"Katsuki-Kun ya? Sudah lama tidak bertemu. Oh, siapa gadis di belakang sana?" Tanya wanita itu dengan keramah tamahan yang luar biasa. Aku hanya bisa diam mematung.

"Senang bertemu dengan Anda, saya Ochako Uraraka. Teman sekelas Midorya-Kun." Balas gadis itu dengan ceria.

Sejenak, senyum di wajah Inko-San menjadi lebih lebar. Matanya memandang awas dan curiga pada gadis di belakangku. "Oh, teman Izu-Kun. Senangnya, sudah lama sekali tidak ada yang berkunjung." Katanya sambil tertawa.

"Ayo silahkan masuk." Inko-San bergerak mundur untuk memberi kami jalan.

< - - - - - >

Aku tidak ingat bagaimana kami semua bisa duduk berhadapan di sofa merah apartemen Deku. Inko-San sedang membuat Ocha hangat di konter dapur yang terhubung langsung dengan ruang tamu. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Sejak awal Deku melarangku bertemu dengan Inko-San, aku sudah menyadari ada sesuatu yang salah. Tapi sekarang sepertinya aku tahu apa itu.

Dua gelas Ocha hangat terjamu di meja. Inko-San memilih duduk di salah satu sofa kecil dan memandangi kami penasaran. Aku tidak berani menatap langsung manik hijau miliknya. Karena mata itu melihat kami seolah menatap daging hangat di atas meja makan.

"Wah, terima kasih, Inko-San." Gadis bodoh itu sudah menyelubungi tangannya di gelas coklat, bersiap meminumnya. Sebelum sempat aku hentikan, dia menghirup lembut aroma teh yang mengepul dan meniupnya perlahan.

"U-um..." Sial, aku harus melakukan apa pun agar dia tidak meminum teh itu. "Deku," kataku buru-buru. Menarik perhatian gadis itu beserta Inko-San. "Dia sedang di kamar?" Tanyaku.

Inko-San menyipitkan matanya, kesal karena aku menghalangi gadis itu meminum teh buatanya. "Oh, Izu-Kun?" Katanya dengan suara ramah lagi. Senyumnya sama persis dengan Deku saat sedang menahan amarah. "Dia belum pulang." Katanya.

Deg!

"Eehh?" Gadis itu terkejut dan menunda rasa penasarannya pada teh buatan Inko-San. "Sayang sekali. Aku pikir dia sudah pulang. Kami ingin menjenguknya karena sudah lama berada di rumah sakit."

Inko-San menarik nafas berat, memasang wajah sedih. "Aku juga mengkhawatirkannya. Pilihan menjadi pahlawan itu sangat berat, terkadang aku berharap dia berhenti saja." Curhatnya.

Gadis berambut coklat terdiam, tidak bisa mengatakan apa pun. Sosok khawatir seorang Ibu jelas terpancar dari wajah Inko-San. Tapi dibalik itu, aku menyadari hal itu hanyalah kata-kata kosong tanpa perasaan.

Bingung harus melakukan apa, akhirnya gadis bodoh itu kembali mencoba meminum the di tangannya yang hampir dingin. Aku dengan sengaja mencondongkan tubuh ke depan, berlagak tersandung dan menyikut teh di tangan gadis itu. Teh itu tumpah dan mengenai baju serta celananya.

"Aahh!" Pekiknya kepanasan. Dalam hati aku mati-matian bersyukur walaupun harus memberikan memar kemerahan pada kulit gadis itu.

"Oh ya ampun." Inko-San buru-buru mengambilkan sekotak tisu, ikut terkejut dengan kejadian tadi. "Kamar mandinya di lorong, belok kiri. Pintu putih di ujung." Ujarnya perhatian. Gadis itu berlari sambil menunduk malu.

< - - - - - >

Setelah pintu kamar mandi tertutup rapat, Inko-San menjatuhkan seluruh senyum ramahnya dan menatapku taja. Suasana mulai mencekam. Aku bahkan merasa dia akan membunuhku.

"Kat-su-ki-Kun." Ujarnya berirama, sambil selangkah demi selangkah mendekat. Tubuhnya yang setinggi Ibuku, membuatku menengadah sedikit untuk bisa melihat wajahnya. Aku berusaha berdiri tegap, mengeluarkan keberanian yang tersisa dari tubuhku yang gemetar.

"Apa Mitsuki-San menyuruhmu kemari? Mengawasiku?" Katanya menimang-nimang sebuah garpu. Benda keparat itu muncul dari mana?

Aku menggeleng, sedikit gemetar dan gugup. "Tidak, aku datang ke sini untuk bertemu Deku."

Inko-San tersenyum, menonjolkan lipstik merah merona yang sekarang terlihat seperti darah segar. "Oh, anjing kesayangan anakku benar-benar setia."

Aku mengepalkan jari-jariku ketika mendengar kata 'anjing'. Menatap balik manik hijau yang sekarang secara jelas memantulkan nafsu membunuh. Tubuhnya menunduk, menyajarkan pandangan kami. Menatap lurus pada mataku.

"Ne, Katsuki." Tubuhku gemetar mendengar suaranya. "Kau ingin jadi pahlawan kan?"

"Bisakah kau menyelamatkan mereka berdua?"

Senyumnya semakin lebar, seiring semakin cepatnya detak jantungku. Aku paham siapa yang dimaksud oleh Inko-San.

"Tapi sayangnya, kau gagal menyelamatkan salah satunya."

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter