19 Chapter 18 : Going Home

"I want to commit the murder I was imprisoned for."

Harry Potter & the Prisoner of Azkaban - J.K. Rowling

< - - - - - >

"Dengar Izuku. Kau harus melakukannya."

"K-k-ke-kena-pa?"

"Karena aku memberikannya padamu. Hadiah yang diterima harus kau gunakan dengan baik."

"T-ttt-tapi, b-ba-u. A-aku ti-dak suka."

"Kau akan terbiasa. Dunia yang kau tempati, dipenuhi bau busuk seperti ini."

"UGH! HUEGH!"

"Gunakan Izuku! Jangan buat aku mengulanginya!"

"A-a-ayah, aku takut! Tidak mau! Ti-TIDAK!!"

BUGH!

"Aku membenci anak lemah! APA KAU TIDAK SAYANG DENGAN IBUMU?!!"

Bau menyengat, bau darah. Ruangan itu, lembap dan pengap. Aku membencinya, bersama kenangan yang terkubur dalam di sana. Isak tangisku dan teriakkan Ibu bercampur, bergema hingga penjuru rumah. Makhluk bejat itu, aku tidak bisa memaafkannya.

"Darahku mengalir dan menyatu dalam tubuhmu, kau tidak bisa lari dari kenyataan itu. Tidak akan ada yang menyelamatkanmu! Tidak ada yang peduli pada anak sepertimu!"

"Ayo Izukun, jadilah anak kebanggan Ibu dan Ayah. Izukun anak kesayangan Ibu, tidak cacat dan sempurna."

Setiap jamnya, selama sehari penuh, aku tidak bisa mengenyahkan kalimat-kalimat itu dari kepalaku. Terus berdengung menghantui telingaku. Keinginan mereka adalah kewajibanku untuk memenuhinya.

Tanpa mereka sadari, mereka menciptakan monster yang akan mengakhiri hidup mereka.

< - - - - - >

"....ugo Katsuki!!"

Aku terbangun, disambut keributan meriah dan suara besi yang beradu di arena. Terbaring sendirian di atas ranjang darurat yang agak keras. Tanganku otomatis menyentuh kelopak mataku yang tertutup, basah akibat air mata.

"Hah, bodoh! Aku kalah setelah mengatakan hal konyol!"

Aku menarik nafas panjang, mengeluarkan segala emosi yang menggelayuti dadaku. Kenapa di saat seperti ini malah sering mendapat mimpi buruk?

"Midorya-Kun?" Seseorang datang, suara langkah kakinya terdengar menggema. Aku tidak repot-repot menghapus air mataku, membiarkan mereka melihat ini sebagai bukti kekesalanku karena kalah dengan Todoroki.

Uraraka mendorong pintu lembut. Aku memalingkan wajah sambil memasang senyum lemah, mengangkat sedikit kelopak mataku. Rasa perih langsung menyengat mataku yang sudah terlalu lama menggunakan kontak lensa. Air mata kembali menggenang membuat Uraraka panik dan memegangi tanganku dengan lembut.

"Mi-midorya-Kun? Tidak perlu sedih. Kau sangat hebat tadi." Katanya panik sambil berusaha memikirkan kalimat penghibur lainnya.

Aku memasang tampang menyedihkan sambil berusaha tertawa. "Aku memang lemah, belum bisa menandingi Todoroki-Kun."

Uraraka meninju pelan lenganku, "kau tidak lemah. Midorya-Kun bahkan bisa membuat Todoroki-Kun terpojok dan hampir memenangkan pertarungan. Kalau saja Todoroki-Kun tidak menggunakan apinya, kau hanya kelelahan."

Cukup menghibur, jika saja dia tidak menyinggung masalah api Todoroki.

"Aku senang, akhirnya Todoroki-Kun bisa menggunakan kekuatan apinya." Kataku tanpa pikir panjang, berusaha melupakan semua kejadian dan mimpi buruk tadi.

Uraraka tertawa mendengar jawabanku, membuatku menoleh bingung. "Midorya-Kun selalu memikirkan orang lain, lebih dari pada dirimu sendiri."

Itu tidak benar.

"Midorya-Kun orang yang baik, kau pasti akan jadi pahlawan yang hebat."

Itu adalah kebohongan besar.

Aku menunduk, seolah-olah malu akan pujian itu. Padahal kata-kata itu menusuk sangat dalam, membelai kembali rasa bersalah yang terpendam.

< - - - - - >

"HAHAHA!" Aku tertawa puas ketika berjalan keluar dari stasiun kereta, kami berpisah dari Uraraka setelah ia menceritakan dengan semangat bagaimana tubuh Bakugo dirantai di tengah arena saat menerima penghargaan sebagai juara satu.

"DIAM KAU DEKU!"

"Yang benar saja, kau marah-marah karena hal kecil dan harus dirantai? HAHAHA!"

"Sekali lagi kau tertawa, akan ku robek mulutmu!"

Kachan memukul kepalaku, membuatku menggeram dan balas menendang lututnya. Dia kesakitan sesaat, kemudian berniat menerkamku sebelum berhenti ketika melihat perubahan wajahku. Kami semakin dekat dengan kompleks apartemen tempat tinggalku, karena Kachan selalu mengantarku sebelum berjalan pulang sendirian.

Seseorang berdiri di dalam kamarku.

"OI DEKU!" Kachan menarik bahuku.

"Diamlah!" Aku menghentakkan tangannya kasar.

Selama ini aku selalu mengawasi keadaan rumah, sebelum sampai ke sana. Tingkat kewaspadaanku meningkat setelah kebiasaan Ibu menyiapkan makanan di meja makan berubah. Sehingga aku selalu memeriksa kondisi rumah jauh sebelum aku sampai di gerbang apartemen. Kebiasaan itu membuahkan hasil hari ini.

"Kachan, berbalik dan pulanglah."

Kachan tidak bergerak, "ada apa?"

Aku mendelik dan membentak kasar. "Pergi dari sini, sebelum aku membunuhmu!"

Setelah meludah kasar akibat ancamanku, Kachan akhirnya berbalik dan pulang ke arah rumahnya. Aku meremas jari-jariku, merasakannya mulai basah akibat keringat. Berbagai rencana berputar di otakku, berusaha menemukan jalan terbaik untuk penyelesaian masalah ini. Aku sedang sial, kenapa pula harus terjadi setelah mendapat mimpi itu?

< - - - - - >

Aku mulai berjalan, perasaan berat dan terus memintaku untuk diam di tempat tanpa kembali ke rumah pun datang. Semakin kuat setiap langkahnya. Sekarang aku berdiri di ambang pintu, bimbang apakah harus membukanya atau berbalik dan lari sejauh mungkin.

Sejauh apa pun aku pergi, dia bisa menemukanku dengan mudah.

Klek! Krieett...!

Aku menutup pintu dengan pelan, melangkah tegak tanpa ragu. Berhenti tepat diambang pintu kamarku dengan ruang keluarga. Ibu sibuk menyiapkan makan malam sambil bersenandung, wangi kuah shabu-shabu menguar ke lorong antara kamarku dengan ruang keluarga.

"Izukun," panggil Ibu tiba-tiba. Nada bicaranya bertolak belakang dengan senandung ceria dan gerakan lincahnya.

"Ayah menunggumu di kamar."

Badanku bergetar setelah mendengar kalimat itu. Aku mengepalkan tangan sekuat mungkin, menahan luapan rasa takut yang mengocok perut dan meminta untuk dimuntahkan. Aku tidak boleh muntah di sini. Dia benci anak lemah, karena itu aku harus kuat di depannya. Hari ini, semoga hanya hari ini. Aku memasang senyum sinis, mengenyahkan ketakutan itu dan membangkitkan amarah yang selama ini kupendam. Menjadikannya tameng untuk menghadapi monster di dalam sana.

Suara pintu terbuka menjadi pengganti senandung ceria Ibu. Sosok tinggi dan besar itu tidak bergerak dari depan meja belajarku. Menunggu dengan sabar hingga aku sepenuhnya masuk ke dalam kamar. Aku tidak tahu wajah Ayahku, tapi aku yakin sekali dia seharusnya memiliki rambut.

"Lama tidak berjumpa, nak." Mulainya.

Aku meletakkan tas di lantai dan berjalan santai melewatinya, memilih duduk di kasur karena sepertinya pembicaraan ini akan sangat lama.

"Suaramu berbeda, lebih serak. Kau memakai selang oksigen?" Aku memberikan komentar sewajarnya.

Bajingan itu tertawa, "kau tidak pernah berubah. Tajam dan penuh analisis. Meski sekarang jauh lebih tenang dari sebelumnya."

Aku mendengus, "aku tidak mungkin jadi bocah penakut seumur hidupku."

"Kau tahu, sekarang kita lebih terlihat seperti Ayah dan anak." Komentar itu membuatku menggigit bibir, menahan diri untuk tidak muntah.

"Apa maksudmu?"

"Aku kehilangan mataku. Pertempuran besar yang tidak bisa kulupakan."

Aku terdiam, tidak menjawab apa pun. Hal paling menyebalkan justru dibahas paling awal. Aku tidak ingin pertemuan ini menjadi pertarungan yang sia-sia.

"Aku mendatangimu lebih dulu, sesuai permintaanmu." Aku teringat ancamanku pada Ibu dulu. Sambil memicingkan mata, aku menunggu kelanjutan ucapannya.

"Sekarang, kau bisa mengabulkan keinginanku kan?"

Aku tidak menahannya lagi, tanganku bergerak, mengaktifkan kekuatan sebesar mungkin. Mengarahkannya pada sosok yang tidak juga bergerak dari tempatnya. Tanganku menyentuh benda cair dan lengket, tubuh itu hancur seperti lumpur dan menyebar di seluruh kamarku. Tekanan angin mengacaukan seluruh kamar, kertas bertebaran diikuti buku-buku yang jatuh dari tempatnya, kursi disampingnya pun menghantam dinding.

"Seingatku," kataku penuh tekanan, "aku memintamu datang. Bukan bonekamu."

"Huh, HAHAHAHA!" Suara tawa itu menggema di seluruh kamar.

"Kau mewarisi darahku, tidak salah lagi. Meski aku akan lebih senang jika kau menggunakannya dengan baik, bukan pukulan lemah seperti itu."

Aku tersenyum sinis, mendengar ucapannya. Keputusanku sudah bulat. Setelah pertarungan dengan Todoroki, kebimbangan membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Jangan khawatir, saat kita bertemu lagi nanti. Kau pasti melihatnya. Jauh lebih kuat, kau bahkan tidak pernah membayangkannya."

Suara itu hilang sejenak, bahkan aku pikir dia sudah tidak ingin berbicara lagi. Tapi kemudian dengusannya terdengar lebih keras. "Mari kita lihat...

...seberapa jauh kau bisa berkembang."

< - - - - - >

avataravatar
Next chapter